Bocah Berkaki Satu
Penulis : Achmad Aditya Avery (Dityavery)
Namaku adalah Ava Mesani, panggil
saja aku Ava. Aku bersekolah di sebuah SMA di Tangerang, SMA Renagi. Hari ini
adalah hari spesial, karena aku akan tampil sebagai guest star di acara peresmian ekstrakulikuler band, Magenta Canon
adalah nama band kami, beranggotan empat orang personil yang super kocak
diantaranya Jerry Merilyn, nama aslinya Handika Saputra, pemain gitar kami,
rambutnya diwarnai ala bule, tapi tetap saja ia selalu ingin menampilkan lagu
dangdut. Fanny Jakaria, si jawa metal yang jago sekali main bass, dia selalu
berteriak ala anak metal walaupun kami sedang membawakan lagu akustik yang
melow nan damai. Terakhir ada Sandy si penabuh drum, si pendiam, galau mania,
imut dan rese, satu-satunya perempuan di band kami. Dia tidak segan-segan
melemparkan stik drumnya ke wajah kita saat kita mengingatkan dia tentang
mantannya. Kami menyatu dalam satu aliran pop alternatif.
Kejadian yang unik terjadi hari ini,
sepulang pertunjukan, kami pergi makan di sebuah pedagang kaki lima, karena si
Jakaria fobia dengan restoran, dia selalu bergetar apabila masuk ke sebuah
restoran. Aneh bin ajaib. Padahal dari segi biaya dia tidak terlalu masalah mau
mahal ataupun murah.
Sekitar jam 18.45 perutku tiba-tiba
mules, akibat dari sambel terasi super yang lahap aku santap. Sayangnya tidak
ada toilet di pinggir jalan, aku harus mencari masjid yang terdekat. Mengingat
si mules yang hampir mencapai puncaknya. Aku pun berlari mencari masjid
tersebut. Aku tertolong oleh adzan Isya yang akhirnya mengantarkanku ke sebuah
Masjid bernama Al-Malik. Aku numpang mengeluarkan isi perut di sana, cukup lama
juga tempur di toiletnya, aku kena diare, setengah jam lebih baru selesai. Aku
melihat di masjid sudah sepi menandakan solat Isya berjamaah sudah selesai.
Setelah dipikir-pikir sudah berapa lama aku tidak solat di masjid, ada apa ini?
Tumben sekali. Aku ambil air wudhu, setelah selesai aku melihat seorang anak
berumur sekitar 13 tahun masuk ke masjid, berkaki satu. Dia melompat-lompat dan
ekspresi yang pucat.
“Hei bro, ada apa? Mukanya pucat
sekali.” Tanyaku, aku memiliki kebiasaan memanggil orang dengan sebutan ‘bro’
apabila tidak tahu namanya.
“Ya, Kak. Aku tidak menyangka
masjidnya lumayan jauh, aku lari karena takut ketinggalan solat berjamaah.”
Aku tersentak kaget, sampai
segitunya kah dia ingin solat berjamaah? Akhirnya kami berdua solat berjamaah. Nama
anak itu adalah Raihan, dia mengalami kejadian yang mengerikan sewaktu dia
berumur tiga tahun. Saat itu dia mengalami kecelakaan saat hendak berlibur,
kedua orang tuanya meninggal dan dia terpaksa harus kehilangan kakinya. Dia
hidup bersama kakek dan neneknya, dia mengalami terauma hebat, cobaan tidak
selesai di sana, setelah dua tahun berikutnya neneknya menderita sakit parah
dan dia harus kehilangan neneknya. Terakhir seminggu yang lalu dia baru saja
kehilangan kakeknya, dan kabarnya dia baru pindah ke rumah saudaranya sore tadi.
Kebetulan rumah kami searah, aku memutuskan untuk mengenalkan Raihan dengan
teman-teman band. Setibanya di tempat makan pinggir jalan, aku mengajaknya
untuk duduk dan ngobrol sejenak dan mengenalkan diri.
“Kakak
Sandy, sudah lamakah kakak bermain drum? Apa kakak selalu memakai baju seperti
itu?” Tanyanya sambil menunjuk baju Sandy yang memang bisa dibilang agak ketat.
“Eh, hmm, kira-kira sudah dua tahun
aku bergabung dengan band ini, untuk drumnya kakak sudah belajar dari umur 10
tahun. Untuk baju kakak. Ehmm, sepertinya model bajuku seperti ini semua.”
Jawab Sandy dengan sedikit gugup.
“Kakak masih punya ayah?”
“Masih, Raihan.”
“Taukah Kak, selangkah anak
perempuan keluar rumah tanpa menutup aurat, selangkah pula ayahnya menuju ke
neraka.” Mendengarnya kami semua terdiam.
“Kakak-kakak semua, apakah kakak
suka musik?”
“Tentu saja, De Raihan... Kami
menyukainya, musik itu menyatu dengan hati dan pikiran kami seakan masuk ke
dalam dimensi lain, bisa membuat kita menjadi bersemangat.” Jawab Jakaria
dengan santainya sambil menikmati kopi hitam ala pinggir jalan.
“Dapatkah kakak membayangkan ketika
mungkin orang tua kakak sudah tidak ada, apakah musik tetap dapat menenangkan
kakak?”
“Soal itu, belum terpikirkan De.”
Jawabnya sambil tertawa nyengir.
“Kak, Jerry, rambutnya dari lahir
sudah bule?”
“Eh, uhmm, baru lima minggu
kira-kira saat menjelang festival.”
“Apa warna rambut Kakak kurang bagus?
Padahal cat warna setauku bisa merusak rambut yang sudah bagus-bagus diberikan
sang pencipta.”
“Eh iya juga sih, tapi gimana ya..”
“Raihan mau pamit ya Kak, maaf jadi
bawel begini jadinya, karena kakek Raihan selalu mengajarkan untuk saling
mengingatkan sesama muslim. Wassalamu ‘alaikum Kak.”
“Wa’alaikumussalam, hati-hati
Raihan...” Jawab kami serentak. Lalu kami saling berpandangan.
“Hei, kita solat Isya dulu
yuk.” Ajak Jakaria, sambil meletakan gelas bekas kopi. Jerry dan Sandy pun
menganggukan kepalanya.