Caraku untuk Pulih, Bisa Dijadikan Pelajaran, tapi Tidak Bisa Disamakan

Pulih. Sebagian besar manusia pernah merasakan sakit. Baik penyakit fisik ataupun mental. Tidak ada yang hina dari menjadi sakit. Tidak perlu takut, sebaliknya kamu layak diperhatikan, dan kamu layak pula untuk pulih.

Tidak perlu juga kamu merasa sedih, karena sakit adalah sarana untuk menghapus dosa-dosa kita yang telah menggunung lama selama kita sabar menjalaninya dan juga selalu ikhtiar untuk terus berobat dengan cara yang baik tentunya.

Impian orang yang sakit, tidak lain, tidak bukan, adalah pulih dari sakitnya. Memang, kita kadang lupa bahwa nikmat sehat itu begitu berharga. Kita kadang tidak menyayangi diri sendiri ketika masih sehat. Tersadar ketika jatuh sakit dan rasanya ingin sekali mengulang waktu.

Ketika sakit, kadang kita melakukan apa pun untuk bisa sembuh. Berdoa sampai bernazar untuk menjadi lebih baik lagi setelah sembuh. Namun, ketika sehat, kita lupa atau sengaja melupakannya. Kita kembali makan makanan secara ugal-ugalan, banyak minum minuman kemasan, malas olahraga, kembali bergadang, sampai pada akhirnya penyakit itu datang kembali dan semakin parah.

Itu mungkin dalam hal penyakit fisik. Bagaimana jika membicarakan penyakit mental?

Pulih dalam hal penyakit mental memang agak beda. Penyakit mental ini unik, dia tidak terlihat wujudnya. Penyakit fisik bisa terlihat dari uji lab, tes darah, atau sekadar lihat ingus di hidung saja sudah ketahuan. Penyakit mental?

Kita bisa saja memberi tahu diagnosis yang diberikan psikiater, tapi apa orang awam paham? Bagaimana jika mereka berkata dengan ringannya, “ah kamu butuh healing aja itu,” atau “itu sih dari pikiran kamu, coba hidup lebih santai, jangan dipikirin.”

Ya, proses pulih penyakit mental cukup memakan waktu. Selain karena diagnosis yang kadang berubah-ubah tergantung dari apa yang kita jelaskan ke psikiater, juga obat yang kadang kurang cocok dengan kondisi tubuh kita, atau mungkin efek obat yang cukup memengaruhi kehidupan kita.

Untuk pulih dari penyakit mental membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, seperti keluarga, teman, lingkungan, psikiater, bahkan diri sendiri.

Keluarga. Peran mereka begitu penting karena keluarga adalah tempat kita singgah dan pulang. Keluarga adalah rumah. Kalau dari keluarga saja tidak mengakui adanya penyakit mental, cukup sulit untuk proses pulihnya. Untungnya, aku diberikan keluarga yang cukup mengerti.

Teman dan lingkungan. Mereka adalah tempat di mana kita beraktivitas seperti bekerja, sekolah, atau sekadar nongkrong. Kalau dari mereka saja tidak paham, cukup memperlambat proses pulih juga. Biasanya aku memang tidak cerita lebih jauh jika mereka memang tidak paham. Fokus pada mereka yang paham, syukur-syukur mereka juga mau membantumu untuk pulih. Namun, bagiku cukup, selama mereka tidak menganggap enteng penyakit mental ini. Menunjukkan sedikit empati kadang penting.

Psikiater. Peran mereka tentu sangat penting. Mereka dokter dan tugas kita adalah memberi tahu setiap keluhan yang ada dengan jujur dan apa adanya. Untuk apa? Agar pengobatan yang diberikan bisa sesuai dan semakin cepat kita stabil bahkan pulih.

Diri sendiri. Oh, tentu. Diri sendiri adalah kunci. Jika diri sendiri tidak percaya pada adanya penyakit mental, sehingga terus denial menganggap semua ini hanyalah permainan pikiran yang lama-kelamaan juga hilang. Itu akan membahayakan kamu juga orang lain.

Caraku untuk pulih adalah dengan menerima penyakit ini dan berusaha semaksimal mungkin untuk berobat. Sambil menerapkan gaya hidup sehat seperti olahraga dan makan makanan bergizi, karena fisik dan mental saling berhubungan. Jika salah satunya sakit, aku percaya yang lain juga akan sakit.

Jadi, caraku untuk pulih kurang lebih sesederhana itu, kalian bisa menjadikannya pelajaran, tapi tidak bisa juga disamakan, karena kondisi kita bisa saja berbeda. Namun, satu pintaku, tetaplah hidup, dengan begitu kamu mempunyai kesempatan untuk pulih. Tetaplah hidup, karena aku ingin kamu tidak menyerah karena semua ini.

 

Achmad Aditya Avery

Jakarta, 18 Februari 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aktivitas Literasi untuk Perkembangan Anak bersama TBM Capung Kertas

Berkarya Lebih Lama Bukan Berarti Tidak Pernah Membuat Kesalahan

Kibor Berusia Sepuluh Tahun