Sabtu, 10 Juni 2017

Dityavery - Harum Haru Puisi Sore (Cerpen)

Harum Haru Puisi Sore   
Achmad Aditya Avery (Dityavery)

Duka memancar di wajah manisnya, Nayla, perempuan desa yang baru saja lulus SMA dengan nilai Ujian Nasional tertinggi di kampungnya, desa Rina Sari. Dia baru saja kehilangan dua orang hebat, ridho Allah yang paling mudah dia jangkau hanya dengan berbakti pada keduanya, yang telah membesarkan dirinya, merawatnya, mengajarkan banyak hal sejak kecil hingga kemarin siang, sebelum mobil angkutan umum yang mengantarkan Nayla, ibu, ayah, serta adiknya yang paling kecil, terguling menghindari amukan truk pasir yang datang dari arah berlawanan.

Mereka yang semula berangkat dengan penuh kebahagiaan, pasalnya Nayla mendapat kesempatan untuk kuliah di Universitas Indonesia, salah satu kampus terbaik impian teman-temannya di SMA. Nayla satu-satunya yang lolos mewakili sekolahnya melalui SNMPTN undangan. Rencana awal manusia tak berdaya, yang hanya bisa merencanakan tanpa bisa memastikan, ingin mencari tempat kost sekaligus melihat-lihat calon kampus Nayla, yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu, sampai sekitar empat tahun ke depan harus kandas di perbatasan wilayahnya.

Nayla yang baru saja bangun di unit gawat darurat, salah satu rumah sakit kecil di daerahnya, langsung merasa ada kejanggalan pada kaki kanannya. Selimut yang dikenakan hanya menonjolkan kaki kirinya, dia memastikan kembali dengan menggerakan keduanya, tapi hanya satu saja yang terlihat bergerak. Rasa hanya sampai pada lutut kanan, selebihnya tak dapat ia raba lembutnya kasur yang sedang ditidurinya. Dokter berbadan kurus, berjenggot panjang, bersama dua orang yang dikenal Nayla, tak lain adalah kedua adiknya, Layla yang masih duduk di bangku SMP kelas dua, serta Dala yang masih berumur tiga tahun. Dokter itu berusaha tersenyum menanyakan keadaan Nayla, meski begitu kedua adiknya tak dapat menahan tangis.

Nayla tak bisa berkata apa pun, dia masih fokus pada kakinya. Dokter itu masih terpaku, senyumnya memudar. Seolah memahami apa yang dirasakan Nayla dan kedua adiknya. Nayla menerjemah raut wajah dokter yang berubah drastis itu, dia langsung mengingat semuanya. Nayla menggenggam erat kepala, lalu menutupi wajahnya, seolah menahan bendungan air mata yang mulai retak. Dia memanggil kedua adiknya.

“Sudah, sudah...” Nayla menatap keduanya dengan senyum, lalu memeluknya, tak kuasa menahan, dia pun ikut menangis.

Kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan tersebut, saat kejadian terjadi, Dala berada di pelukan Nayla. Beruntung Dala masih bisa selamat, meski Nayla harus merelakan kaki kanannya patah tertindih badan mobil saat mencoba menyelamatkan diri. Sore itu Nayla dan kedua adiknya menatap kosong ke arah kuburan kedua orang tuanya. Nayla berdiri dengan dibantu sebuah tongkat, memandang langit tanpa awan di atasnya, polos, kosong, dan hampa. Dia masih mereka-reka kehidupannya ke depan akan seperti apa.

Hari berganti, pagi yang kelam, adik-adiknya masih mematung di tempat duduk, ruang makan. Nayla berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi. Dia menyuapi Dala, dengan sedikit candaan pesawat terbangnya.

“Mimi!” Ucap si kecil Dala, isyarat bahwa dirinya menginginkan susu.

Nayla melihat ke lemari dapur tempat kedua orang tuanya biasa menyimpan susu untuk Dala. Namun, tidak dia temukan satu pun. Layla spontan mengingatkan bahwa persediaan susu bulan ini sudah habis, ucap Layla sambil menatap hampa telor mata sapi yang ada di depannya.

“Nanti sore sepulang mengajar ngaji, insya Allah Kakak beli susunya. Oh ya, nanti pulang sekolah jam berapa Layla?” Nayla duduk sambil mengelap bibir Dala, yang dipenuhi bubur.

“Biar Layla saja yang beli, Kak. Kakak langsung pulang saja. Hari ini pulang cepat kok, insya Allah.” Layla berdiri mengambil tas, lalu mencium tangan Kakaknya, mencubit lembut pipi adiknya, “Kakak pergi dulu ya, Dala.” Sambil terenyum lebar.

Nayla mengajar Iqro dan Alquran untuk anak-anak SD, khusus perempuannya, di masjid kampung sebelah, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya. Nayla sudah mengajar sekitar setahun lamanya. Ustazah begitu baik selama ini, memberikan upah yang cukup untuk membantu membiayai sekolahnya. Selama mengajar, Nayla begitu dekat dengan anak-anak di sana. Tidak hanya mengajari mereka membaca Iqro dan Alquran, dia ibarat seorang mentor berhati lembut, yang siap mendengar keluhan murid-muridnya, berkaitan dengan sekolah juga minat mereka. Dia berusaha mendukung semaksimal mungkin juga mengarahkannya ke arah yang baik.

Senin Sore, sekitar jam 16.00, biasanya Nayla sudah duduk menanti di masjid, area khusus akhwat, tepatnya di pojok dekat jendela putih, bersebelahan dengan taman masjid. Begitu jendela dibuka, semerbak harum bunga melati memanjakan indra penciumannya. Namun kini sebaliknya, gerombolan calon bidadari dunia mungil yang justru datang lebih dulu, mereka serentak mengulang apa yang Nayla berikan pada pertemuan sebelumnya. Nayla sudah tidak hadir selama tiga pertemuan, Senin, Rabu, Jumat, bisa dibilang dia tidak hadir selama seminggu.

Nayla datang dengan wajah lelah, dia berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, sambil tangan satunya lagi menggandeng adik kecilnya, yang tak mungkin ia tinggalkan sendirian di rumah. Murid-murid kecilnya sontak berdatangan, mencium tangan Nayla, beberapa dengan polos menanyakan keadaan Nayla. Wajah mereka terlihat sedih, mereka menuntun Nayla untuk dapat duduk di tempat biasa. Nayla mencoba tersenyum dan menahan air mata haru yang mulai nakal.

Emi, muridnya yang paling pendiam, kelas 5 SD, yang suka sekali menulis puisi. Dia mengambil tongkat Nayla, lalu menyimpannya di pojokan. Tanpa basa-basi dia kembali duduk. Nayla pun tersenyum, Emi menunduk tersipu, terlihat garis bibirnya menampakkan senyum balasan. Nayla paham betul, jika dia bilang terima kasih, akan membuat Emi tidak nyaman, apalagi ketika teman-temannya memandangi Emi.

Satu per satu murid-murid mengantri untuk mengaji, tiba giliran Emi, seperti biasa dia selalu saja memilih maju terakhir. Nayla menanyakan kabarnya, dia juga menanyakan persiapannya dalam lomba puisi yang akan dia ikuti. Emi mengangguk sekali, lalu menatap tenang ke arah wajah Nayla.

“Insya Allah, Kak! Agak gugup, harus membaca puisi ini di panggung sekolah.” Ucapnya dengan amat lembut.
“Kamu sudah hafal puisinya? Mau coba membacakannya ke teman-temanmu sebagai latihan?” Nayla mulai mengambil tongkat di sebelah kirinya, lalu menepak lembut pundak Emi dengan tangan kanannya.
“Tapi, Kak? Aku malu.” Emi menarik gamis Nayla, Emi bergetar hebat.
“Sudah tenang saja, kita akan mendengarkannya sampai selesai, insya Allah.” Nayla mencoba meyakinkan.

Nayla menuntun Emi perlahan. Emi berdiri tepat di sebelah kiri Nayla. Dala terlihat senang, dia menggoyangkan tangan ke atas dan ke bawah dengan lincahnya. Emi pada dasarnya cerdas dan rajin, dia yang lebih dahulu menyelesaikan Iqro dibanding teman-temannya yang lain. Hanya saja orang tuanya terlalu sibuk.

Pertama kali Nayla bertemu Emi, Emi diantarkan oleh ibunya. Tak sampai menit berlalu, ibunya pergi tanpa meninggalkan sepatah kata untuk sekadar menenangkan anaknya yang terlihat masih kebingungan. Emi duduk dengan tatapan hampa mengarah ke lantai-lantai masjid, seolah-olah sembilan belas anak perempuan seusianya ibarat pohon yang menjulang tinggi dengan keceriaan mereka, hingga sulit bagi Emi untuk melihatnya. Saat itulah, Nayla merasakan bagaimana pentingnya peran seorang ibu, seraya Nayla menghampiri murid barunya yang tampak cantik dengan gamis magenta.

Emi mulai membacakan puisinya yang berjudul, ‘Letih tak Berujung’ baru mendengar judulnya saja sudah membuat Nayla merinding. Nayla dan murid-murid yang lain mendengarnya dengan saksama, suara mungil nan halus, semerbak harumnya bunga melati pun menambah suasana menjadi lebih khusyuk. Larik demi larik menancap begitu dalam, menggambarkan betapa dia ingin diperhatikan, di sana pun terselip doa berharap keluarganya dapat menatap lembut dirinya seperti saat dia dilahirkan, setetes keringat lelah sang mata mengalir, dia menghayati setiap kata yang tercermin dalam gerak tubuhnya. Usai penampilannya yang memukau, teman-temannya mendekati Emi dan memujinya. Mereka meyakinkan Emi, pasti bisa menghadapi demam panggungnya lalu membawa piala kemenangan.

Baru saja Emi mulai merasa percaya diri, tiba-tiba ibunya datang menghampiri Nayla. Ibunya kesal karena Nayla tidak masuk selama seminggu dan dinilai menelantarkan murid-muridnya.

“Bagaimana bisa anak saya pintar mengaji jika gurunya saja sering tidak hadir, sudah begitu, tadi datang telat pula!” Seolah dia tidak melihat kondisi yang dialami Nayla.
“Maafkan saya, Bu.” Nayla tidak melawan sedikit pun, dia tahu dalam kondisi seperti itu, dia harus tetap menjadi contoh untuk murid-muridnya. Dia harus bersikap tenang, meminta maaf terlebih dahulu, dan bersabar.
“Sudah! Saya mau cari guru yang lain saja, yang lebih hebat, yang lebih disiplin!” Emi dan ibunya bergegas pulang, Nayla duduk seraya menghela napas panjang. Rasanya air mata ingin sekali mewakili senyumnya.

Banyak hal yang mengganggu pikiran Nayla, bayaran sekolah, serta biaya hidup yang semakin mencekik, juga tentang Emi. Dala dan Layla menatap heran dengan penuh kekhawatiran, terutama Layla yang mencoba bertahan dari teguran bagian administrasi berkaitan dengan SPP yang sudah menunggak tiga bulan. Nayla selalu saja menepis tatapan mereka dengan senyuman, lalu segera mengalihkan pikiran mereka. Nayla masih berharap ada satu saja lamaran kerjanya yang diterima.

Jumat sore, sesosok wanita, dia mengenakan kerudung yang cukup panjang, menggandeng tangan seorang anak, yang kini nampak berbinar. Senyuman polos tampak dari wajah keduanya. Anak itu berlari ke arah Nayla. Kerudung magenta masih memeluk kepala dan sebagian tubuh mungilnya. Emi, si gadis pendiam itu datang dengan riang.

“Kakak! Aku menang! Aku menang!” Teriak Emi, sambil memeluk erat Nayla.
 “Selamat ya, Emi! Kamu hebat!” Bisik Nayla, seraya membalas pelukan Emi.

Ibunya Emi, dengan sigap ikut memeluk Nayla. Air matanya mengalir membasahi kerudung Nayla. Isak menghiasi telinga, kata maaf berulang kali menguap ke udara.

“Terima kasih, Nayla! Telah mengenalkan Emi, yang saya sendiri sebagai ibu tidak dapat mengenalinya lebih dalam.” Nayla masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu tahu, sejak kecil, saya melihat Emi adalah anak yang cerdas, dia bisa berhitung dengan cepat. Saya hanya melihat itu, sehingga Emi dijauhkan dari masa bermainnya, dan menyuruhnya untuk belajar, belajar, dan belajar! Saya ingin dia menjadi seperti saya. Namun, saya tidak menyadari, jika dia mengalami tekanan sedalam itu. Saya tidak mengerti mengapa Emi bisa melewatinya, dan mengungkapkannya dengan puisi.” Emi menghampiri ibunya dan memeluknya.

“Senyumannya di panggung itu, hampir saja saya tidak melihatnya karena kesibukan yang saya buat sendiri. Satu hal yang selalu saya hindari ketika dia berulang kali meminta untuk menemaninya membaca puisi, saya tidak meladeninya, karena saya yakin dia begitu lamban dan pemalu, saya tidak pernah berpikir dia akan mengikuti lomba ini, apalagi berpikir untuk memenangkannya.” Ibunya Emi lantas menundukkan kepala, hampir mengenai pangkuan Nayla. Nayla sontak menahannya.

“Ibuku selalu mengajarkan bahwa menjadi pendengar yang baik bukanlah pekerjaan yang sia-sia.” Nayla mulai mengenang kedua orang tuanya, terutama ibunya, air mata dan senyum menghiasi wajah, bak hujan yang turun ketika langit cerah.
“Sekiranya Nayla berkenan untuk mengajar Emi lagi, sepertinya dia menyukai tempat ini.” Ibunya Emi tersenyum, dia mantap menatap Emi yang tampak bahagia. Nayla mengangguk dengan senyum, “Tentu saja!” jawabnya.
“Oh iya, satu lagi! Kamu mau kerja di tempat kami, sebagai penjaga toko?” Nayla tertegun, ibu Emi menepuk pundaknya, “Jangan khawatir, kamu tetap bisa mengajar ngaji dan tetap jadi gurunya Emi. Hanya sampai jam 3 saja.” Lanjutnya.
“Eh, bu...bukan begitu, Bu. I...ini se...seriusan, Bu?” Nayla gagap bukan kepalang. Ibunya Emi mengangguk riang.
“Kamu tahu, saya ingin sesekali memasak makan siang untuk Emi dan keluarga, kemampuan koki saya bisa hilang jika tidak dilatih loh.” Lanjut ibunya Emi. Sontak Nayla pun mencoba berdiri, untuk memeluk ibu Emi. Ibu Emi sontak menahannya, dia justru yang duduk dan memeluk Nayla. Nayla menangis sejadi-jadinya.

Tangerang, 6 Agustus 2016

Selasa, 06 Juni 2017

- Special Gift for "U A" -

La... la... la...
La... la... la...

La... la... la...

Lihatlah di balik batu berhias bunga jingga
di sana sang katak bernyanyi dengan tegasnya

Terimalah tiket biru muda
bermotif pita putih dan juga awan tak terhingga

Mari berwisata
dalam imaji tak berujung, dalam awan tak terhingga

Hari ini, tidak mau tahu, kamu harus bahagia
Kamu adalah orang yang paling bahagia
Tidak perlu pikirkan mengapa
Terima saja

Tiket yang tak akan bisa dibuang sia-sia
selama kamu membaca
Kata per kata, kalimat per kalimat, mari tenggelam di dalamnya

Apa yang kamu lihat?
Sebuah pintu raksasa dengan puluhan burung berwarna warni hinggap di atasnya
Dari ekornya terkibas pernak-pernik putih bak salju kutub utara

Kamu mau naik apa?
Sudah, biarkan boneka beruang itu yang membawamu
Duduklah di pundaknya

Mari kutunjukkan jalan
Pintu pun terbuka tanpa perlu menyentuhnya
Apalagi mendorongnya
Sudah, duduk saja

Lihat di sebelah kananmu
Tyranosaurus akan menggigitmu
Tenang saja, giginya bak bantal
Lembut melenyapkan sejenak lelahmu

Apa yang kamu pegang itu?
Skripsi?
Biarkan elang berponi itu membawanya
Meletakkannya di meja, tempat biasa kamu belajar
Sekarang, tenanglah, nikmati perjalanan

Bagaimana pijatan Tyranosaurus yang lucu itu?
Boneka beruang yang kau tunggangi sepertinya cemburu

Selanjutnya, lihat ke depan
Kamu boleh turun sejenak
Lapar bukan?
Makanlah, makanan ringan

Yupi, yang keluar dari kran berwarna polkadot
Jangan terlalu banyak, nanti berat badan membengkak
Tapi rasanya tidak masalah, jika sudah kenyang kita lanjutkan perjalanan

Kurasa perutmu tak mampu menampungnya
Baiklah kita butuh sesuatu untuk mendorongnya, minuman

Berdirilah di sini sebentar
Hadapkan wajahmu ke langit
Sebentar lagi hujan, minumlah
Air susu murni, yang menyehatkan pencernaan

Jika ingin air biasa
Berjalanlah selangkah saja ke depan
Jika ingin jus
Berjalanlah ke kanan
Jika ingin yogurt
berjalanlah ke kiri
Jika tidak suka semuanya
mundurlah selangkah
katakan kamu mau minum apa?

Mungkin ada minimarket di sekitar sini

Baiklah jika sudah selesai, kita lanjutkan perjalanan
Ingat katak yang bernyanyi tadi?

Dia akan memainkan drama
Yah, sebelas dua belas dari drama yang kau suka
Jika lelah dengan drama kehidupan
Kita bisa menyaksikannya

Di taman bunga
dengan kursi terbuat dari kelopaknya
Drama tiga dimensi
Pemerannya berakting tepat di depan kita
Santai saja

Baiklah
Apa ada hal lain yang ingin kau lakukan di sini?

Jika kamu kaku akan pemandu
Aku akan merebahkan diri di dalam mulut buaya
dengan napas beraroma lavender
dengan lidah yang empuk luar biasa

Giginya?
Seperti agar-agar beraneka rasa
yang tidak akan habis kamu makan

Baiklah selamat menikmati perjalanan
Jika ingin keluar, bilang saja pada boneka beruangmu
Dia akan segera terbang tanpa melewati pintu
Langsung ke rumahmu

Sampai jumpa

- Dityavery

Ruang Imaji,
Rabu, 7 Juni 2017

Minggu, 04 Juni 2017

Dityavery - Aku Rusak

Aku Rusak
(Dityavery)

Lewat tengah malam
Aku masih menyesali waktu yang telah padam
Apakah ini lelucon horor, Madam?

Layaknya tertimpa pasir
Tanpa kemampuan untuk menyingkir
Apa aku akan mati di sini, Sir?

Puisi
AKU TIDAK MINTA INGIN KEMBALI

Puisi
AKU TIDAK LAGI INGIN BERJANJI

Puisi
AKU LELAH UNTUK KEMBALI BERDIRI

Puisi
Mereka menganggapku kurcaci
Tak berkaki
Tak berjiwa, lemah, nyaris tak berhati

Aku rusak
Seperti telepon genggam yang terkena hujan

Aku rusak
Seperti hati yang terlalu banyak menelan cinta

Aku rusak
Untuk itulah aku berada di sini

Aku bersembunyi bersama retakan-retakan abjad
Aku tak lagi tahu caranya membenci

AKU INGIN PERGI
Mungkin mereka SANG KUAT tak ingin melihatku lagi
Pecundang kecil yang lari
Terbirit-birit layaknya kelinci
yang diburu para rubah sampai mati

Tulisan ini
Kecil sekali
Lambang lemahnya syukur dalam hati

Tulisan ini
Percuma saja tidak pernah kau pahami
Tempat yang sempurna untuk sembunyi

Tunggu jangan berhenti
Aku tidak ingin kembali
Pada deretan angka pengacak hati

Biarkan aku di sini
Biarkan aku di sini

BIARKAN AKU DI SINI

Apa yang aku lihat sekarang
Di balik nada yang tak lagi bersahabat

Aku rusak
Layaknya mereka yang mengambil nyawa orang di jalan
Kukutuk kalian menyatu bersama jalan

Telan puisi ini, TELAN
Mereka yang mati di tangan kalian
Akan datang menghantui kalian
Selamat menjalani kutukan

Aku rusak
Ada apa ini?

Diksi yang sudah gersang
Tak layak untuk dikenang
Tersisa hanya sebilah pedang

Aku berhasil muak
Terima kasih, aku berhasil rusak

Tangerang, 5 Juni 2017

Dityavery - Rahasia Berbalut Cinta Kala Senja

Rahasia Berbalut Cinta Kala Senja
(Dityavery)

Jika saja manusia bisa memilih, aku tetap tidak ingin melakukannya.

Senja, aku bicara sendiri pada suatu yang tidak dapat berbicara. Inikah kebodohan?

Cerita pendek yang kubuat tidak lagi terbang menuju kepala mereka, aku lelah, aku terpuruk. Mungkin ini titik terlemah dari kehidupanku, setelah sekian lama lupa akan kesukaran hidup sebelum aku bertemu dengannya, Khanza. Dia istriku, dia amat mencintaiku, meski secara sederhana, meski hanya sebatas kopi di hari lelah, meski hanya sebatas senyum pelipur lara, dia memberikan jiwa raganya untukku, menghapus setiap sedih akan sulitnya kehidupan. Aku bahagia bersamanya.

Senja ini, aku menatap bisu sepucuk surat dari rumah sakit, sembari mengulang rekaman di kepala, suara dokter yang menjelaskan tentang penyakit istriku. Langit jingga seolah diam menanti teriakan hati. Tentang kanker otak stadium akhir, tentang usianya yang hanya menghitung hari, tentang senyumnya yang masih saja terbentang, bak dia akan hidup selamanya. Aku menginginkan senyumnya, semerbak selalu menerangi hari, mengingat senyumnya akan pudar bersama tanah. Aku ingin percaya keajaiban, seandainya saja penyakitnya bisa menghilang, tapi berandai bukanlah suatu yang baik.

Dua puluh tahun sudah kami bersama. Begitu polosnya dia, meminta untuk mengunjung kota kelahirannya, Pandeglang, Banten. Tidak pernah kuberitahu akan asumsi sisa umurnya, aku ingin menjaga senyumnya hingga detik terakhir. Jika dikenang kembali, sudah hampir lima tahun kami tidak pernah berwisata di sana, paling hanya sekadar mengunjungi rumah orang tuanya ketika lebaran.

“Sayang, bagaimana jika kita mengunjungi tempat pertama kita bertemu?” tanyanya dengan lembut.
“Tanjung Lesung?” jawabku.
“Bukan, Paris! Iya lah, Sayang.” Khanza tersenyum sembari menyiapkan bekal untuk anak kedua yang sudah di bangku kelas 2 SMP.
“Bagaimana kamu mengingatnya?”
“Bagaimana aku bisa lupa?”

Aku menyiapkan liburan untuk berdua, sementara sang adik biar kakak yang menjaganya. Mereka belum mengetahuinya, tentu aku pun tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka. Saat ini, senyuman mereka pun masih semerbak menghiasi rumah, mungkin saja musim hujan akan datang dengan perkasa.

Sehari berlalu, aku tak ingin lama menunda. Tiga jam sudah perjalanan, senja menyapa kami berdua. Pantai anggun penuh pesona, dengan deru angin sebagai latarnya. Kami membuka lembaran usang, yang mungkin beberapa hari lagi hanya aku yang dapat membukanya. Kenangan, tentang awal pertemuan. Saat aku melambaikan tangan dengan kikuknya, menyambut seorang wanita cantik, di balik kerudung manisnya. Dia bersama orang tuanya, saat itu hampir dua jam, aku berjuang, mengulur waktu makan, lalu melamarnya di depan kedua orang tuanya.

Saat itu senja, dia menerimaku.

Dia tertawa geli mendengar ocehanku, dengan air mata serta senyum, dia memelukku. Hangatnya mengantar matahari pada peristirahatan sementara. Malam pun datang, kami mencari hidangan di pinggiran jalan, sederhana, seperti kala dulu. Pecel lele yang menemani proses lamaran. Kesekian kalinya aku mengambil nasi yang tersesat pada pipi lembutnya, begitu pun sebaliknya, dia mengusap keringat di keningku, tanpa pernah puas menikmati pedasnya sambal yang saat ini kulahap.

Keesokan harinya, kami berdua beranjak menuju tempat yang sangat bersejarah, mata air Citaman, Pandeglang, Banten. Tempat berendam, yang katanya teramat tua, entah betapa banyak kisah di dalamnya. Salah satunya, sejarah tentang perjalanan cinta kami berdua. Kenangan ketika anak pertama beranjak memasuki tahun pertamanya di dunia. Khanza dengan girang menyambut ajakanku untuk berlibur, merayakan perjuangan tahun pertama menjadi seorang ibu. Aku tahu itu adalah masa sulit baginya, dia akan menghadapi tahun-tahun berikutnya, menjadi ibu yang baik.

Dia mengingatnya, saat menaburkan percikan air dingin alami, pada anak pertama kami, Qariru Annisa. Qariru berarti yang sangat sejuk atau menyenangkan, Annisa berarti gadis, tentu harapan kami adalah dia akan menjadi gadis yang sejuk lagi menyenangkan. Untuk itulah, Khanza dengan polosnya, ingin agar dengan kesejukan air ini dapat menambah sejuk anak kami, dan lagi hari itu Qariru menangis karena teriknya matahari sepanjang perjalanan. Sejuknya air, membuatnya kembali tersenyum sambil memeluk erat ibunya. Kini Qariru telah menjadi gadis remaja yang manis dan ceria, menyejukan bukan karena parasnya, tapi sifatnya. Baik dan ramah.

Kembali pada senja, di penginapan sederhana Pantai Anyer. Khanza menghampiriku yang sedang menatap datar langit jingga. Harum kopi hitum yang bersandar pada telapak tangan putih nan halusnya, semerbak menyadarkan mimpi sore hariku. Dia bersandar di bahuku, kerudung jingga, warna yang sama dengan langit sore ini. Untaian kata yang keluar dari bibirnya dengan tenang, begitu membuatku retak tanpa asa.

“Sayang, terima kasih atas waktunya. Seharusnya, kamu tidak perlu menyembunyikan semuanya. Insya Allah, aku akan tetap bahagia, meski kutahu umurku mungkin hanya tinggal menghitung detik.” Terdengar isak kecil, di balik indah senyumannya. Tak ada yang dapat aku katakan saat itu, aku meminta maaf karena keputusanku untuk merahasiakan semuanya.
“Seharusnya aku yang minta maaf, Sayang. Aku pun merahasiakannya, karena tidak mau merusak niatmu untuk melupakan penyakitku,” ucapnya sembari air mata membasahi pipinya.
“Tapi, Sayang...”
“Sudah, sudah, duh air mata ini nakal, keluar seenaknya.” Khanza tertawa kecil, “Sayang, meskipun ini adalah senja terakhir bagiku, kopi ini adalah kopi yang terakhir kusajikan untukmu, senyuman ini adalah senyuman terakhir yang kuharap dapat menyejukanmu, air mata ini adalah air mata terakhir yang kuhadirkan sebagai bentuk ketulusanku mencintaimu. Aku titipkan anak-anak kita, untuk kamu jaga, dan didik menjadi anak yang baik, taat beribadah, dan selalu berdoa kepada Allah,” lanjutnya.

Sembari mata ini terpejam tak sanggup melihat wajahnya, “Insya Allah aku akan mendidik mereka, Khanza.”
“Alhamdulillah, bila itu yang kudengar.” Lantunan kalimat tahlil, La Ilaha Illallah, terdengar. Dekapan yang semula kuat, semakin lemah, dan ketika kuberanikan melihatnya, Khanza tak lagi dapat berkata, senyuman yang tersisa, seolah menjadi salam perpisahan ketika diri memberanikan diri melihatnya untuk terakhir kali. Tangisan tak terbendung, menghiasi senja yang dengan seketika beranjak menjadi malam.

Aku pulang, bersama mobil jenazah, keesokan harinya. Semakin buram, membayangkan wajah anak-anak kelak ketika melihat ibunya telah tak bernyawa. Tak lagi kupikirkan mobil yang masih terparkir di sekitar rumah sakit. Kulihat wajah bingung masyarakat ketika mobil jenazah ini memasuki pekarangan rumah.

Betapa terkejutnya diri, Qariru Annisa serta sang adik, Leila, menyapa kami dengan riang, “Bagaimana liburannya, Ayah? Apakah Ibu menikmatinya?” ucap Qariru.

“Ibumu... sudah...” Aku tak dapat menahan air mata, tak dapat terucap. Qariru menepuk pundakku, Leila pun memelukku.
“Kami sudah tahu, semuanya. Kami sudah lebih dahulu menangis, ibu telah memberitahu semuanya, sebelum ayah berencana merahasiakannya.” Qariru menangis, dia tak dapat menahannya, aku paham.
“Maafkan, Ayah...”
“Kami tahu, hal ini pasti sulit untuk Ayah, yang selalu bersama Ibu, sebelum kami dilahirkan. Kami saja tak kuasa menahan tangis, apalagi Ayah,” Leila, si kecil berhati baja, mencoba berteriak lembut berbalut tangis.

Pemakaman, kami bertemu senja untuk ke sekian kali. Tidurlah dengan tenang di sana, perjuanganmu tak pernah berakhir begitu saja. Aku akan berusaha melanjutkannya, kisah kita, Khanza.

(Tangerang, 5 Desember 2016)

Sabtu, 03 Juni 2017

Dityavery - Wajar Saja

Wajar Saja
Achmad Aditya Avery (Dityavery)

Jiwa tubuh bersatu dalam angan
Bicara tentang pembangunan
Bicara tentang pemerataan
Bicara tentang kenyamanan, tak ada perasaan

Apa pula gerangan yang membawaku ke sini?
Si bundar atau datar, tak peduli konspirasi
Yang kulihat keanehan telah terjadi
Lahir dari kebodohan sejati

Kita lahir dengan utang tersemat di kepala
Kebebasan dan teori indah mereka
Membuat bumi rasa ingin meledak saja
Diktator sampah, elite pemerkosa, matilah kuharap mereka

Penodong pistol di kepala
Pemancung, perebut hak hidup, yang berkendara
Apa iya cukup menghibur bumi dengan, “Semangat ya!”
Bumi menyerah, wajar saja


Tangerang, 2 Oktober 2016