Sabtu, 09 Januari 2016

Ikan

Ikan

Perkenalkan, aku adalah sang ikan
Berenang-renang di dekat tepian
Kulihat sebuah perkemahan
Perkemahan indah di daratan

Dia si pemancing yang dipanggil Syiar
Melempar umpan yang berlayar
Menarik hati sahabatku, ikan yang lapar
Melahap umpan, tertarik keluar

Kulihat seorang di samping pemancing ikan
Kastrad, pengamat gerak-gerik ikan
Dia penasihat, pencari dimana tempat yang paling banyak ikan
Si mata jeli yang terpaku pada gelembung air yang dibuat sang ikan.

Kulihat di dekat kemah, si koki hebat dengan alat masaknya
Dia dipanggil Kaderisasi, merubah ikan menjadi makanan lezat dengan keahliannya
Menabur bumbu, menyebarkan aroma ikan bakar yang menggoda
Bersamanya ikan itu memberikan manfaat kepada manusia di sekitarnya

Jauh kulihat di balik tenda, sang pemimpin perkemahan
Pusat dari segala kegiatan
Tanpanya, si pemancing, pengamat, koki, dan peserta perkemahan
Mati kelaparan.


~Dityavery~

Bocah Berkaki Satu

Bocah Berkaki Satu
Penulis             : Achmad Aditya Avery (Dityavery)

Namaku adalah Ava Mesani, panggil saja aku Ava. Aku bersekolah di sebuah SMA di Tangerang, SMA Renagi. Hari ini adalah hari spesial, karena aku akan tampil sebagai guest star di acara peresmian ekstrakulikuler band, Magenta Canon adalah nama band kami, beranggotan empat orang personil yang super kocak diantaranya Jerry Merilyn, nama aslinya Handika Saputra, pemain gitar kami, rambutnya diwarnai ala bule, tapi tetap saja ia selalu ingin menampilkan lagu dangdut. Fanny Jakaria, si jawa metal yang jago sekali main bass, dia selalu berteriak ala anak metal walaupun kami sedang membawakan lagu akustik yang melow nan damai. Terakhir ada Sandy si penabuh drum, si pendiam, galau mania, imut dan rese, satu-satunya perempuan di band kami. Dia tidak segan-segan melemparkan stik drumnya ke wajah kita saat kita mengingatkan dia tentang mantannya. Kami menyatu dalam satu aliran pop alternatif.

Kejadian yang unik terjadi hari ini, sepulang pertunjukan, kami pergi makan di sebuah pedagang kaki lima, karena si Jakaria fobia dengan restoran, dia selalu bergetar apabila masuk ke sebuah restoran. Aneh bin ajaib. Padahal dari segi biaya dia tidak terlalu masalah mau mahal ataupun murah.

Sekitar jam 18.45 perutku tiba-tiba mules, akibat dari sambel terasi super yang lahap aku santap. Sayangnya tidak ada toilet di pinggir jalan, aku harus mencari masjid yang terdekat. Mengingat si mules yang hampir mencapai puncaknya. Aku pun berlari mencari masjid tersebut. Aku tertolong oleh adzan Isya yang akhirnya mengantarkanku ke sebuah Masjid bernama Al-Malik. Aku numpang mengeluarkan isi perut di sana, cukup lama juga tempur di toiletnya, aku kena diare, setengah jam lebih baru selesai. Aku melihat di masjid sudah sepi menandakan solat Isya berjamaah sudah selesai. Setelah dipikir-pikir sudah berapa lama aku tidak solat di masjid, ada apa ini? Tumben sekali. Aku ambil air wudhu, setelah selesai aku melihat seorang anak berumur sekitar 13 tahun masuk ke masjid, berkaki satu. Dia melompat-lompat dan ekspresi yang pucat.

“Hei bro, ada apa? Mukanya pucat sekali.” Tanyaku, aku memiliki kebiasaan memanggil orang dengan sebutan ‘bro’ apabila tidak tahu namanya.
“Ya, Kak. Aku tidak menyangka masjidnya lumayan jauh, aku lari karena takut ketinggalan solat berjamaah.”

Aku tersentak kaget, sampai segitunya kah dia ingin solat berjamaah? Akhirnya kami berdua solat berjamaah. Nama anak itu adalah Raihan, dia mengalami kejadian yang mengerikan sewaktu dia berumur tiga tahun. Saat itu dia mengalami kecelakaan saat hendak berlibur, kedua orang tuanya meninggal dan dia terpaksa harus kehilangan kakinya. Dia hidup bersama kakek dan neneknya, dia mengalami terauma hebat, cobaan tidak selesai di sana, setelah dua tahun berikutnya neneknya menderita sakit parah dan dia harus kehilangan neneknya. Terakhir seminggu yang lalu dia baru saja kehilangan kakeknya, dan kabarnya dia baru pindah ke rumah saudaranya sore tadi. Kebetulan rumah kami searah, aku memutuskan untuk mengenalkan Raihan dengan teman-teman band. Setibanya di tempat makan pinggir jalan, aku mengajaknya untuk duduk dan ngobrol sejenak dan mengenalkan diri.

“Kakak Sandy, sudah lamakah kakak bermain drum? Apa kakak selalu memakai baju seperti itu?” Tanyanya sambil menunjuk baju Sandy yang memang bisa dibilang agak ketat.

“Eh, hmm, kira-kira sudah dua tahun aku bergabung dengan band ini, untuk drumnya kakak sudah belajar dari umur 10 tahun. Untuk baju kakak. Ehmm, sepertinya model bajuku seperti ini semua.” Jawab Sandy dengan sedikit gugup.
“Kakak masih punya ayah?”
“Masih, Raihan.”
“Taukah Kak, selangkah anak perempuan keluar rumah tanpa menutup aurat, selangkah pula ayahnya menuju ke neraka.” Mendengarnya kami semua terdiam.
“Kakak-kakak semua, apakah kakak suka musik?”
“Tentu saja, De Raihan... Kami menyukainya, musik itu menyatu dengan hati dan pikiran kami seakan masuk ke dalam dimensi lain, bisa membuat kita menjadi bersemangat.” Jawab Jakaria dengan santainya sambil menikmati kopi hitam ala pinggir jalan.
“Dapatkah kakak membayangkan ketika mungkin orang tua kakak sudah tidak ada, apakah musik tetap dapat menenangkan kakak?”
“Soal itu, belum terpikirkan De.” Jawabnya sambil tertawa nyengir.
“Kak, Jerry, rambutnya dari lahir sudah bule?”
“Eh, uhmm, baru lima minggu kira-kira saat menjelang festival.”
“Apa warna rambut Kakak kurang bagus? Padahal cat warna setauku bisa merusak rambut yang sudah bagus-bagus diberikan sang pencipta.”
“Eh iya juga sih, tapi gimana ya..”
“Raihan mau pamit ya Kak, maaf jadi bawel begini jadinya, karena kakek Raihan selalu mengajarkan untuk saling mengingatkan sesama muslim. Wassalamu ‘alaikum Kak.”
“Wa’alaikumussalam, hati-hati Raihan...” Jawab kami serentak. Lalu kami saling berpandangan.
“Hei, kita solat Isya dulu yuk.” Ajak Jakaria, sambil meletakan gelas bekas kopi. Jerry dan Sandy pun menganggukan kepalanya.