Minggu, 12 November 2017

[PUISI] Kopi Tanpa Gula dan Pahitnya Hidup

[PUISI] Kopi Tanpa Gula dan Pahitnya Hidup


Klasik, sang pagi kembali menyapa
Cahaya mencium mesra kaca jendela
Kelopak mata pun tak ingin lepas, bersetubuh lebih lama
Badan rasanya tak ingin meninggalkan kenangan ranjang tercinta

Tentang bagaimana aku melamar pahitnya kopi
Dengan mahar seperangkat pedih sang mimpi
Aku tak bermaksud mengingkari nikmat atas siapa yang kunikahi
Tentang pahit tak selamanya buruk, itu pasti

Tentang obat, tapi aku lebih suka kopi
Mereka sama-sama pahit, yang baik hati
Dia yang tak membuatmu buncit berisi
Dia yang menemanimu menghadap pagi

Dia si kopi, yang mengajarkan pahitnya hidup ini
Tentang rasa syukur yang harus kucari tanpa henti
Memejamkan mata berkali-kali
Menahan pahit yang sungguh nikmat sekali

Dia tidak memberi penyakit gula apalagi hati
Justru manfaat, bermesraan tiga kali sehari
Aku tak peduli meski itu hanya sugesti
Akan para comblang yang mengenalkanku pada si kopi

Sudah cukup alasanku
Akan cinta yang manja selalu
Aku ingin tetap bersyukur menyeruput malu
Akan masih banyaknya insan yang terbelenggu dibanding aku
Akan pahitnya hidup, yang kurasa tak begitu perlu
Untuk terlalu dikhawatirkan apalagi membuatmu ragu

Tangerang, 14 September 2017

Rabu, 06 September 2017

Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Impian dan Google Map

Kamis, 7 September 2017
Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Impian dan Google Maps


Tentang Sebuah Batang yang Bercabang, foto oleh Achmad Aditya Avery


Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

 

Itu apa Dit, kok ada Google Maps segala?

Iya Google Maps, aplikasi yang sangat membantu seorang fakir arah termasuk diri ini. Seriusan, aku mungkin tidak akan pergi sendirian naik motor jika tidak ada aplikasi ini. Banyak jenisnya, ada juga yang lebih nyaman menggunakan Waze, dan aplikasi penunjuk arah lainnya. Tidak apa-apa, tidak usah dijadikan Civil War lagi, setelah peperangan antara pendukung Chitoge dan Onodera, atau soal bubur ayam diaduk atau tidak, golongan maniak sambal dan yang tidak, golongan karyawan dan pengusaha, dan lain sebagainya. Sudahlah, akhiri saja. Berdamailah, kita adalah satu spesies, yaitu manusia.

 

Kembali lagi pada topik, kali ini aku ingin membahas tentang impian dan si aplikasi penunjuk arah ini, apa pun yang kalian gunakan terserah. Aku menggunakan Google Maps dalam hal ini, karena RAM tidak kuat menginstal lebih dari satu aplikasi penunjuk arah, smartphone-ku ini tipe yang setia, tidak ingin mendua, apalagi mentiga. Abaikan.

 

Lalu, apa kaitannya si Google Maps ini dengan impian?

Aku mendapatkan ide menulis ini di tengah perjalanan menuju resepsi pernikahan salah satu junior pun teman seperjuangan di organisasi mahasiswa, hari Minggu, tanggal 3 September 2017. Selamat menempuh hidup baru untuk kedua mempelai, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Aamiin.

 

Jadi, aku memutuskan untuk mengendarai motor, karena mantap sekali jika harus ke kampus di Jakarta, sementara acaranya di Tangerang, dan kebetulan rumahku juga di daerah Tangerang. Seingatku estimasi perjalanan sekitar satu jam kurang sekian menit, tapi tetap saja estimasi hanyalah estimasi, belum ditambah macet dan lambatnya diri ketika mengendarai motor.

 

Pikiran ini memang kadang suka nakal entah kenapa, setiap ingin menulis selalu saja ide pergi entah ke mana, Hawai mungkin, atau Meikarta, atau survei reklamasi di planet Saturnus. Entahlah. Namun, giliran waktu tidur, badan drop, saat di toilet, atau ketika di perjalanan, si pikiran ini kembali lagi ke kediamannya. Memasak ide-ide aneh yang membuat mata terpejam tapi nyawa bergentayangan di atas kasur, pun ketika mata fokus pada jalanan, si pikiran ini seolah menari di hadapan. Beruntung tidak ikut menari di jalan, motornya.

 

Google Maps, saat kudengar suara wanita imut tanpa bentuk, yang bawel luar biasa, yang di setiap putaran selalu saja menyuruhku memutar balik, lalu aku mengabaikannya dan si doi ini menyuruhku kembali berbelok entah ke mana, tapi aku tetap memilih lurus. Kepala batu.

 

Itulah poin tidak pentingnya. Aku berpikir, lalu mengaitkannya dengan proses dalam mencapai cita-cita, impian, keinginan, apa pun namanya dengan saran arah yang diberikan si wanita tak berbentuk dari Google Maps ini. Ya, entahlah kalau di aplikasi lain, mungkin suara bapak-bapak atau anak kecil, asal bukan suara kucing, bebas saja.

 

Menurutku, ada beberapa jenis manusia dalam menyikapi perjalanan meraih impiannya. Pertama-tama mari kita anggap tujuan atau impian kita adalah titik lokasi yang kita ingin tuju di peta Google Maps. Lalu saran dari si imut tak berwujud adalah saran, rujukan, pendapat, ajakan, bahkan paksaan dari orang-orang terdekat maupun yang ada di sekitar kita, yang memengaruhi keputusan kita dalam mencapai impian. Sederhana bukan?

 

Tipe Pertama: Orang yang Mengikuti Sepenuhnya Arahan Miss Google Maps

Dia adalah yang penuh pertimbangan dalam menjalankan hidupnya. Bisa saja dia memiliki impian yang ingin dicapai, tapi dia percaya kepada orang yang lebih dahulu berkecimpung di dalamnya, atau mungkin keluarga pun teman dekatnya. Ketika dia memulai melangkah, dia akan mendengarkan pun mengikuti beragam saran yang diberikan.

 

Dia yang sepertinya tidak selamanya salah, dalam arah yang ditunjukkan si Miss Google Maps, bisa saja itu adalah jalan tercepat menuju tujuan, tapi terkadang juga si Miss Google Maps ini hanya membawa kita berputar-putar apalagi jika kita tidak tahu medannya. Jadi kesimpulannya, saran yang diberikan orang-orang sekitar bisa jadi itu adalah jalan terbaik dan tercepat, tapi bisa juga jalan tersebut hanya membuat kita semakin bingung dalam menentukan keputusan ke depannya. Pengalaman demi pengalaman akan membuatmu terbiasa memilih mana saran yang baik buat hidupmu, mana saran yang sebaiknya cukup untuk didengar saja.

 

Tipe Kedua: Orang yang Tidak Mengikuti Saran Arahan dari Miss Google Maps

Dia adalah si petualang liar, penguasa medan. Dia mungkin sudah mengalami beragam pengalaman, uji coba, pun berulang kali tersesat tak tahu jalan pulang. Dia bisa saja yang dari awal sudah menentukan pilihan hidupnya ingin ke mana, untuk itu dia selalu mencoba cara apa pun yang berhubungan dengan impiannya. Tanpa peduli orang di sekitar ingin berkata apa. Kemungkinan sukses pun gagal selalu saja ada, tapi kegigihannya untuk mencapai impian, membuatnya kebal akan gagal. Seiring banyaknya perjalanan dan pengalaman, dia tidak ragu lagi untuk melangkah. Tanpa melihat peta, dia tahu ke mana membawa diri untuk menggapai impiannya. Kepercayaan dari orang sekitar, apalagi keluarga, bisa saja berperan penting di dalamnya.

 

Tipe Ketiga: Orang yang Mengikuti Sebagian Arahan dari Miss Google Maps

Dia yang tidak menguasai medan meski tujuannya berada dekat di sekitarnya. Dia yang memiliki impian tapi tidak tahu apa yang terjadi ke depannya. Dia mengabaikan saran dari orang-orang sekitar selama dia yakin akan jalannya. Seperti yang kubilang sebelumnya, Miss Google Maps yang kadang menyuruh memutar balik. Dia yakin jalan lurus pun akan sampai ke tujuan, tanpa peduli putar balik adalah jalan yang tercepat.

 

Dia tidak begitu percaya apa yang dikatakan orang lain, mungkin karena pengalaman pahit, setelah memercayai pendapat orang pun membuatnya tersesat lebih jauh, alhasil dia harus mengulang kembali dari awal. Salah jurusan, atau sebagainya.

 

Dia hanya ingin mendengar pendapat dari seorang yang mereka percaya. Memberi tahu jalan hidupnya kepada orang yang bertentangan jalan adalah sesuatu yang menyiksa, yang tidak paham akan dirinya, apalagi menghina keputusan yang diambilnya. Dia hanya membutuhkan arahan ketika memang tidak tahu lagi harus melakukan apa, tidak tahu lagi langkah selanjutnya, untuk itu mereka membutuhkan seorang pendukung yang percaya akan dirinya. Pemilik impian yang sama akan membantunya untuk memilih maju dan percaya, untuk melanjutkan perjalanan dibanding memutar balik. Miss Google Maps pun tak selamanya menyuruh untuk memutar balik ketika dirasa rute lurus sudah lebih dekat dengan tujuan, dia akan berbalik mendukung pun mengikuti rute yang dipilih tipe ketiga ini.

 

Akhir kata, apa pun jalan yang kita pilih, kita tetap membutuhkan dukungan, apa pun sifatnya, baik itu mendukung dengan memberi saran terbaik, pun dengan membiarkan kita menikmati perjalanan, tentang kepercayaan, dan mengantarkan dengan manis tepat di belakang, apa pun yang terjadi. Perjuangan tentu tidak pernah lepas dari terwujudnya impian kita, bahkan untuk sampai ke lokasi, aku pun harus berjuang paling tidak percaya pada si Miss Google Maps ini, berjuang melihat peta sepanjang perjalanan, memilih dan percaya pada jalan yang diambil, dan yang lebih penting berjuang untuk memulai mengaktifkan Miss Google Maps, lalu berangkat tak peduli ke depannya akan sampai tujuan dengan lancar atau tersesat, pun kita masing-masing punya pilihan jika tersesat. Menelepon rekan atau kembali ke rumah dan meminta maaf tidak bisa hadir.

 

Jika ada kata yang kurang berkenan, aku mohon maaf sebesar-besarnya. Sekian tulisan hari ini, semoga bermanfaat. Terima kasih.

 

Salam,

Achmad Aditya Avery

 

Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Sebuah Kebetulan

Rabu, 6 September 2017
Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Sebuah Kebetulan

Sepasang Tiang, foto oleh Achmad Aditya Avery

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Seperti yang kukatakan pada tulisan sebelumnya di blog ini yaitu menceritakan keseharian dari kehidupan seorang Achmad Aditya Avery, yang tidak penting ini. Oh ya, sebelum berlanjut, aku ingin memberitahu juga, bahwa labels Diary Pemimpi Tanpa Peri, aku ganti menjadi Catatan Pemimpi Tanpa Peri, mohon maaf sekali atas kelabilan ini.

Aku baru saja memikirkannya tadi, sekitar lima menit yang lalu. Tulisanku ke depannya mungkin tidak akan seperti Diary pada umumnya, seperti:

Dear Diary,

Hari ini aku makan bakso sambil lari maraton. Aku senang sekali ketika seorang yang kusuka meminta beberapa sendok bihun, lalu kami pun makan semangkuk berdua sambil berlari. Ah, romantisnya hari ini. Sesampainya di garis finish, kami serempak mulas bersama-sama. Ini pertama kalinya kulihat perempuan yang kusuka, sebegitu berkeringatnya, dengan garang meminta izin pada ketua regu untuk izin ke toilet. Aku menemaninya, tapi tenang kami berada di toilet yang berbeda sesuai jenis kelamin yang ada.

Terima kasih untuk hari ini.
Love you, My Sweety
Achmad Aditya Avery

Tidak, sekali lagi tidak, aku juga tidak berharap makan bakso sembari lari. Berbagi bihun sambil lari, susah. Jangankan semangkuk bakso panas, kopi saja kubawa jalan ke kamar sudah tumpah menghiasi lantai-lantai rumah. Bisa cuci muka dengan kuah bakso jika hal itu sungguh terjadi.

Nah, pikirku aku tidak akan menuliskan seperti itu setiap harinya, pun jika setiap hari, mungkin aku tidak akan bercerita apa yang terjadi di hari tersebut, bisa saja aku menuliskan apa yang terjadi di hari lain yang kebetulan aku mengingatnya di hari ini, lalu menuliskannya. Dan, aku juga tidak akan fokus pada momen pun perasaan di hari bersangkutan. Aku adalah tipe yang memiliki perasaan bak lonjakan saham, atau mungkin seperti cuaca siang tadi, yang lima menit hujan, lalu panas, lalu hujan, lalu panas, lalu hujan sambil panas, lalu panas, lalu hujan. Aku ingat bagaimana rasanya mengangkat jemuran, menjemurnya lagi, mengangkatnya lagi berkali-kali. Itulah perasaanku, tidak jelas, dan cepat berganti.

Jadi, dengan pertimbangan yang aneh di atas, aku memutuskan untuk mengganti diary dengan catatan. Ya, hanya catatan, tapi di sana aku bebas menuliskan apapun yang kurasa, yang terpikirkan, yang ada di kepalaku hari itu, meskipun yang tertulis bukan tentangku.

Langsung saja, untuk hari ini aku ingin membicarakan tentang sebuah kebetulan. Bukan sesuatu yang penting memang. Hanya saja, hari ini puisi yang sebenarnya sudah cukup lama kubuat kembali kuterbitkan di situs wattpad (ID: adityaavery). Sekalian promosi ya.

Aku memasukannya di sana, dalam Kumpulan Puisi yang diberi nama Anggap Saja Kucing Liar.

Mengapa sih di Kumpulan Puisi – Anggap Saja Kucing Liar banyak puisi yang lama? Bahkan puisi dari SMA pun dimasukkan.

Sering sih pertanyaan seperti itu menyerang kepala secara pribadi, jawabannya juga sederhana. Kumpulan Puisi tersebut adalah sebuah perjalanan, aku berulang kali meyakini diri akan hal tersebut. Awalnya aku berencana menciptakan puisi yang baru untuk dimasukkan, tapi hati kecil ini bertanya cukup keras.

Ke mana teriakan puisi-puisi lamamu? Dikubur dalam masa lalu, dibiarkan mati, sendiri, kedinginan, bersama kehampaan. Berakhir tanpa pelajaran.
Itulah alasannya.

Berikut puisi yang kumaksud hari ini, berjudul Tak Ada Puisi Hari ini, puisi yang dibuat tertanggal 6 September 2016, dan sekarang tanpa sadar di-posting ulang di tanggal yang sama.

Tahun lalu di tanggal yang sama. Sumber: Facebook (Achmad Aditya Avery)


Tak Ada Puisi Hari Ini

Suasana hati mendung
Udara sedang berkabung
Sesak dada mengingat dan merenung
Kawan, mari tinggalkan dinding ini tanpa bersenandung

Bukan, ini bukanlah isyarat untuk berhenti
Kalian tahu, tak ada alasan untuk lari
Catatan digital ini untuk menghormati
Merenungi bahwa di dunia ini tak ada yang abadi

Maaf kawan, tak ada puisi hari ini
Tidak ada kata yang melayang berlari
Kita duduk, merenungi
Setiap detik yang terlewati

(Tangerang, 6 September 2016)

Tentang sebuah kebetulan kecil, sedikit tentang puisi tersebut. Tahun lalu, puisi itu dibuat setelah mendengar berita duka, dari seorang teman satu organisasi. Aku tidak menyebut nama, maaf. Saat itu yang bisa kulakukan hanya berpuisi, maka kutulislah puisi tersebut. Meski sedikit aneh akan judulnya Tak Ada Puisi Hari Ini, tapi yang kubuat saat itu tidak lain adalah puisi. Saat itu yang kumaksud adalah sebuah ajakan untuk merenung, mengingat kembali bahwa kita ini adalah manusia yang tidak akan lepas dari kematian.

“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami, kamu dikembalikan.” (QS al-‘Ankabut Ayat 57)

Tak ada puisi hari ini, ya tidak ada puisi yang bersifat mesra, cinta-cintaan, galau, apalagi guyon. Tidak ada. Tahun lalu di tanggal yang sama aku bergumam dengan empati tanpa tahu kepada siapa. Alhamdulillah, kudoakan kesedihannya telah berlalu dan berganti bahagia penuh berkah. Insya Allah.

Itulah nikmatnya menulis, pekerjaan penuh rahasia, tanpa perlu memberikan kode. Biarkan orang menghasilkan persepsinya, ataupun bermain dengan pelajaran yang ada di dalamnya. Untuk setiap tulisanku, ambilah yang baik darinya, jika kamu temukan sesuatu yang di luar norma pun tidak sesuai, pun menemukan keburukan, buang saja jauh-jauh yang buruknya.

Tentang sebuah kebetulan, aku yakin banyak kebetulan-kebetulan yang terjadi di sekitar kita. Juga mungkin kebetulan akan dipertemukannya dua insan yang secara kebetulan pun menjadikan kita mengenal dua kubu yang seharusnya saling mengenal.

Tentang sebuah kebetulan. Kita manusia, dengan pikiran yang terbatas selalu menganggapnya sebuah kebetulan, padahal mungkin jauh sebelum kita dilahirkan, Allah sudah menuliskannya, semua hal yang kita anggap kebetulan tersebut.

Tentang sebuah kebetulan, jangan lagi risau engkau wahai insan muda. Soal jodoh pun rezeki. Kebanyakan kita risau akan dua hal tersebut. Namun, jarang sekali risau akan mati. Persiapkan, sebagaimana mati yang perlu disiapkan. Rezeki pun jodoh yang kita patut lakukan adalah mempersiapkan pun berdoa, insya Allah yang terbaik akan engkau dapatkan. Aku pun masih mencoba membuktikannya.

Tentang sebuah kebetulan yang ternyata bukanlah kebetulan.

Sekian, terima kasih.

Salam

Achmad Aditya Avery

Senin, 04 September 2017

Catatan Pemimpi Tanpa Peri - Tentang Sebuah Nama

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Mari biasakan memulai sesuatu dengan salam mulai saat ini. Aku ingin memberitahukan sesuatu yang tidak begitu penting, yaitu baru saja aku merombak kembali seluruh nama media sosial, dari dityavery menjadi adityaavery, tidak penting bukan?

Alasannya sederhana, ini sudah mengganggu pikiranku lebih dari seminggu atau dua minggu mungkin lamanya. Maaf, lupa.

Tidak hanya itu, alasan utamanya adalah, aku ingin menggunakan nama indah yang diberikan Papa, selain di batu nisanku kelak, aku ingin menyematkannya di buku-buku yang kutuliskan (insya Allah). Nama pemberian Papa, Achmad Aditya Avery, ingin sekali kugunakan seutuhnya tanpa dipotong sana sini, meskipun alasan memberi nama 'Avery' adalah sebuah kekeliruan kecil, ucap Papa. Beliau mengira Avery adalah nama kearab-araban, tapi ternyata nama kebarat-baratan, tidak masalah juga menurutku.

Aku sempat mempertimbangkan pun sempat juga bersikeras mengenakan nama tersebut. Pertama Dityavery adalah pemberian sederhana seorang teman, pun Helmi (salah satu sahabat terbaik) ini menyarankan untuk tetap mempertahankan nama ini, tapi tetap saja ada yang mengganjal di pikiran ini. Seperti bocah sekali pengepul kata satu ini (tunjuk diri sendiri), untuk itulah permintaan maaf teramat besar dariku untuk kalian, dan juga permintaan maaf untuk diriku sendiri, yang telah labil dalam membuat keputusan sederhana ini.

Baiklah sekaligus mungkin kubahas arti dari nama-nama yang diberikan, sejujurnya aku pun tidak tahu arti yang pasti. Namun, beberapa situs dan referensi berikut mungkin membantu.

Achmad, memiliki arti sama seperti nama Ahmad, yang berarti terpuji, diharapkan orang yang diberi nama ini akan memilki perilaku yang terpuji. (Sumber: http://kbbi.hostnic.id/arti-nama/b.php?mod=view&achmad-Islami%20Muslim-Laki-laki&id=55.html). Alhamdulillah, doa yang terbaik di potongan nama yang pertama, Achmad, yang juga membuatku harus diabsen paling pertama, mengumpulkan tugas paling pertama, dan pulang paling pertama di waktu SD dulu ketika masih mengenakan sistem absen.

Berikutnya, Aditya.
Banyak sekali artinya, aku mengambil salah satunya yaitu nama laki laki sansekerta yang berarti orang yang pandai dan bijaksana (http://kbbi.hostnic.id/arti-nama/b.php?mod=view&Aditya-Sansekerta-Laki-laki&id=71.html). Potongan nama yang kedua pun alhamdulillah, doa yang baik, insya Allah.

Selanjutnya yang terakhir, Avery.
Nah, nama ketiga ini diambil dari bahasa Amerika Inggris, definisinya pemimpin para peri (http://kbbi.hostnic.id/arti-nama/b.php?mod=view&Avery-Amerika%20Inggris-Laki-laki&id=10100.html), agak sedikit melenceng sebenarnya, dan aku pun tidak paham bagaimana menyambungkannya ke dunia nyata. Bisa dibilang arti dari potongan nama yang ketiga ini memiliki genre fantasy, yang melibatkan para peri dan negerinya. Dan lagi, nama ini bersifat unisex, bisa digunakan oleh laki-laki dan perempuan, tapi sepertinya banyak digunakan oleh perempuan. Namun, anggap saja nama itu adalah doa, pemimpin, ya pemimpin insya Allah. Setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin dari dirinya sendiri, lalu keluarga, kota, pun bangsanya.

Baiklah sekian topik yang tidak jelas ini, anggap saja pengenalan sekilas dari labels terbaru yang insya Allah akan menghiasi blog ini, aku memberi labels tersebut, Catatan Pemimpi Tanpa Peri.

Filosofinya sederhana, pertama aku manusia, bukan peri. Mungkin nanti dunia peri itu ditemukan, aku pun akan tetap menganggap diri manusia, karena dilahirkan sebagai manusia. Bicara apa aku ini. Kedua, aku adalah pemimpi amatir yang tidak tahu medan. Makanya aku bermimpi, mimpi, dan mimpi, untuk mengejar sedikit demi sedikit harapan serta doa yang tersemat dalam ketiga potongan nama pemberian Papa.

Pada akhirnya, aku ucapkan terima kasih, semoga labels ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terkhusus para pembaca. Insya Allah, seperti namanya, Catatan, yang akan berisi tentang keseharian kehidupan dari seorang bernama Achmad Aditya Avery ini, tentang perasaan pun pikiran yang sangat tidak pentingnya. Namun, jika kau dapatkan hikmah di dalamnya, ambilah. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Salam hormat,

Achmad Aditya Avery

Jumat, 18 Agustus 2017

Puisi Sahabat Sibookie - Eforia Kemerdekaan


Hai, selamat sore semuanya.

Hari ini aku (tenang, bukan ingin bicara sendiri kok, 'Iya engga?' 'Yoi!') tapi kali ini mau berbagi sesuatu yang spesial di hari yang spesial, yah meski lewat sehari sih. Eh, tapi kan dipostnya kemarin. 

Langsung saja, kita awali dengan mengenalkan komunitas membaca kita, yang diberi nama Sahabat Sibookie, baru lahir sih tapi semangatnya insya Allah tidak kalah dengan yang tua. Nah, kemarin di grup whatsapp mendadak ada bocah ingusan yang mau mengadakan menulis puisi beruntun dari jam 06.00 hingga jam 18.00 di hari kemerdekaan Republik Indonesia kita tecinta. Namun, si ingusan ini malah bangun kesiangan dan baru bisa menuliskan puisinya pukul 07.00 dan disusul oleh beberapa anggota Sahabat Sibookie yang alhamdulillah masih menyempatkan waktunya menulis meski kesibukan yang luar biasa mewarnai hari mereka. Aku si ingusan pun pengangguran sangat amat mengapresiasi mereka semua. Good job buat kalian, tervaaaiggggh (bahasa aliennya).

Oke, berikut puisi yang telah disusun kembali oleh Mbak Tendry Light, salah satu anggota nan selalu ceria, meski dengan sekian kesibukannya.

UFORIA KEMERDEKAAN
Oleh : Sahabat Sibookie

Tujuh titik delapan
Terbayang sudah pasukan putih putih berbaris di lapangan
Terlampau sebuah kenangan

Enam titik nol, tidak ada yang terbangun pula
Alarm manja tak kunjung ada
Pasukan malam yang kemarin telat bermimpi
Mungkinkah masih sanggup berdiri

Putih tulang melekat di badan
Melingkar balutan merah di balik kerah
Berjalan tegap hentakkan kaki
Memecahkan keheningan

Teringat belasan tahun silam
Benar, tak bisa tidur semalaman
Mendekap pakaian putih dalam pejaman
Berjalan beriringan kibarkan pusaka

Kupikir mengibarkan pusaka di malam buta
Ah, bangun tidur pun perlu perjuangan
Ditambah sarapan pun sembari berbicara
Asal dengan pujaan jiwa pun tidak apa

Pujaan jiwa telah pergi di pagi buta
Berdiri di siram terik surya bersama yang lainnya
Menyanyikan lagu sang pusaka yang dipuja
Bangga akan kewarganegaraannya

Terkadang ingin berada di posisi mereka
Telah lama tak menyaksikan penaikkan pusaka dengan mata dan raga
Kini, hanya melihat dari layar datar
Ikut bangga kepada generasi muda

Hayolah, tegak saja walau sekadar kata
Tak ada kata tua untuk ikut berbangga
Umur itu cuma angka
Jangan mau kalah dengan yang muda
Baiklah aku pun menghibur diri saja

Siang pun tiba
Gusar tak mereda
Akankah pertanyaan semesta
Soal niat hambaNya untuk negara

Langit-langit menggenggam terik
Sorak teriak peri bumi bercecer
Lapangan membentang terinjakkan kaki perbedaan

Agama dan suku,
Bersatu.
Mayoritas menjadi satu dengan minoritas dalam rasa,
Solidaritas

Dua belas nol,
Pusara pusat ramai kini sepi
Berjarak waktu.
Hari ini bukan tujuh puluh dua tahun yang lalu,
Tidak ada pedang dan cerulit tercecer
Tinggal sisa semangat yang bertarung masa
Tinggal kita yang menjaga semesta

Empat belas titik dua dua delapan
Perang berubah haluan menjulang pulau media
Dibumbui ramainya tank pemikiran
Pun meriam kecemasan
Kita berada di tengah kebarbaran
Di mana bukan hanya sampah bahan pembakaran

Indonesia, 17 Agustus 2017

Link: https://www.facebook.com/671549549697359/photos/a.671596986359282.1073741825.671549549697359/694064434112537/?type=3&theater
----------------------------------------------------------------------------
Dalam menyambut Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke-72, Sahabat Sibookie melakukan puisi berantai selama duabelas jam, dimulai dari jam enam pagi hingga enam sore.
----------------------------------------------------------------------------

Ingin mengenal kami lebih dalam, yuk ikuti Sahabat Sibookie,
Follow :
IG : @sahabatsibookie
FB: Sahabat Sibookie

Nah, sekian untuk hari ini, semoga bermanfaat. Sampai jumpa di lain kesempatan. Terima kasih.


Achmad Aditya Avery

Senin, 14 Agustus 2017

Diary Aku dari Aku - Senin, 14 Agustus 2017



Tidak terasa sudah sekitar 3 tahun yang lalu. Tahun 2014, pertama kalinya merasakan bagaimana sebuah puisi yang dibuat dengan harap-harap cemas pun masuk dibukukan bersama dengan ratusan puisi dari penulis hebat lainnya.

Mengherankan juga, ketika mengirimkan dua puisi, satu berbahasa Indonesia dan satu berbahasa Inggris, yang jujur saja modal nekat. Bagaimana tidak, dari SD, SMP, SMA rasanya sulit berdamai pun mendapat nilai memuaskan di pelajaran bahasa Inggris ini. Mendapatkan nilai 65 pun bersyukur sekali. Setidaknya tidak perlu repot remedial.


Kembali lagi, awalnya aku begitu yakin dengan puisi berbahasa Indonesia, waktu itu kuberi judul 'Dandelion', aku pikir puisi tersebut yang masuk ke 150 besar itu. Namun, ternyata puisi yang justru menjadi sarana latihan itulah yang masuk, puisi teraebut berjudul 'Shadow Flower'.

Aku bersyukur, meskipun jauh dari peserta lain yang ada di peringkat atas, puisi mereka sungguh hebat. Aku sungguh berada jauh, jauh, jauh di bawah. Bersyukur pun masih bisa masuk. Alhamdulillah, meskipun dengan catatan ada beberapa grammar yang harus diedit tanpa mengubah makna puisinya, begitu kata salah seorang penyelenggara. Tentu saja, tidak masalah.

Saat buku antologi sampai di tangan, papa dengan polosnya menyambungkan puisi tersebut dengan kegalauan karena seseorang wanita, dia bilang kurang lebih, "Kamu jangan terlalu dalam memikirkan seseorang yang kamu suka, belum tentu dia memikirkan hal yang sama denganmu. Santai saja."

Tidak kusangka, meskipun saat itu aku mengelak. Namun, memang aku memasukan terlalu banyak kegalauan di puisi tersebut dan ternyata pemenang juara bahasa Inggris di masa SMA-nya itu paham apa yang anaknya tulis di sana. Perasaan tidak bisa mengelak bukan? Aku hanya mengangguk malu sembari menikmati deru angin dan danau dengan sandaran pohon kelapa, saat itu di sebuah kolam renang.

Yah, penting tidaknya, puisi tersebut ditulis tak lama setelah sebuah hubungan berakhir. Benar mungkin perkataan beberapa orang, menulis lebih kena kalau sedang galau.

Aku mengerti, tahun 2014, dengan peristiwa itu adalah awal di mana aku mengerti, kemenangan bukanlah sebuah tujuan melainkan sebuah perjalanan.

Tahun berlalu, pijakan pertama itu adalah semangat sekaligus pengingat, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, ketika aku futur menulis, aku tatap lagi puisi tersebut dan aku yakinkan diri, bahwa setidaknya aku pernah menikmati dua tempaan sekaligus: kemenangan pun kekalahan. Jadi aku tegaskan ketika menghadapi kompetisi berikutnya, kekalahan bukanlah suatu yang menakutkan,pun itu evaluasi yang menjanjikan. Kemenangan pun bukan suatu yang patut dibanggakan berlebihan, karena itu hanyalah tiket untuk kita melihat ke atas, memusatkan impian, juga tiket untuk mensyukuri nikmatnya perjalanan.

Sekian.
Terima kasih.

Achmad Aditya Avery

Selasa, 08 Agustus 2017

Diary Aku dari Aku - Selasa, 8 Agustus 2017

KELUAR KAU!

Hoi, hoi! Aku dari tadi mendengarnya, santai saja. Ada apa?
Stop!
Kemarin kan kamu baru saja mendengar kalau menulis bisa menghilangkan sekelebat stresmu itu. Aku dengar kamu mau menangis, kamu tahu mengatakan itu hanya akan membuat yang lain menganggapmu lemah.

Tapi, tidak apa-apa sih, memang lemah. Terima saja.
Maksudku, ya sudah. Itu kelemahanmu, kelemahan kita, mau diapakan?
Cengeng! Yay! Seharusnya kita bangga.

Apanya yang patut dibanggakan?

Klasik sih jawabannya, tapi kalau kita sudah menemukan kelemahan, aku pikir itu selangkah lebih maju. Kita menerimanya, tapi tidak pasrah begitu saja. Kalau cengeng ya sudah, cengeng. Makanya sekarang di hari Selasa ini kamu bicara lagi denganku di tempat ini, lewat tulisan. Kamu butuh bentuk fisik kan setelah seminggu menahan sepi dan kesendirian. Tidak usah mengelak. Santai saja.

Lihat tangan kita bergetar dan kamu tidak bisa mengatakan apa-apa. Ada perasaan bersalah yang tidak bisa dijelaskan tentang peristiwa di hari Sabtu, bukan? Oke, aku tidak bisa mengatakan itu tidak apa-apa, aku pun tidak bisa menebak apa yang tersembunyi di balik keceriaannya.

Sudah, ini sudah keputusan kita bukan?
Aku tahu jasad dan hati kita ini masih jauh dari kata sempurna, boro-boro alim, susah, tapi setidaknya langkah yang kita lakukan adalah untuk melindunginya. Kita tidak tahu ke depannya, hati dan pikiran kita itu penuh noda, dan kita pun belum bisa memastikan apa-apa, mau berapa lama? Tidak jelas kan? Kita sama-sama sepakat tidak ingin membuatnya ternoda, walaupun rasanya ingin menampar diri jika sampai setetes air matanya jatuh. Sudahlah tidak perlu bergetar lagi!

Iya... iya... aku paham, kita bahas beralih ke masalah berikutnya. Tentang keputusan, impian, dan masa depan kita yang kocak ini.

Novel kita bagaimana?

Aku sudah pernah bilang waktu menyelesaikan kumpulan puisi, kita sudah memanjat sedikit. Bertahanlah, aku tahu pedih mendengar semuanya, pedih. Menangislah, dalam hati. Seandainya bisa menyewa studio, kedap suara, ruang terkunci dari dalam, tanpa CCTV, dan murah, kita pasti sudah ke sana, menangis sepuasnya, guling-gulingan. Kenyang!

Aku mengkhawatirkan kesehatan badan kita yang sudah mulai aneh ini. Kamu merasakannya kan?
Kocak sekali, cepat sekali kita lelah, pandangan buyar, berasa tidak tidur seminggu. Kepala kita itu kenapa? Badan kita itu kenapa pula? Kendalikan pikiranmu, jangan ditampung sendirian. Sini, lepaskan semuanya, tumpahin!

Aku memang tidak berwujud, tidak empuk bak guling. Jika bisa kita saling berpelukan pasti akan lebih mudah bukan? Kita pernah menangis bersama, dan itu melegakan. Sungguh! Beban seperti menguap lenyap dari tubuh ini.

Sepertinya detak jantung kita sudah agak rileks, dibanding tadi, dibanding kemarin. Kamu itu, kalau enggak kuat senyum, ya sudah jangan dipaksa. Izin saja kalau enggak mau dilihat, ke toilet kek, ke mana kek.

Baiklah, masih ada lagi kah yang mau dibuang?

Baiklah, jika sudah, jangan sungkan untuk kembali berinteraksi lewat media ini.
Selamat istirahat.


Minggu, 06 Agustus 2017

Resensi Buku Out of My Mind; Tentang Melody, Si Cerdas, dan Dunia yang Tidak Dapat Mendengarnya

Resensi Buku Out of My Mind; 
Tentang Melody, Si Cerdas, dan Dunia yang Tidak Dapat Mendengarnya





Out of My Mind

Penulis: Sharon M. Draper

 

ISBN: 978-1-4169-7171-9

Rilis: Copyright 2010 by Sharon M. Draper, First Atheneum Books for Young Readers paperback edition May 2012

Halaman: 295

Penerbit: PT Sinar Star Books

Bahasa Inggris

Blurb

Eleven year-old Melody has photographic memory. Her head is like a video camera that is always recording. Always. And there’s no delete button. She’s the smartest kid in her whole school—but NO ONE knows it. Most people—her teachers and doctors included—don’t think she’s capable of learning, and up until recently her school days consisted of listening to the same preschool-level alphabet lessons again and again and again. If only she could speak up, if only she could tell people what she thinks and knows...but she can’t, because Melody can’t talk. She can’t walk. She can’t write. Being stuck inside her head is making Melody out of her mind—that is, until she discovers something that will allow her to speak for the very first time ever. At last Melody has a voice ... but not everyone around her is ready to hear it.

 

“You’re not so intelligent, sir – you’re just lucky! All of us who have all our faculties intact are just plain blessed. Melody is able to figure out things, communicate, and manage in a world where nothing works right for her. She’s the one with the true intelligence!” (hal 26)

 

Buku Out of My Mind karya Sharon M. Draper, seorang yang tinggal di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat. Penulis yang sangat produktif akan karya serta prestasinya yang luar biasa. Buku Out of My Mind pun mendapat penghargaan di antaranya #1 New York Times bestseller, winner of the 2011 Bank Street College of Education Josette Frank Award, Kirkus Reviews Best Children’s Book of 2010, dan masih banyak lagi.

 

Buku ini bercerita tentang seorang anak yang bernama Melody, yang tidak dapat berbicara, tidak dapat berjalan, tidak dapat makan sendiri, tidak dapat pergi ke toilet sendiri tapi dia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Melody seolah dapat merekam apa yang terjadi di sekitarnya, dia mengingat setiap momen, ucapan, lagu, kebiasaan orang tua dan orang-orang di sekitarnya, hingga aroma kopi pagi hari yang bercampur dengan aroma bacon, serta ocehan dari pembaca berita.

 

Melody tidak bisa melakukan setiap hal yang biasa anak normal lakukan. Beruntung ada banyak orang-orang baik di sekelilingnya, yang sangat menyayanginya seperti kedua orang tua dan adiknya yang bernama Penny, anjing kesayangannya yang bernama Butterscotch, dan juga Mrs. Violet Valencia atau yang biasa dipanggil Mrs. V, dan Catherine, dia adalah seorang mahasiswi yang membantu Melody di sekolahnya. Catherine adalah salah satu karakter favorit saya di novel ini, sifatnya baik dan sangat bersahabat, atau mungkin bisa disebut Partner in Crime –nya Melody.

 

“Hi, Dad. Hi, Mom. I am so happy.”

“I love you.” (hal. 138)

 

Sesuatu yang tidak kalah menarik dalam buku ini adalah ketika hadirnya sebuah alat yang disebut Medi-Talker, alat yang dapat membantu Melody untuk bicara lebih leluasa. Melody menamakannya Elvira. Momen mengharukan ketika Melody dapat mengatakan kalimat pertama kepada kedua orang tuanya saat menginjak kelas 5 SD, lewat bantuan Elvira.

 

Buku ini menyimpan banyak nilai kehidupan tentang bagaimana mensyukuri, tentang bagaimana percaya pada suatu hal yang dianggap mustahil oleh orang banyak, tentang perjuangan dalam diam, tentang bertahan dalam frustrasi karena tidak adanya yang mendengar keinginan juga maksud kita akan suatu hal.

 

Kelebihan:

Seperti yang dikatakan sebelumnya, buku ini benar-benar kaya akan nilai kehidupan serta perjuangan, disajikan dengan gaya bahasa yang ringan. Penulisnya pun pernah berhadapan langsung dengan anak-anak luar biasa yang terjebak dalam keterbatasan fisik, mungkin karena itu sang penulis, Sharon M. Draper dapat meletakkan separuh jiwa serta pengalamannya untuk membuat cerita ini lebih hidup. Ditambah sudut pandang orang pertama, yaitu Melody, membuat cerita ini lebih mengena dan dalam. Karakter-karakter di dalam buku ini pun diperankan dengan sangat baik. Tidak heran jika buku ini mendapat banyak penghargaan luar biasa.

 

Kekurangan:

Sejujurnya agak sedikit membingungkan karena ada pengulangan di chapter 1 dan chapter 33 yang merupakan chapter terakhir buku ini, mungkin ada maksud tertentu dari penulis, tapi sepertinya diri ini belum dapat menangkap maksudnya. Ditambah karena buku ini masih dalam bahasa Inggris, ditambah keterbatasan saya dalam hal tersebut, ada beberapa poin yang tidak saya mengerti. Saya berharap bisa membaca versi terjemahan bahasa Indonesianya.

 

Sekian sedikit resensi dari buku Out of My Mind karya Sharon M. Draper ini. Jika ada kalimat yang kurang atau keliru, mohon jangan ragu untuk memberitahukannya. Terima kasih.

Kamis, 03 Agustus 2017

Dua Hari, Satu Langkah, Kita Menyapa, Menyiapkan Masa Depan, Berpisah, Berjuang, dan Pasrah

Dua Hari, Satu Langkah, Kita Menyapa, Menyiapkan Masa Depan, Berpisah, Berjuang, dan Pasrah

Mengikuti genangan
Arus tak pernah sekencang ini
Atau mungkin perasaku saja yang rada-rada
Tak beretika

Tegar hanya hiasan
Mungkin dunia telah banyak berubah ketika itu terjadi
Ketika kita melesat dalam lorong waktu
Berjalan, berlari, menari, atau sekadar menatap mesra radiasi
Kita adalah hiasan dari zaman yang melaju pesat

Kita adalah makhluk paling sempurna
Sisa peradaban dunia
Sekadar untung saja kita tak masuk dalam rahang binatang purba
Dan saling jatuh cinta merasa aman, dunia milik berdua

Kita adalah pelantun perdamaian sekaligus peperangan
Lihat kita kaya akan muka

Kamu yang di sana
Tak bisa kutarik benang untuk mesra
Lihat bagaimana pikiranku berputar menggampar zaman
Berenang dalam waktu yang sembarangan

Kamu yang di sana
Kita akan bertemu kembali atau tidak
Dengan rasa yang sama
Atau sekadar dunia yang sama

Dua hari ke depan adalah asa
Hari berikutnya adalah masa
Di mana perjuangan menjadi doa
Pasrah menjadi bunga
Berpisah menjadi tanahnya

Tinggal saja
Jika aku terlalu lama
Tenggelam dalam mimpi tanpa rasa
Aku akan selalu berdoa

Achmad A. Avery (Dityavery)
Serang, 30 Juni 2017

Senin, 31 Juli 2017

Diary Aku dari Aku - Senin, 31 Juli 2017

Dear Diary

Tentang apa kabar diriku, ini aku, dirimu. 

Wah, kamu sengaja memulainya di hari Senin, tempat pertama kita bertemu. Ah, dahulu mungkin kita tak saling mengenal, bisikan kecil itu tidak kamu dengar meskipun mungkin sesekali ada. Hari Senin, hari di mana aku dilahirkan, tentu bersamamu.

Aku rasa sudah saatnya kita untuk saling mengenal, abaikan mereka yang menganggapmu gila, aku bicara padamu, yang kesal mengeluh terjerembap dalam sepi. Banyak yang kamu punya, meski aku tahu uangmu menipis, tapi kamu masih punya mereka, sahabatmu, mungkin "kekasihmu", orang tuamu, adik-adikmu, mentormu, junior dan seniormu, yang paling penting kamu punya Allah yang selalu ada untukmu. Itu kan yang biasanya kamu 'share' di teman-teman media sosialmu?

Halo, diriku.
Aku adalah satu sisi, yang selalu tertawa, aku adalah si bahagia. Sanguin, kebanyakan mereka menyebutnya, tapi aku tidak peduli. Aku selalu ingin bercanda, bercanda, sampai-sampai mengambil alih mulutmu, melepas kontrol, dan kamu juga yang menanggung sesal atas ulahku. Maafkan ya.

Kamu, adalah bagian dariku. Bicaralah!

Apa yang kamu katakan barusan?
Diriku?
Baiklah, aku tidak peduli sepi. Biarkan aku bicara, jika kamu adalah bagian bahagiaku, kalau begitu aku adalah tempat depresi, frustrasi, cemburu, khawatir, semuanya bersarang. Mengapa aku harus menanggung semuanya sendiri?

Kamu itu, sudah kubilang kita ini satu. Lagipula, aku juga merasakan apa yang kamu rasa, makanya aku ingin berbicara padamu. Bagaimana caranya kita mengatasi masalah ini bersama? Kamu selalu muncul dan mengambil alih tubuh, kamu adalah bagian diri yang cinta ketenangan, Plegmatis, itulah sebutanmu, menurut teori mereka. Aku mengerti, kamu membutuhkan ketenangan, dan akan bekerja dengan baik tanpa pengganggu. Bukan meriam, alarm, apalagi sekadar anjing menggonggong, kamu tidak akan mengindahkan hal tersebut, demi pekerjaam yang kamu suka. Namun hati dan pikiranmu itu, benar-benar deh.

Apa kamu ingin membuatku seolah bicara sendiri di sini?

Ya, mau bagaimana lagi?
Kita sudah bicara sebelumnya, sering sekali bukan. Saat di perjalanan, apalagi di motor, di tempat sepi, terhalang kaca helm, mulut kita tidak berhenti bicara, bersahut-sahutan, pikiranmu tetap berjalan fokus ke depan. Saat aku muncul mengambil alih hari, mulut kita tidak berhenti tersenyum bahkan tertawa kecil, untung tidak ada yang melihatnya. Sebaliknya...

Ketika aku yang mengambil alih hari, aku menghancurkannya.

Santai, diriku. Kamu adalah bagian paling kalem, jika saja tidak ada beban yang mengganggu pikiran sensitif kita, kamu benar-benar pengendara yang bijak, peduli setan truk, motor lain, atau angkutan umum yang memberikan klakson ketika lampu merah. Kamu tetap tenang di sana, melepaskan tangan dari setang motor, menunggu detik lampu merah berubah menjadi hijau, sembari memandang langit, kadang aku tersenyum di sana, bahagia.

Namun ketika kamu terhalang oleh pikiran-pikiran mematikan itu, seperti pekerjaan, khawatir kita memilih jalan yang salah, tentang impian kita yang ditentang habis-habisan, bahkan penyesalan kita karena menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk salah jurusan, tentang ketidakberanian kita memberontak lebih awal. Santai-santai, aku tahu kamu bahkan ingin menghantam kepalamu ke pintu kamar hingga hancur bukan?

Kamu mendengar sendiri kan aku di motor tadi?: Tidak perlu kujelaskan.

Iya, itu bahayanya, aku menyarankan kamu untuk menulisnya. Kita sudah terlalu sering berbicara berdua, kadang bersuara, kadang dalam senyap. Aku tahu itu menderita, ketika kita bicara tak ada yang memahaminya, aku tidak paham seolah bahasa yang kita gunakan itu bahasa alien, atau bahasa kucing liar. Tidak apa, dengan menulis pun mungkin tak banyak yang paham tentang masalah kita, tapi setidaknya kamu tahu, kita telah melemparkan percakapan kita untuk dunia. Biarkan semesta yang mendengarkan, ya meskipun hanya melesat di telinga para penduduk bilangan biner, tidak apa 0 dan 1 cukup banyak kan yang tahu, dibanding kita hanya bicara berdua, lalu lenyap terhempas angin malam.

Aku tidak bisa bicara apa pun hari ini, diriku. Seperti ada yang mengganjal di hati dan pikiran.

Ya sudah, meski begitu ada sedikit lega bukan?

Iya sih.

Kita akan melanjutkan percakapan ini, perasaanmu itu pasti akan datang kapan saja, sekarang sudah malam, kalau kita mau melanjutkan novel 'Maukah Kamu Menulis Denganku?' mari kita lakukan sebelum larut, aku ingin kamu solat Subuh besok di masjid. Jangan tidur lagi setelahnya, aku tahu ini sulit, tapi mari kita lakukan bersama.

Baiklah, diriku. Terima kasih.

Yosh, sampai jumpa lagi!

- Dityavery

Jumat, 14 Juli 2017

Aku Mendukung (Based on Photo by Bang Apryananda)



Yo, halo, semuanya.
Apa kabar?

Jumpa lagi denganku, Dityavery. Mohon maaf karena jarang sekali update di blog, karena beberapa kesibukan yang cukup "banyak" menghabiskan tenaga dan waktu, ya seharusnya itu bukan alasan, ditambah sekarang bocah labil ini baru saja mengambil keputusan sembarangan untuk kehidupan ke depannya, padahal itu adalah keputusan yang amat penting.

Baiklah cukup sampai di sana beralasannya. Kali ini aku mencoba kembali dengan puisi. Sebelumnya mari kenalan terlebih dahulu, senior sekaligus sahabat yang luar biasa, dengan kemampuan fotografi yang menurutku patut diacungi jempol. Dia adalah Bang Apryananda, kami biasa memanggilnya Bang Ryan atau pun Bang Rygon (singkatan dari Ryan Gondrong), karena rambutnya yang berkilau dan panjang bak model shampo di televisi.

Mungkin bagi yang ingin berkenalan, bisa langsung ke instagramnya.
Instagram: https://www.instagram.com/apryananda/

Nah, pada kesempatan ini, kebetulan Bang Ryan memberikan kesempatan untukku menuliskan puisi dari beberapa foto hasil potretannya. Puisi ini pun akan diposting di wattpad Dityavery, tepatnya pada Kumpulan Puisi 'Anggap Saja Kucing Liar', bagi yang ingin melihat bisa kunjungi link di bawah ini.

Link: https://www.wattpad.com/440438092-anggap-saja-kucing-liar-aku-mendukung

Baik langsung saja, untuk puisinya. Selamat membaca.

Judul: Aku Mendukung
(Based on Photo by Bang Apryananda)

Seberapa hancurnya negeri kita
Sehingga kamu perlu turun memperbaikinya
Seberapa rakusnya rakyat kita
Sehingga kamu perlu turun menangkapnya

Aku tidak akan dan tak ingin membahas
Apa saya yang media katakan tentangmu dengan culas
Nah, aku pun pusing tentang setiap pemberitaan
Bagaikan air yang dikobok bocah, mengambil ikan

Aku lelah, kamu lelah, mereka lelah
Berita aneh yang tidak pernah damai

Lupakan saja
Kembali pada tugasmu yang mulia
Memberantas kakap tengik yang berjalan bangga
Memamerkan kekayaan milik negara

Aku mendukungmu, melumpuhkan, bahkan menghancurkan mereka
yang membuat rusak citra pajak, penerimaan terbesar negara
Aku mendukungmu sepenuhnya
Memberi pelajaran bos koruptor yang lari dari negara
Pengecut yang tidak bisa dibandingkan payahnya
Bahkan dari bocah yang nangis karena putus cinta

Namun, aku dan kami menatapmu setajam-tajamnya
Jika kamu menyalahgunakan niat mulia
Aku pun mendukung mereka
Menjadikanmu sejarah lalu meratakannya

Yah, meskipun aku hanya lalat kecil bermuka lima
Kamu tahu, lalat pun bahaya apalagi jika murka
Membiarkan penyakit menari dalam luka
Membuatnya membusuk, aib yang indah luar biasa

(Tangerang, 12 Juli 2017)

Sekian untuk hari ini. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi evaluasi bagi kita semua.
Jika ada kritik dan saran, silakan.

LINE: aditya_avery
Intagram: Dityavery (https://www.instagram.com/dityavery/)
Facebook: Achmad Aditya Avery
Phone Number: 085921310421
Email: adityaavery11@gmail.com
Atau bisa di kolom komentar postingan ini.

Terima kasih.
Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Selamat malam.

- Dityavery