Salah Ketik, Revisi, Pusing, Tumbang, Cinta dari Penulis kepada Pembaca
Sebagai penulis, kita pasti ingin tulisan kita sempurna. Kita pasti ingin banget untuk tetap prima dan dapat menciptakan tulisan yang matang dan berkualitas. Namun pada kenyataannya, kita hanya manusia yang tidak sempurna. Kadang lupa, kadang ada yang terlewatkan, kadang sakit, kadang tumbang, dan masih banyak lagi.
Tulisan
yang sempurna itu mungkin hampir tidak ada. Pernah enggak merasa, kita sudah
edit-edit tulisan kita sendiri, baca ulang, ngerasa sudah enggak ada lagi nih
yang salah ketik, sempurna deh pokoknya. Pas posting, eh ada dong yang kurang,
ada aja salah ketik atau tanda bacanya ketinggalan. Banyak deh. Terus kita
kesal sendiri akhirnya.
Itulah
salah satu keresahan bagi penulis. Belum lagi jika sudah masuk ranah
profesional, misal sudah bermain dengan kata kunci, SEO, dan banyak lagi. Makin
banyak yang perlu diperhatikan, belum lagi kalau harus bebas dari AI dan
plagiasi, makin pusing lagi. Cuma mau bagaimana, ‘kan? Itu sudah risiko sebagai
penulis.
Asyik
kok lama-lama atau kalau sudah terbiasa, apalagi saat menelurkan tulisan yang
bisa dibilang nyaris tanpa salah, aku enggak bilang sempurna ya. Rasanya lega
dan bangga, keren pokoknya. Namun, perjuangan belum selesai sampai di sana.
Tulisan itu pun harus “dipasarkan” alias disebarluaskan untuk sampai kepada
pembaca. Nah, ini beda lagi perjuangannya.
Tulisan
sudah bagus, rapi, dan menurut kita itu menarik. Namun, pasar bilang sebaliknya.
Pembaca kita sedikit dan parahnya lagi bayaran pun juga sedikit. Lagi-lagi itu
risiko sebagai penulis.
Tulisan
yang nyaris tanpa salah itu adalah bentuk cinta penulis kepada pembaca.
Lihatlah, renungkan prosesnya, mulai dari salah ketik, revisi, pusing, bahkan
beberapa ada yang tumbang. Namun, penulis tetap mengupayakan agar tulisannya
sampai kepada pembaca dengan baik.
Ya,
walaupun penulis pada nyatanya tetap mengharapkan imbalan berupa uang atau apa
pun itu. Namun, ya itu sebagai bentuk profesionalitas. Sebagai bukti bahwa
manusia itu punya kebutuhan termasuk penulis. Mereka butuh kopi, makan, paket
internet, dan lain sebagainya. Dengan apa semua itu bisa dibeli? Uang, ‘kan?
Sangat
tidak menyenangkan rasanya jika penulis dianggap tidak ikhlas dalam menulis
hanya karena mengharapkan bayaran atas jerih payahnya. Layaknya kalian ketika kerja
lembur pasti akan misuh-misuh jika tidak dibayar. Jangankan untuk lembur, gaji
telat dibayar aja protes bukan? Namun, tetap kalian menganggap kerjaan kalian
itu ikhlas. Ikhlas bukan berarti rela tidak dibayar.
Jadi,
ikhlas atau tidaknya penulis tidak terletak pada keinginan dia untuk memperoleh
sedikit saja uang atas jerih payahnya. Lagian seberapa besar upah penulis di
negeri ini? Ada memang yang digaji dolar, tapi masih banyak yang penghasilannya
di bawah kata layak bahkan sering telat dibayarkan.
Penulis,
aku yakin mereka tetap mencintai pembacanya. Mereka ingin terus memberikan yang
terbaik dalam tulisan-tulisannya, tapi apa daya kalau perut mereka kelaparan,
mereka pun pasti akan melihat peluang lain yang lebih baik. Ini pilihan yang
sulit memang untuk mempertahankan kondisi ideal dengan kebutuhan yang mendesak.
Aku
pun demikian. Aku suka menulis, aku suka tulisanku disukai oleh orang-orang.
Aku suka tulisanku dibaca sebanyak mungkin orang walaupun secara cuma-cuma.
Hanya saja aku harus memastikan kebutuhan hidup aku dan keluarga terpenuhi lebih
dulu. Namun, aku tetap berusaha untuk tetap menulis, khususnya di blog ini.
Akhir
kata, doakan aku selalu. Doakan aku untuk tetap konsisten menulis. Tulisanku
bisa kalian baca di beberapa platform, tersebar dan sepertinya hampir semua
gratis, kecuali yang dalam bentuk buku ya. Seperti kalian yang ingin selalu
membaca, aku pun ingin selalu menulis.
Achmad
Aditya Avery
Jakarta,
17 Februari 2025
Setuju sekali, meskipun sepi atau tidak dihargai, mari kita tetap menulis mencurahkan isi jiwa.
BalasHapusBetul sekali Kaks, mari tetap menulis dan tetap peduli pada diri sendiri.
Hapus