Berkaryalah Seperti Pensil
Pensil itu menghasilkan karya, tubuhnya yang hancur
pun menjadi karya. Jadilah seperti pensil, apa pun keadaanmu tetaplah berkarya.
Kita tahu pensil pastinya, ‘kan? Benda panjang,
kebanyakan terbuat dari kayu, dan di dalamnya ada benda hitam yang kelak akan
tajam ketika diserut, untuk kemudian digunakan untuk menulis sesuatu seperti
tulisan, lukisan, serta mahakarya lainnya.
Mungkin kebanyakan dari kita dikenalkan lebih dulu
dengan pensil dibandingkan pulpen, karena selain murah dan awet, pensil juga
bisa dihapus. Sangat cocok digunakan untuk belajar, latihan, menggambar, dan
lain sebagainya. Ditambah waktu kecil pasti kita sering sekali membuat
kesalahan dan pasti sering banget memakai penghapus untuk menghapus kesalahan
dari pensil.
Begitulah kira-kira, pensil dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Dia tetap menyalurkan ide para manusia untuk menjadikannya
sebuah karya. Membuat nyata yang ada di isi kepala. Padahal pensil sendiri,
semakin sering digunakan, semakin sering diserut, tubuhnya akan menghilang,
hancur. Umurnya berkurang dan lama-lama mengecil, sampai tidak bisa digunakan
lagi lalu dibuang.
Mungkin manusia harus belajar dari pensil. Pensil dan
manusia sama-sama bukan makhluk atau benda abadi. Kita punya umur, yang semakin
lama digunakan, akan habis. Sama seperti pensil yang tidak terpakai akan
dibuang, kita pun akan dikubur dalam tanah, karena sudah tidak bisa dipakai
lagi, tidak bermanfaat lagi.
Bangkai pensil mungkin bisa dimanfaatkan sebagai
pengganjal atau sejenisnya, tapi mayat manusia akan sangat merepotkan jika
dibiarkan lama tidak dikubur, karena akan membusuk dan menyebabkan bau tidak
sedap.
Mari kita fokus kembali, pelajaran yang diambil dari
pensil yang berikutnya adalah kita harus tetap berkarya, meninggalkan jejak
keberadaan kita, meski kita tahu kalau kita akan mati dan tidak lagi terpakai.
Untuk itu, penting sekali mengetahui apa yang akan
kita tinggalkan di bumi ini. Karya apa yang bisa membuat kita dikenang. Syukur
bisa menjadi amal berkelanjutan yang tetap ada meskipun kita sudah mati, atau
sering kita kenal sebagai amal jariah.
Penting juga untuk meninggalkan karya yang baik. Bukan
sekadar karya yang tidak bermanfaat, apalagi yang merugikan orang lain dan
dirimu sendiri. Semisalnya kamu membuat tulisan yang terlalu banyak unsur
pornonya atau mengajarkan kekerasan. Boro-boro ada hikmah yang bisa dipetik.
Kamu mungkin akan membuat pola pikir pembaca apalagi yang masih di bawah umur
rusak dan melakukan perilaku yang kamu tulis, seperti seks bebas, tawuran,
bahkan penyimpangan seperti LGBT. Mirisnya itu karena tulisan kita, habis kita
di hari akhir nanti.
Tinggalkanlah yang baik. Pelajaran yang penuh hikmah,
ajakan kepada hal baik, syukur dapat menuntun seseorang menemukan hidayahNya.
Insya Allah, amal baik yang dilakukan seseorang karena karya-karya kita yang
baik, kita pun akan ikut kecipratan pahalanya juga. Hidup pun menjadi berkah
dan kamu tidak perlu khawatir atas karyamu kelak ketika kamu tiada.
Berkarya seperti pensil, membutuhkan konsistensi untuk
mencapai hal yang diinginkan. Bukan sehari, bukan sebulan, bukan setahun,
melainkan seumur hidup. Usahakan kamu tetap berkarya seumur hidupmu, sama
seperti pensil. Mengukir kebaikan yang berakhir pada pahala, untuk bekalmu di
akhirat, karena kita sepakat hidup kita tidak lama di bumi ini.
Jika kita tidak konsisten, akan sayang sekali
membiarkan banyak waktu kita terbuang sia-sia. Umur kita terbuang sia-sia,
bahkan cenderung digunakan untuk hal yang membawa kehancuran bagi kita dan
masyarakat. Itu bahaya.
Terakhir, mari kita tetap belajar dari pensil, yang
mengarahkan kita untuk juga belajar dari kematian. Dunia ini tidak abadi, tapi
karya kita mungkin akan bertahan lebih lama dari umur fisik kita. Maka,
tinggalkanlah yang baik.
Sekian tulisan kali ini. Semoga bermanfaat, sampai
jumpa di tulisan berikutnya. Terima kasih.
(Jakarta, 28 Januari 2024)
Komentar
Posting Komentar