Harum Haru Puisi Sore
Achmad Aditya Avery (Dityavery)
Duka
memancar di wajah manisnya, Nayla, perempuan desa yang baru saja lulus SMA
dengan nilai Ujian Nasional tertinggi di kampungnya, desa Rina Sari. Dia baru
saja kehilangan dua orang hebat, ridho Allah yang paling mudah dia jangkau
hanya dengan berbakti pada keduanya, yang telah membesarkan dirinya,
merawatnya, mengajarkan banyak hal sejak kecil hingga kemarin siang, sebelum mobil
angkutan umum yang mengantarkan Nayla, ibu, ayah, serta adiknya yang paling
kecil, terguling menghindari amukan truk pasir yang datang dari arah
berlawanan.
Mereka
yang semula berangkat dengan penuh kebahagiaan, pasalnya Nayla mendapat
kesempatan untuk kuliah di Universitas Indonesia, salah satu kampus terbaik
impian teman-temannya di SMA. Nayla satu-satunya yang lolos mewakili sekolahnya
melalui SNMPTN undangan. Rencana awal manusia tak berdaya, yang hanya bisa
merencanakan tanpa bisa memastikan, ingin mencari tempat kost sekaligus
melihat-lihat calon kampus Nayla, yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu,
sampai sekitar empat tahun ke depan harus kandas di perbatasan wilayahnya.
Nayla yang baru saja bangun di unit
gawat darurat, salah satu rumah sakit kecil di daerahnya, langsung merasa ada
kejanggalan pada kaki kanannya. Selimut yang dikenakan hanya menonjolkan kaki
kirinya, dia memastikan kembali dengan menggerakan keduanya, tapi hanya satu
saja yang terlihat bergerak. Rasa hanya sampai pada lutut kanan, selebihnya tak
dapat ia raba lembutnya kasur yang sedang ditidurinya. Dokter berbadan kurus,
berjenggot panjang, bersama dua orang yang dikenal Nayla, tak lain adalah kedua
adiknya, Layla yang masih duduk di bangku SMP kelas dua, serta Dala yang masih
berumur tiga tahun. Dokter itu berusaha tersenyum menanyakan keadaan Nayla,
meski begitu kedua adiknya tak dapat menahan tangis.
Nayla tak bisa berkata apa pun, dia
masih fokus pada kakinya. Dokter itu masih terpaku, senyumnya memudar. Seolah
memahami apa yang dirasakan Nayla dan kedua adiknya. Nayla menerjemah raut
wajah dokter yang berubah drastis itu, dia langsung mengingat semuanya. Nayla
menggenggam erat kepala, lalu menutupi wajahnya, seolah menahan bendungan air
mata yang mulai retak. Dia memanggil kedua adiknya.
“Sudah, sudah...” Nayla menatap
keduanya dengan senyum, lalu memeluknya, tak kuasa menahan, dia pun ikut
menangis.
Kedua orang tuanya tewas dalam
kecelakaan tersebut, saat kejadian terjadi, Dala berada di pelukan Nayla.
Beruntung Dala masih bisa selamat, meski Nayla harus merelakan kaki kanannya patah
tertindih badan mobil saat mencoba menyelamatkan diri. Sore itu Nayla dan kedua
adiknya menatap kosong ke arah kuburan kedua orang tuanya. Nayla berdiri dengan
dibantu sebuah tongkat, memandang langit tanpa awan di atasnya, polos, kosong,
dan hampa. Dia masih mereka-reka kehidupannya ke depan akan seperti apa.
Hari berganti, pagi yang kelam, adik-adiknya masih mematung di tempat duduk, ruang makan. Nayla berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi. Dia menyuapi Dala, dengan sedikit candaan pesawat terbangnya.
“Mimi!” Ucap si kecil Dala, isyarat
bahwa dirinya menginginkan susu.
Nayla melihat ke lemari dapur tempat
kedua orang tuanya biasa menyimpan susu untuk Dala. Namun, tidak dia temukan
satu pun. Layla spontan mengingatkan bahwa persediaan susu bulan ini sudah
habis, ucap Layla sambil menatap hampa telor mata sapi yang ada di depannya.
“Nanti sore sepulang mengajar ngaji,
insya Allah Kakak beli susunya. Oh ya, nanti pulang sekolah jam berapa Layla?”
Nayla duduk sambil mengelap bibir Dala, yang dipenuhi bubur.
“Biar Layla saja yang beli, Kak.
Kakak langsung pulang saja. Hari ini pulang cepat kok, insya Allah.” Layla
berdiri mengambil tas, lalu mencium tangan Kakaknya, mencubit lembut pipi
adiknya, “Kakak pergi dulu ya, Dala.” Sambil terenyum lebar.
Nayla mengajar Iqro dan Alquran untuk anak-anak SD, khusus perempuannya, di masjid
kampung sebelah, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya. Nayla
sudah mengajar sekitar setahun lamanya. Ustazah begitu baik selama ini,
memberikan upah yang cukup untuk membantu membiayai sekolahnya. Selama mengajar,
Nayla begitu dekat dengan anak-anak di sana. Tidak hanya mengajari mereka
membaca Iqro dan Alquran, dia ibarat seorang mentor berhati lembut, yang siap
mendengar keluhan murid-muridnya, berkaitan dengan sekolah juga minat mereka.
Dia berusaha mendukung semaksimal mungkin juga mengarahkannya ke arah yang
baik.
Senin Sore, sekitar jam 16.00,
biasanya Nayla sudah duduk menanti di masjid, area khusus akhwat, tepatnya di pojok dekat jendela putih, bersebelahan dengan
taman masjid. Begitu jendela dibuka, semerbak harum bunga melati memanjakan
indra penciumannya. Namun kini sebaliknya, gerombolan calon bidadari dunia
mungil yang justru datang lebih dulu, mereka serentak mengulang apa yang Nayla
berikan pada pertemuan sebelumnya. Nayla sudah tidak hadir selama tiga
pertemuan, Senin, Rabu, Jumat, bisa dibilang dia tidak hadir selama seminggu.
Nayla datang dengan wajah lelah, dia
berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, sambil tangan satunya lagi menggandeng
adik kecilnya, yang tak mungkin ia tinggalkan sendirian di rumah. Murid-murid
kecilnya sontak berdatangan, mencium tangan Nayla, beberapa dengan polos
menanyakan keadaan Nayla. Wajah mereka terlihat sedih, mereka menuntun Nayla
untuk dapat duduk di tempat biasa. Nayla mencoba tersenyum dan menahan air mata
haru yang mulai nakal.
Emi,
muridnya yang paling pendiam, kelas 5 SD, yang suka sekali menulis puisi. Dia
mengambil tongkat Nayla, lalu menyimpannya di pojokan. Tanpa basa-basi dia
kembali duduk. Nayla pun tersenyum, Emi menunduk tersipu, terlihat garis bibirnya
menampakkan senyum balasan. Nayla paham betul, jika dia bilang terima kasih,
akan membuat Emi tidak nyaman, apalagi ketika teman-temannya memandangi Emi.
Satu
per satu murid-murid mengantri untuk mengaji, tiba giliran Emi, seperti biasa
dia selalu saja memilih maju terakhir. Nayla menanyakan kabarnya, dia juga
menanyakan persiapannya dalam lomba puisi yang akan dia ikuti. Emi mengangguk
sekali, lalu menatap tenang ke arah wajah Nayla.
“Insya
Allah, Kak! Agak gugup, harus membaca puisi ini di panggung sekolah.” Ucapnya
dengan amat lembut.
“Kamu
sudah hafal puisinya? Mau coba membacakannya ke teman-temanmu sebagai latihan?”
Nayla mulai mengambil tongkat di sebelah kirinya, lalu menepak lembut pundak
Emi dengan tangan kanannya.
“Tapi,
Kak? Aku malu.” Emi menarik gamis Nayla, Emi bergetar hebat.
“Sudah
tenang saja, kita akan mendengarkannya sampai selesai, insya Allah.” Nayla
mencoba meyakinkan.
Nayla
menuntun Emi perlahan. Emi berdiri tepat di sebelah kiri Nayla. Dala terlihat
senang, dia menggoyangkan tangan ke atas dan ke bawah dengan lincahnya. Emi
pada dasarnya cerdas dan rajin, dia yang lebih dahulu menyelesaikan Iqro
dibanding teman-temannya yang lain. Hanya saja orang tuanya terlalu sibuk.
Pertama
kali Nayla bertemu Emi, Emi diantarkan oleh ibunya. Tak sampai menit berlalu,
ibunya pergi tanpa meninggalkan sepatah kata untuk sekadar menenangkan anaknya
yang terlihat masih kebingungan. Emi duduk dengan tatapan hampa mengarah ke
lantai-lantai masjid, seolah-olah sembilan belas anak perempuan seusianya
ibarat pohon yang menjulang tinggi dengan keceriaan mereka, hingga sulit bagi
Emi untuk melihatnya. Saat itulah, Nayla merasakan bagaimana pentingnya peran
seorang ibu, seraya Nayla menghampiri murid barunya yang tampak cantik dengan
gamis magenta.
Emi mulai membacakan puisinya yang
berjudul, ‘Letih tak Berujung’ baru mendengar judulnya saja sudah membuat Nayla
merinding. Nayla dan murid-murid yang lain mendengarnya dengan saksama, suara
mungil nan halus, semerbak harumnya bunga melati pun menambah suasana menjadi
lebih khusyuk. Larik demi larik menancap begitu dalam, menggambarkan betapa dia
ingin diperhatikan, di sana pun terselip doa berharap keluarganya dapat menatap
lembut dirinya seperti saat dia dilahirkan, setetes keringat lelah sang mata
mengalir, dia menghayati setiap kata yang tercermin dalam gerak tubuhnya. Usai
penampilannya yang memukau, teman-temannya mendekati Emi dan memujinya. Mereka
meyakinkan Emi, pasti bisa menghadapi demam panggungnya lalu membawa piala
kemenangan.
Baru saja Emi mulai merasa percaya
diri, tiba-tiba ibunya datang menghampiri Nayla. Ibunya kesal karena Nayla
tidak masuk selama seminggu dan dinilai menelantarkan murid-muridnya.
“Bagaimana bisa anak saya pintar
mengaji jika gurunya saja sering tidak hadir, sudah begitu, tadi datang telat
pula!” Seolah dia tidak melihat kondisi yang dialami Nayla.
“Maafkan saya, Bu.” Nayla tidak
melawan sedikit pun, dia tahu dalam kondisi seperti itu, dia harus tetap
menjadi contoh untuk murid-muridnya. Dia harus bersikap tenang, meminta maaf
terlebih dahulu, dan bersabar.
“Sudah!
Saya mau cari guru yang lain saja, yang lebih hebat, yang lebih disiplin!” Emi
dan ibunya bergegas pulang, Nayla duduk seraya menghela napas panjang. Rasanya
air mata ingin sekali mewakili senyumnya.
Banyak hal yang mengganggu pikiran
Nayla, bayaran sekolah, serta biaya hidup yang semakin mencekik, juga tentang
Emi. Dala dan Layla menatap heran dengan penuh kekhawatiran, terutama Layla
yang mencoba bertahan dari teguran bagian administrasi berkaitan dengan SPP
yang sudah menunggak tiga bulan. Nayla selalu saja menepis tatapan mereka
dengan senyuman, lalu segera mengalihkan pikiran mereka. Nayla masih berharap
ada satu saja lamaran kerjanya yang diterima.
Jumat sore, sesosok wanita, dia
mengenakan kerudung yang cukup panjang, menggandeng tangan seorang anak, yang
kini nampak berbinar. Senyuman polos tampak dari wajah keduanya. Anak itu
berlari ke arah Nayla. Kerudung magenta masih memeluk kepala dan sebagian tubuh
mungilnya. Emi, si gadis pendiam itu datang dengan riang.
“Kakak! Aku menang! Aku menang!”
Teriak Emi, sambil memeluk erat Nayla.
“Selamat ya, Emi! Kamu hebat!” Bisik
Nayla, seraya membalas pelukan Emi.
Ibunya Emi, dengan sigap ikut
memeluk Nayla. Air matanya mengalir membasahi kerudung Nayla. Isak menghiasi
telinga, kata maaf berulang kali menguap ke udara.
“Terima kasih, Nayla! Telah
mengenalkan Emi, yang saya sendiri sebagai ibu tidak dapat mengenalinya lebih
dalam.” Nayla masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu tahu, sejak kecil, saya
melihat Emi adalah anak yang cerdas, dia bisa berhitung dengan cepat. Saya
hanya melihat itu, sehingga Emi dijauhkan dari masa bermainnya, dan menyuruhnya
untuk belajar, belajar, dan belajar! Saya ingin dia menjadi seperti saya. Namun, saya tidak menyadari, jika dia mengalami tekanan sedalam itu. Saya tidak
mengerti mengapa Emi bisa melewatinya, dan mengungkapkannya dengan puisi.” Emi
menghampiri ibunya dan memeluknya.
“Senyumannya di panggung itu, hampir
saja saya tidak melihatnya karena kesibukan yang saya buat sendiri. Satu hal
yang selalu saya hindari ketika dia berulang kali meminta untuk menemaninya
membaca puisi, saya tidak meladeninya, karena saya yakin dia begitu lamban dan
pemalu, saya tidak pernah berpikir dia akan mengikuti lomba ini, apalagi
berpikir untuk memenangkannya.” Ibunya Emi lantas menundukkan kepala, hampir
mengenai pangkuan Nayla. Nayla sontak menahannya.
“Ibuku selalu mengajarkan bahwa
menjadi pendengar yang baik bukanlah pekerjaan yang sia-sia.” Nayla mulai
mengenang kedua orang tuanya, terutama ibunya, air mata dan senyum menghiasi wajah,
bak hujan yang turun ketika langit cerah.
“Sekiranya Nayla berkenan untuk mengajar
Emi lagi, sepertinya dia menyukai tempat ini.” Ibunya Emi tersenyum, dia mantap
menatap Emi yang tampak bahagia. Nayla mengangguk dengan senyum, “Tentu saja!”
jawabnya.
“Oh iya, satu lagi! Kamu mau kerja
di tempat kami, sebagai penjaga toko?” Nayla tertegun, ibu Emi menepuk
pundaknya, “Jangan khawatir, kamu tetap bisa mengajar ngaji dan tetap jadi
gurunya Emi. Hanya sampai jam 3 saja.” Lanjutnya.
“Eh, bu...bukan begitu, Bu. I...ini
se...seriusan, Bu?” Nayla gagap bukan kepalang. Ibunya Emi mengangguk riang.
“Kamu
tahu, saya ingin sesekali memasak makan siang untuk Emi dan keluarga, kemampuan
koki saya bisa hilang jika tidak dilatih loh.” Lanjut ibunya Emi. Sontak Nayla
pun mencoba berdiri, untuk memeluk ibu Emi. Ibu Emi sontak menahannya, dia
justru yang duduk dan memeluk Nayla. Nayla menangis sejadi-jadinya.
Tangerang, 6 Agustus 2016