Minggu, 12 November 2017
[PUISI] Kopi Tanpa Gula dan Pahitnya Hidup
Rabu, 06 September 2017
Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Impian dan Google Map
Tentang Sebuah Batang yang Bercabang, foto oleh Achmad Aditya Avery |
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Itu apa Dit, kok ada Google Maps segala?
Iya Google Maps, aplikasi yang sangat
membantu seorang fakir arah termasuk diri ini. Seriusan, aku mungkin tidak akan
pergi sendirian naik motor jika tidak ada aplikasi ini. Banyak jenisnya, ada
juga yang lebih nyaman menggunakan Waze, dan aplikasi penunjuk arah
lainnya. Tidak apa-apa, tidak usah dijadikan Civil War lagi,
setelah peperangan antara pendukung Chitoge dan Onodera, atau soal bubur ayam
diaduk atau tidak, golongan maniak sambal dan yang tidak, golongan karyawan dan
pengusaha, dan lain sebagainya. Sudahlah, akhiri saja. Berdamailah, kita adalah
satu spesies, yaitu manusia.
Kembali lagi pada topik, kali ini aku ingin membahas
tentang impian dan si aplikasi penunjuk arah ini, apa pun yang kalian gunakan
terserah. Aku menggunakan Google Maps dalam hal ini, karena
RAM tidak kuat menginstal lebih dari satu aplikasi penunjuk arah, smartphone-ku
ini tipe yang setia, tidak ingin mendua, apalagi mentiga. Abaikan.
Lalu, apa kaitannya si Google Maps ini dengan impian? |
Aku mendapatkan ide menulis ini di tengah perjalanan
menuju resepsi pernikahan salah satu junior pun teman seperjuangan di
organisasi mahasiswa, hari Minggu, tanggal 3 September 2017. Selamat menempuh
hidup baru untuk kedua mempelai, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah
warahmah. Aamiin.
Jadi, aku memutuskan untuk mengendarai motor, karena
mantap sekali jika harus ke kampus di Jakarta, sementara acaranya di Tangerang,
dan kebetulan rumahku juga di daerah Tangerang. Seingatku estimasi perjalanan
sekitar satu jam kurang sekian menit, tapi tetap saja estimasi hanyalah
estimasi, belum ditambah macet dan lambatnya diri ketika mengendarai motor.
Pikiran ini memang kadang suka nakal entah kenapa,
setiap ingin menulis selalu saja ide pergi entah ke mana, Hawai mungkin, atau
Meikarta, atau survei reklamasi di planet Saturnus. Entahlah. Namun, giliran
waktu tidur, badan drop, saat di toilet, atau ketika di perjalanan, si pikiran
ini kembali lagi ke kediamannya. Memasak ide-ide aneh yang membuat mata
terpejam tapi nyawa bergentayangan di atas kasur, pun ketika mata fokus pada
jalanan, si pikiran ini seolah menari di hadapan. Beruntung tidak ikut menari di
jalan, motornya.
Google Maps, saat kudengar suara
wanita imut tanpa bentuk, yang bawel luar biasa, yang di setiap putaran selalu
saja menyuruhku memutar balik, lalu aku mengabaikannya dan si doi ini
menyuruhku kembali berbelok entah ke mana, tapi aku tetap memilih lurus. Kepala
batu.
Itulah poin tidak pentingnya. Aku berpikir, lalu
mengaitkannya dengan proses dalam mencapai cita-cita, impian, keinginan, apa pun
namanya dengan saran arah yang diberikan si wanita tak berbentuk dari Google
Maps ini. Ya, entahlah kalau di aplikasi lain, mungkin suara
bapak-bapak atau anak kecil, asal bukan suara kucing, bebas saja.
Menurutku, ada beberapa jenis manusia dalam menyikapi
perjalanan meraih impiannya. Pertama-tama mari kita anggap tujuan atau impian
kita adalah titik lokasi yang kita ingin tuju di peta Google Maps.
Lalu saran dari si imut tak berwujud adalah saran, rujukan, pendapat, ajakan,
bahkan paksaan dari orang-orang terdekat maupun yang ada di sekitar kita, yang
memengaruhi keputusan kita dalam mencapai impian. Sederhana bukan?
Tipe Pertama: Orang yang Mengikuti Sepenuhnya Arahan
Miss Google Maps
Dia adalah yang penuh pertimbangan dalam menjalankan
hidupnya. Bisa saja dia memiliki impian yang ingin dicapai, tapi dia percaya
kepada orang yang lebih dahulu berkecimpung di dalamnya, atau mungkin keluarga
pun teman dekatnya. Ketika dia memulai melangkah, dia akan mendengarkan pun
mengikuti beragam saran yang diberikan.
Dia yang sepertinya tidak selamanya salah, dalam arah
yang ditunjukkan si Miss Google Maps, bisa saja itu adalah jalan tercepat
menuju tujuan, tapi terkadang juga si Miss Google Maps ini hanya membawa kita
berputar-putar apalagi jika kita tidak tahu medannya. Jadi kesimpulannya, saran
yang diberikan orang-orang sekitar bisa jadi itu adalah jalan terbaik dan
tercepat, tapi bisa juga jalan tersebut hanya membuat kita semakin bingung dalam
menentukan keputusan ke depannya. Pengalaman demi pengalaman akan membuatmu
terbiasa memilih mana saran yang baik buat hidupmu, mana saran yang sebaiknya
cukup untuk didengar saja.
Tipe Kedua: Orang yang Tidak Mengikuti Saran Arahan
dari Miss Google Maps
Dia adalah si petualang liar, penguasa medan. Dia
mungkin sudah mengalami beragam pengalaman, uji coba, pun berulang kali
tersesat tak tahu jalan pulang. Dia bisa saja yang dari awal sudah menentukan
pilihan hidupnya ingin ke mana, untuk itu dia selalu mencoba cara apa pun yang
berhubungan dengan impiannya. Tanpa peduli orang di sekitar ingin berkata apa.
Kemungkinan sukses pun gagal selalu saja ada, tapi kegigihannya untuk mencapai
impian, membuatnya kebal akan gagal. Seiring banyaknya perjalanan dan
pengalaman, dia tidak ragu lagi untuk melangkah. Tanpa melihat peta, dia tahu
ke mana membawa diri untuk menggapai impiannya. Kepercayaan dari orang sekitar,
apalagi keluarga, bisa saja berperan penting di dalamnya.
Tipe Ketiga: Orang yang Mengikuti Sebagian Arahan dari
Miss Google Maps
Dia yang tidak menguasai medan meski tujuannya berada
dekat di sekitarnya. Dia yang memiliki impian tapi tidak tahu apa yang terjadi
ke depannya. Dia mengabaikan saran dari orang-orang sekitar selama dia yakin
akan jalannya. Seperti yang kubilang sebelumnya, Miss Google Maps yang kadang
menyuruh memutar balik. Dia yakin jalan lurus pun akan sampai ke tujuan, tanpa
peduli putar balik adalah jalan yang tercepat.
Dia tidak begitu percaya apa yang dikatakan orang
lain, mungkin karena pengalaman pahit, setelah memercayai pendapat orang pun
membuatnya tersesat lebih jauh, alhasil dia harus mengulang kembali dari awal.
Salah jurusan, atau sebagainya.
Dia hanya ingin mendengar pendapat dari seorang yang
mereka percaya. Memberi tahu jalan hidupnya kepada orang yang bertentangan
jalan adalah sesuatu yang menyiksa, yang tidak paham akan dirinya, apalagi
menghina keputusan yang diambilnya. Dia hanya membutuhkan arahan ketika memang
tidak tahu lagi harus melakukan apa, tidak tahu lagi langkah selanjutnya, untuk
itu mereka membutuhkan seorang pendukung yang percaya akan dirinya. Pemilik
impian yang sama akan membantunya untuk memilih maju dan percaya, untuk
melanjutkan perjalanan dibanding memutar balik. Miss Google Maps pun tak
selamanya menyuruh untuk memutar balik ketika dirasa rute lurus sudah lebih
dekat dengan tujuan, dia akan berbalik mendukung pun mengikuti rute yang
dipilih tipe ketiga ini.
Akhir kata, apa pun jalan yang kita pilih, kita tetap
membutuhkan dukungan, apa pun sifatnya, baik itu mendukung dengan memberi saran
terbaik, pun dengan membiarkan kita menikmati perjalanan, tentang kepercayaan,
dan mengantarkan dengan manis tepat di belakang, apa pun yang terjadi.
Perjuangan tentu tidak pernah lepas dari terwujudnya impian kita, bahkan untuk
sampai ke lokasi, aku pun harus berjuang paling tidak percaya pada si Miss Google
Maps ini, berjuang melihat peta sepanjang perjalanan, memilih dan percaya pada
jalan yang diambil, dan yang lebih penting berjuang untuk memulai mengaktifkan
Miss Google Maps, lalu berangkat tak peduli ke depannya akan sampai tujuan
dengan lancar atau tersesat, pun kita masing-masing punya pilihan jika
tersesat. Menelepon rekan atau kembali ke rumah dan meminta maaf tidak bisa
hadir.
Jika ada kata yang kurang berkenan, aku mohon maaf
sebesar-besarnya. Sekian tulisan hari ini, semoga bermanfaat. Terima kasih.
Salam,
Achmad Aditya Avery
Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Sebuah Kebetulan
Sepasang Tiang, foto oleh Achmad Aditya Avery |
Tahun lalu di tanggal yang sama. Sumber: Facebook (Achmad Aditya Avery) |
Senin, 04 September 2017
Catatan Pemimpi Tanpa Peri - Tentang Sebuah Nama
Jumat, 18 Agustus 2017
Puisi Sahabat Sibookie - Eforia Kemerdekaan
Oleh : Sahabat Sibookie
Tujuh titik delapan
Terbayang sudah pasukan putih putih berbaris di lapangan
Terlampau sebuah kenangan
Enam titik nol, tidak ada yang terbangun pula
Alarm manja tak kunjung ada
Pasukan malam yang kemarin telat bermimpi
Mungkinkah masih sanggup berdiri
Putih tulang melekat di badan
Melingkar balutan merah di balik kerah
Berjalan tegap hentakkan kaki
Memecahkan keheningan
Teringat belasan tahun silam
Benar, tak bisa tidur semalaman
Mendekap pakaian putih dalam pejaman
Berjalan beriringan kibarkan pusaka
Kupikir mengibarkan pusaka di malam buta
Ah, bangun tidur pun perlu perjuangan
Ditambah sarapan pun sembari berbicara
Asal dengan pujaan jiwa pun tidak apa
Pujaan jiwa telah pergi di pagi buta
Berdiri di siram terik surya bersama yang lainnya
Menyanyikan lagu sang pusaka yang dipuja
Bangga akan kewarganegaraannya
Terkadang ingin berada di posisi mereka
Telah lama tak menyaksikan penaikkan pusaka dengan mata dan raga
Kini, hanya melihat dari layar datar
Ikut bangga kepada generasi muda
Hayolah, tegak saja walau sekadar kata
Tak ada kata tua untuk ikut berbangga
Umur itu cuma angka
Jangan mau kalah dengan yang muda
Baiklah aku pun menghibur diri saja
Siang pun tiba
Gusar tak mereda
Akankah pertanyaan semesta
Soal niat hambaNya untuk negara
Langit-langit menggenggam terik
Sorak teriak peri bumi bercecer
Lapangan membentang terinjakkan kaki perbedaan
Agama dan suku,
Bersatu.
Mayoritas menjadi satu dengan minoritas dalam rasa,
Solidaritas
Dua belas nol,
Pusara pusat ramai kini sepi
Berjarak waktu.
Hari ini bukan tujuh puluh dua tahun yang lalu,
Tidak ada pedang dan cerulit tercecer
Tinggal sisa semangat yang bertarung masa
Tinggal kita yang menjaga semesta
Empat belas titik dua dua delapan
Perang berubah haluan menjulang pulau media
Dibumbui ramainya tank pemikiran
Pun meriam kecemasan
Kita berada di tengah kebarbaran
Di mana bukan hanya sampah bahan pembakaran
Indonesia, 17 Agustus 2017
Link: https://www.facebook.com/671549549697359/photos/a.671596986359282.1073741825.671549549697359/694064434112537/?type=3&theater
----------------------------------------------------------------------------
Dalam menyambut Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke-72, Sahabat Sibookie melakukan puisi berantai selama duabelas jam, dimulai dari jam enam pagi hingga enam sore.
Follow :
IG : @sahabatsibookie
Senin, 14 Agustus 2017
Diary Aku dari Aku - Senin, 14 Agustus 2017
Tidak terasa sudah sekitar 3 tahun yang lalu. Tahun 2014, pertama kalinya merasakan bagaimana sebuah puisi yang dibuat dengan harap-harap cemas pun masuk dibukukan bersama dengan ratusan puisi dari penulis hebat lainnya.
Mengherankan juga, ketika mengirimkan dua puisi, satu berbahasa Indonesia dan satu berbahasa Inggris, yang jujur saja modal nekat. Bagaimana tidak, dari SD, SMP, SMA rasanya sulit berdamai pun mendapat nilai memuaskan di pelajaran bahasa Inggris ini. Mendapatkan nilai 65 pun bersyukur sekali. Setidaknya tidak perlu repot remedial.
Kembali lagi, awalnya aku begitu yakin dengan puisi berbahasa Indonesia, waktu itu kuberi judul 'Dandelion', aku pikir puisi tersebut yang masuk ke 150 besar itu. Namun, ternyata puisi yang justru menjadi sarana latihan itulah yang masuk, puisi teraebut berjudul 'Shadow Flower'.
Aku bersyukur, meskipun jauh dari peserta lain yang ada di peringkat atas, puisi mereka sungguh hebat. Aku sungguh berada jauh, jauh, jauh di bawah. Bersyukur pun masih bisa masuk. Alhamdulillah, meskipun dengan catatan ada beberapa grammar yang harus diedit tanpa mengubah makna puisinya, begitu kata salah seorang penyelenggara. Tentu saja, tidak masalah.
Saat buku antologi sampai di tangan, papa dengan polosnya menyambungkan puisi tersebut dengan kegalauan karena seseorang wanita, dia bilang kurang lebih, "Kamu jangan terlalu dalam memikirkan seseorang yang kamu suka, belum tentu dia memikirkan hal yang sama denganmu. Santai saja."
Tidak kusangka, meskipun saat itu aku mengelak. Namun, memang aku memasukan terlalu banyak kegalauan di puisi tersebut dan ternyata pemenang juara bahasa Inggris di masa SMA-nya itu paham apa yang anaknya tulis di sana. Perasaan tidak bisa mengelak bukan? Aku hanya mengangguk malu sembari menikmati deru angin dan danau dengan sandaran pohon kelapa, saat itu di sebuah kolam renang.
Yah, penting tidaknya, puisi tersebut ditulis tak lama setelah sebuah hubungan berakhir. Benar mungkin perkataan beberapa orang, menulis lebih kena kalau sedang galau.
Aku mengerti, tahun 2014, dengan peristiwa itu adalah awal di mana aku mengerti, kemenangan bukanlah sebuah tujuan melainkan sebuah perjalanan.
Tahun berlalu, pijakan pertama itu adalah semangat sekaligus pengingat, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, ketika aku futur menulis, aku tatap lagi puisi tersebut dan aku yakinkan diri, bahwa setidaknya aku pernah menikmati dua tempaan sekaligus: kemenangan pun kekalahan. Jadi aku tegaskan ketika menghadapi kompetisi berikutnya, kekalahan bukanlah suatu yang menakutkan,pun itu evaluasi yang menjanjikan. Kemenangan pun bukan suatu yang patut dibanggakan berlebihan, karena itu hanyalah tiket untuk kita melihat ke atas, memusatkan impian, juga tiket untuk mensyukuri nikmatnya perjalanan.
Sekian.
Terima kasih.
Achmad Aditya Avery
Selasa, 08 Agustus 2017
Diary Aku dari Aku - Selasa, 8 Agustus 2017
Hoi, hoi! Aku dari tadi mendengarnya, santai saja. Ada apa?
Stop!
Kemarin kan kamu baru saja mendengar kalau menulis bisa menghilangkan sekelebat stresmu itu. Aku dengar kamu mau menangis, kamu tahu mengatakan itu hanya akan membuat yang lain menganggapmu lemah.
Tapi, tidak apa-apa sih, memang lemah. Terima saja.
Maksudku, ya sudah. Itu kelemahanmu, kelemahan kita, mau diapakan?
Cengeng! Yay! Seharusnya kita bangga.
Apanya yang patut dibanggakan?
Klasik sih jawabannya, tapi kalau kita sudah menemukan kelemahan, aku pikir itu selangkah lebih maju. Kita menerimanya, tapi tidak pasrah begitu saja. Kalau cengeng ya sudah, cengeng. Makanya sekarang di hari Selasa ini kamu bicara lagi denganku di tempat ini, lewat tulisan. Kamu butuh bentuk fisik kan setelah seminggu menahan sepi dan kesendirian. Tidak usah mengelak. Santai saja.
Lihat tangan kita bergetar dan kamu tidak bisa mengatakan apa-apa. Ada perasaan bersalah yang tidak bisa dijelaskan tentang peristiwa di hari Sabtu, bukan? Oke, aku tidak bisa mengatakan itu tidak apa-apa, aku pun tidak bisa menebak apa yang tersembunyi di balik keceriaannya.
Sudah, ini sudah keputusan kita bukan?
Aku tahu jasad dan hati kita ini masih jauh dari kata sempurna, boro-boro alim, susah, tapi setidaknya langkah yang kita lakukan adalah untuk melindunginya. Kita tidak tahu ke depannya, hati dan pikiran kita itu penuh noda, dan kita pun belum bisa memastikan apa-apa, mau berapa lama? Tidak jelas kan? Kita sama-sama sepakat tidak ingin membuatnya ternoda, walaupun rasanya ingin menampar diri jika sampai setetes air matanya jatuh. Sudahlah tidak perlu bergetar lagi!
Iya... iya... aku paham, kita bahas beralih ke masalah berikutnya. Tentang keputusan, impian, dan masa depan kita yang kocak ini.
Novel kita bagaimana?
Aku sudah pernah bilang waktu menyelesaikan kumpulan puisi, kita sudah memanjat sedikit. Bertahanlah, aku tahu pedih mendengar semuanya, pedih. Menangislah, dalam hati. Seandainya bisa menyewa studio, kedap suara, ruang terkunci dari dalam, tanpa CCTV, dan murah, kita pasti sudah ke sana, menangis sepuasnya, guling-gulingan. Kenyang!
Aku mengkhawatirkan kesehatan badan kita yang sudah mulai aneh ini. Kamu merasakannya kan?
Kocak sekali, cepat sekali kita lelah, pandangan buyar, berasa tidak tidur seminggu. Kepala kita itu kenapa? Badan kita itu kenapa pula? Kendalikan pikiranmu, jangan ditampung sendirian. Sini, lepaskan semuanya, tumpahin!
Aku memang tidak berwujud, tidak empuk bak guling. Jika bisa kita saling berpelukan pasti akan lebih mudah bukan? Kita pernah menangis bersama, dan itu melegakan. Sungguh! Beban seperti menguap lenyap dari tubuh ini.
Sepertinya detak jantung kita sudah agak rileks, dibanding tadi, dibanding kemarin. Kamu itu, kalau enggak kuat senyum, ya sudah jangan dipaksa. Izin saja kalau enggak mau dilihat, ke toilet kek, ke mana kek.
Baiklah, masih ada lagi kah yang mau dibuang?
Baiklah, jika sudah, jangan sungkan untuk kembali berinteraksi lewat media ini.
Selamat istirahat.
Minggu, 06 Agustus 2017
Resensi Buku Out of My Mind; Tentang Melody, Si Cerdas, dan Dunia yang Tidak Dapat Mendengarnya
Out of My Mind
Penulis: Sharon M. Draper
ISBN: 978-1-4169-7171-9
Rilis: Copyright 2010 by Sharon M.
Draper, First
Atheneum Books for Young Readers paperback edition May 2012
Halaman: 295
Penerbit: PT Sinar Star Books
Bahasa Inggris
Blurb
Eleven year-old Melody
has photographic memory. Her head is like a video camera that is always
recording. Always. And there’s no delete button. She’s the smartest kid in her
whole school—but NO ONE knows it. Most people—her teachers and doctors
included—don’t think she’s capable of learning, and up until recently her
school days consisted of listening to the same preschool-level alphabet lessons
again and again and again. If only she could speak up, if only she could tell
people what she thinks and knows...but she can’t, because Melody can’t talk.
She can’t walk. She can’t write. Being stuck inside her head is making Melody
out of her mind—that is, until she discovers something that will allow her to
speak for the very first time ever. At last Melody has a voice ... but not
everyone around her is ready to hear it.
“You’re not so
intelligent, sir – you’re just lucky! All of us who have all our faculties
intact are just plain blessed. Melody is able to figure out things,
communicate, and manage in a world where nothing works right for her. She’s the
one with the true intelligence!” (hal 26)
Buku Out of My Mind karya
Sharon M. Draper, seorang yang tinggal di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat.
Penulis yang sangat produktif akan karya serta prestasinya yang luar biasa.
Buku Out of My Mind pun mendapat penghargaan di
antaranya #1 New York Times bestseller, winner of the 2011 Bank Street
College of Education Josette Frank Award, Kirkus Reviews Best Children’s Book
of 2010, dan masih banyak lagi.
Buku ini bercerita tentang seorang
anak yang bernama Melody, yang tidak dapat berbicara, tidak dapat berjalan,
tidak dapat makan sendiri, tidak dapat pergi ke toilet sendiri tapi dia
memiliki kecerdasan yang luar biasa. Melody seolah dapat merekam apa yang
terjadi di sekitarnya, dia mengingat setiap momen, ucapan, lagu, kebiasaan
orang tua dan orang-orang di sekitarnya, hingga aroma kopi pagi hari yang
bercampur dengan aroma bacon, serta ocehan dari pembaca berita.
Melody tidak bisa melakukan setiap
hal yang biasa anak normal lakukan. Beruntung ada banyak orang-orang baik di
sekelilingnya, yang sangat menyayanginya seperti kedua orang tua dan adiknya
yang bernama Penny, anjing kesayangannya yang bernama Butterscotch, dan juga
Mrs. Violet Valencia atau yang biasa dipanggil Mrs. V, dan Catherine, dia
adalah seorang mahasiswi yang membantu Melody di sekolahnya. Catherine adalah
salah satu karakter favorit saya di novel ini, sifatnya baik dan sangat
bersahabat, atau mungkin bisa disebut Partner in Crime –nya
Melody.
“Hi, Dad. Hi, Mom. I am
so happy.”
“I love you.” (hal. 138)
Sesuatu yang tidak kalah menarik
dalam buku ini adalah ketika hadirnya sebuah alat yang disebut Medi-Talker,
alat yang dapat membantu Melody untuk bicara lebih leluasa. Melody menamakannya
Elvira. Momen mengharukan ketika Melody dapat mengatakan kalimat pertama kepada
kedua orang tuanya saat menginjak kelas 5 SD, lewat bantuan Elvira.
Buku ini menyimpan banyak nilai
kehidupan tentang bagaimana mensyukuri, tentang bagaimana percaya pada suatu
hal yang dianggap mustahil oleh orang banyak, tentang perjuangan dalam diam,
tentang bertahan dalam frustrasi karena tidak adanya yang mendengar keinginan
juga maksud kita akan suatu hal.
Kelebihan:
Seperti yang dikatakan sebelumnya,
buku ini benar-benar kaya akan nilai kehidupan serta perjuangan, disajikan
dengan gaya bahasa yang ringan. Penulisnya pun pernah berhadapan langsung
dengan anak-anak luar biasa yang terjebak dalam keterbatasan fisik, mungkin
karena itu sang penulis, Sharon M. Draper dapat meletakkan separuh jiwa serta
pengalamannya untuk membuat cerita ini lebih hidup. Ditambah sudut pandang
orang pertama, yaitu Melody, membuat cerita ini lebih mengena dan dalam.
Karakter-karakter di dalam buku ini pun diperankan dengan sangat baik. Tidak
heran jika buku ini mendapat banyak penghargaan luar biasa.
Kekurangan:
Sejujurnya agak sedikit
membingungkan karena ada pengulangan di chapter 1 dan chapter 33 yang merupakan
chapter terakhir buku ini, mungkin ada maksud tertentu dari penulis, tapi
sepertinya diri ini belum dapat menangkap maksudnya. Ditambah karena buku ini
masih dalam bahasa Inggris, ditambah keterbatasan saya dalam hal tersebut, ada
beberapa poin yang tidak saya mengerti. Saya berharap bisa membaca versi
terjemahan bahasa Indonesianya.
Sekian sedikit resensi dari
buku Out of My Mind karya Sharon M. Draper ini. Jika
ada kalimat yang kurang atau keliru, mohon jangan ragu untuk memberitahukannya.
Terima kasih.
Kamis, 03 Agustus 2017
Dua Hari, Satu Langkah, Kita Menyapa, Menyiapkan Masa Depan, Berpisah, Berjuang, dan Pasrah
Mengikuti genangan
Arus tak pernah sekencang ini
Atau mungkin perasaku saja yang rada-rada
Tak beretika
Tegar hanya hiasan
Mungkin dunia telah banyak berubah ketika itu terjadi
Ketika kita melesat dalam lorong waktu
Berjalan, berlari, menari, atau sekadar menatap mesra radiasi
Kita adalah hiasan dari zaman yang melaju pesat
Kita adalah makhluk paling sempurna
Sisa peradaban dunia
Sekadar untung saja kita tak masuk dalam rahang binatang purba
Dan saling jatuh cinta merasa aman, dunia milik berdua
Kita adalah pelantun perdamaian sekaligus peperangan
Lihat kita kaya akan muka
Kamu yang di sana
Tak bisa kutarik benang untuk mesra
Lihat bagaimana pikiranku berputar menggampar zaman
Berenang dalam waktu yang sembarangan
Kamu yang di sana
Kita akan bertemu kembali atau tidak
Dengan rasa yang sama
Atau sekadar dunia yang sama
Dua hari ke depan adalah asa
Hari berikutnya adalah masa
Di mana perjuangan menjadi doa
Pasrah menjadi bunga
Berpisah menjadi tanahnya
Tinggal saja
Jika aku terlalu lama
Tenggelam dalam mimpi tanpa rasa
Aku akan selalu berdoa
Achmad A. Avery (Dityavery)
Serang, 30 Juni 2017