Kamis, 22 Juli 2021

Episode 6 – Membunuh Shaneila

 

Episode 6 – Membunuh Shaneila

 

Di persimpangan jalan

Antara Hutan Sepi dan Jurang Ketidakpastian

Shaneila berdiri, menatapku, penuh kekecewaan

“Aku selalu tahu apa yang kau pikirkan,” ucapnya pelan

 

Dia mengalihkan pandangan

Lalu berjalan

Menuju Jurang Ketidakpastian

Dan kulihat, semua makhluk menatap kami heran

 

Kucing bertelinga kelinci yang sedang bermain catur

Awan setengah baya yang sedang menikmati kopi pagi

Pepohonan yang sedang bermain petak umpet

Semua kembali menghadapi hampa, bengong tiba-tiba

 

Sepasang sepatu yang kembali kasmaran

Karena sebulan lalu salah satunya terjatuh di empang

Hingga seorang kupu-kupu bersayap kelelawar datang menemukan

Mereka kembali lupa setiap kenang

 

Senandung katak dan tarian buaya taring lunak, pelipur lara

Kini, sang katak mati diterkam buaya, tak bersuara

Boneka beruang raksasa yang biasa memeluk lembut dan suka menyapa

Kini melukai pun memakan setiap makhluk di hadapannya

 

Buku tentang ruang imaji

Yang dipeluk Shaneila kini

Terbakar seiring embus napas yang semakin berat lalu berhenti

Seiring kulihat, dadanya tertancap kayu runcing yang dipegang tangan ini

 

Dia (Shaneila) tersenyum tenang

Hanya tersenyum tenang

Menatap langit magenta yang perlahan menghilang

Ruang imaji, kembali menjadi kamar sepi tanpa tenang


Achmad Aditya Avery

Kamar Sepi Tanpa Tenang, 16 Juli 2018

Episode 5 – Pengantar Surat Itu: Puisi

 

Episode 5 – Pengantar Surat Itu: Puisi

 

Sebelum datang delapan Juli, dua ribu delapan belas

Aku mengunjungi batu tempatmu dulu duduk termangu

Sambil menatap hujan kopi hitam yang telah menjadi ampas

Shaneila duduk di samping batu, seolah duduk bersamamu

 

Kau harus membawanya kembali

Atau jika tidak, pastikan kau hancurkan ruang imaji dan semua

Aku tidak suka langit menumpahkan kopi

Tanpa pernah tanah menyiapkan cangkir untuk menampungnya

 

Shaneila masih mengoceh tanpa sedikit pun beranjak dari tempatnya

Suara bersahutan dari balik semak di sekitar kita

Sekawanan kucing liar menatap tajam, tak beretika

Menyampaikan pesan, bahwa rindu harus segera dipeluk atau dikubur begitu saja

 

Mereka mengeong dan entah kenapa aku mengerti apa yang dikatakan

Aku diminta untuk membalas pesan rindu darinya

Lautan yang dulu aku cinta dan kini pun masih demikian

Meski sulit, aku coba percaya pesan rindu itu dibuat khusus untukku saja

 

Aku membalas, semacam sinyal SOS melalui kucing-kucing itu

Bersama mereka kusampaikan pesan ke udara

Kucing-kucing itu menghilang dalam sebuah lagu

Yang dinyanyikan katak pemain drama

 

Buaya bergigi lunak pun datang

Memanjakan kepala ini dengan pijat giginya

Shaneila tersenyum girang,

“Akhirnya, kau melakukan hal yang semestinya.”


Achmad Aditya Avery

Ruang Imaji, 9 Juli 2018

Episode 4 – Menangisi Pilihan

 

Episode 4 – Menangisi Pilihan

 

 Kau ingin kembali atau menyudahi

Perjalanan di ruang imaji?

Tanya Shaneila sembari menatap langit kemerahan

Diiringi segerombol ulat bertopi berjalan berdampingan

 

Aku ingin melihat langit ketika berwarna magenta

Aku menyukai warna itu tanpa alasan

Shaneila menatapku sinis pun curiga

Dia benci sesuatu yang tak beralasan, aku pun demikian

 

Kenapa kau kembali pada jalan yang sedang kau hapus?

Apakah kau haus?

Akan perasaan acak yang tak berhenti mendengus

Mungkin seorang wanita sepertiku tak akan menggunakan kata, mampus

Maaf, kau seharusnya tahu beberapa mungkin akan berperang melawanmu

Melawan keputusan melanjutkan cerita dengannya, yang menenggelamkanmu

Kau mungkin kelak akan dihadapi pada keadaan

Dikucilkan, dibenci, dijauhkan, dikeluarkan

Kau sedang pusing memikirkannya, bukan?

Namun, karena bahagia masih ada, kau tak pedulikan

Jujur saja, aku tak akan memaafkan

 

Langit berwarna magenta datang dengan kilatan

Shaneila menatapku datar dan berkata

Hapus air matamu, semua ini pilihan

Aku tidak akan memaafkanmu, jika ragu untuk kesekian kalinya

 

Sekarang, ayo kita beranjak pergi.


Achmad Aditya Avery

Hati, Tempat Kau Tinggal Kini, 9 Juli 2018

Jam Tangan

Jam Tangan

 

Dahulu ketika kucing liar beranjak dari persembunyian

Dan dirawat baik penuh perasaan

Dilihat tingkah laku manja dan berani berkorban

Saat itulah kau hadirkan kopi dan sebuah jam tangan

 

Jam tangan yang kebesaran, mungkin juga hasil patungan

Namun, jam ini membawa kamu, sebagai kenangan

Sayangnya, aku masih memiliki jam tangan

Pemberian Papa yang tak kalah penuh dengan kenangan

 

Lalu, aku mengabaikan jam tangan itu

Sama seperti aku dulu, berusaha mengabaikanmu

Karena kupikir, kau tak lagi menjadikanku

Sebagai satu-satunya yang kau tunggu

 

Aku menjadikannya barang pajangan

Yang semakin tak sengaja melihat, semakin perih dirasakan

Yang selalu memutar kenang, tiada sanggup dilupakan

Lelah, beragam pelarian tiada bisa mengalihkan

 

Aku adalah penyumbang perih terbesar dalam hidupmu, bukan?

Aku menyesalinya, tolong jangan kau balas demikian

Sekarang, aku mencoba percaya bahwa kita bisa bersama, berdampingan

Saat pertemuan terakhir kita, saat kita memulai kembali perjuangan

 

Tepat hari ini, jam tangan itu akhirnya kukenakan

Mengecilkannya ternyata tak sesulit dibayangkan

Jam tangan ini adalah pengingat dari waktu singkat yang diberikan

Kesempatan terakhir yang memberikan ketakutan

 

Aku men ... anu ...

Apa boleh kuungkapkan?

Aku mencintaimu, menyayangimu

Terserah, apa yang akan kau katakan


Achmad Aditya Avery

(Kamar Penuh Kekhawatiran, 16 Juli 2018)

Kau, Seganas-ganasnya

 

Kau, Seganas-ganasnya

 

Kau, kelak akan menjadi di antaranya

Seganas-ganasnya anugerah

Atau seganas-ganasnya

Patah

 

Bagiku, dirimu

Seperti buku

Yang isinya berisi romansa penuh haru

Aku tak begitu nyaman membaca, sebelum jelas kau milikku

 

Bagiku, keberadaanmu

Seperti pena

Kubeli di warung lalu kusimpan baik-baik di saku baju

Namun, kau sering hilang begitu saja

 

Bagiku, merindukanmu

Seperti meminum obat batuk untuk mengobati luka

Tak apa, anggap saja aku tidak begitu rindu

Kau tak mau kan, mendengar ucapan rindu dariku setiap detiknya?

 

Dan, hei, aku tidak tahu kau akan apakan aku

Kau adalah seganas-ganasnya impian

Yang ingin sekali kuwujudkan, jika bisa besok pun aku mau

Namun, sebelum itu, kau masih seganas-ganasnya ketidakpastian

 

Bagiku, mencintaimu

Adalah seganas-ganasnya keputusan

Menjalani hubungan denganmu

Adalah seganas-ganasnya perjuangan

 

Bagiku, menikahimu

Adalah seganas-ganasnya pertanggungjawaban

Lalu menjalani sisa hidupku denganmu

Kuharap adalah seganas-seganasnya kebahagiaan


Achmad Aditya Avery

Kamar Penuh Kabel, 15 Juli 2018

Mari Saling Menjaga Sepi

 

Mari Saling Menjaga Sepi

 

Sepi memang menyebalkan

Aku tahu lebih dari yang mereka jelaskan

Musik-musik hanya ramai di gendang telinga

Tiada sampai di jiwa

 

Aku paham, mungkin kita salah jalan

Lancang, menapaki ketakutan

Ketakutan akan kehilangan

Seorang yang kuharap menjadi penyejuk kehidupan

 

Aku paham, mungkin kita salah jalan

Untuk itu, aku tiada bicara banyak tentang perjalanan

Kita berjalan, tanpa bergandeng tangan, juga tiada berpelukan

Melarutkan diri dalam kesepian

 

Aku tahu, ini menyebalkan

Aku ingin memaki sepi, jika dia memiliki wajah pun badan

Menendangnya, memukulnya

Karena kesadisan yang dilakukan pada kita

 

Aku tahu, kita akan diam cukup lama

Atau mungkin diam selamanya

Setialah, jaga dirimu baik-baik, kuhargai perjanjian kita

Mari saling menjaga sepi, aku bercanda

 

Aku saja yang menjaga sepi

Menangis, lalu berpuisi sampai pagi

Kamu, cukup jaga diri

Panggil saja aku, jika kamu didatangi sepi

 

Aku cemburu pada sepi yang seenaknya mendatangimu


Achmad Aditya Avery

Di Samping Celengan Kecil, 16 Juli 2018

Akhir dari Semua Tentang

 

Akhir dari Semua Tentang

 

Tentang sepi

Hari ini aku gila, masih saja dirasuk sepi

 

Tentang posesif

Hari ini aku tiada bahagia melihatmu bersebelahan dengan pria selain aku

 

Tentang pikiran kotor

Hari ini aku tiada bisa bermimpi tentang indah bunga lagi

 

Tentang dungu

Cemburuku tak terbendung akan dirimu

 

Tentang hati

Kenapa semakin besar cinta, semakin pedih disikapi

 

Tentang aku

Yang tiada bisa tenang, ada atau tiada kamu di sini

 

Tentang kopi

Yang justru membuatku ngantuk, seolah mati

 

Tentang kamu

...

 

Tentang puisi

Kuakhiri, dengan jeritan hati

 

Juga benci


Achmad Aditya Avery

Kamar Tanpa Hati, 16 Juli 2018

Rabu, 21 Juli 2021

Sekian Banyak Pesan, Aku Memilih Kesepian

 

Sekian Banyak Pesan, Aku Memilih Kesepian

 

Selamat pagimu semu terucapkan

Dalam layar handphone-ku membayangkan

Semakin hari semakin membakar saja, khayalan

Menatap layar, enggan berjalan

 

Selamat pagimu, tanpa pelukan

Siapa aku bermimpi demikian

Berpuisi pun rasanya enggan

Tiada diksi bersahabat pada penjahat yang kabur dari hukuman

 

Pesan masuk berdatangan, tapi aku memilih menunggu ketidakjelasan

Atas kamu yang tiada tersampaikan, perasaan, khayalan, pun harapan

Pesan masuk berdatangan, tiada yang kubuka selain pesan berisi kesepian

Tentang aku yang terakhir mengucap selamat jalan


Achmad Aditya Avery

Tangerang, 30 April 2018

Indie

 

Indie

 

Kita cundang

Ketika mereka membuka mulut

Kita girang

Mereka berhenti menyulut

 

Kita adalah kebebasan

Mereka angkat bicara merasa dapat memberi binasa

Kita adalah perekam kesempatan

Kita pelihara, kita besarkan, terlalu cerah, buta

 

Kita adalah keberanian

Meski tiada mereka memberi, harapan

Kita adalah uluran tangan

Yang saling mendukung, mencapai masa keemasan

 

Kita adalah pemimpi, jarang membuka mata

Untuk apa, jika yang dilihat hanya kalah

Lebih baik pejamkan saja sementara

Biar dalamnya jurang, tiada kau rasa

 

Kita adalah pelantun, penyaji

Yang telah bersahabat dengan sepi

Yang bermimpi memiliki mimpi

Kita adalah capaian itu sendiri

 

Kita yang berbuat

Risiko pun hujat

Biarlah menjadi karat

Lihat, genggaman kita, semakin erat


Achmad Aditya Avery

Kamar Penuh Semut, 3 Juli 2018

Menulisiku Sepi

 

Menulisiku Sepi


Hal yang kubenci dari menulis

Adalah ketika beranjak membeli cemilan

Kata-kata datang dengan bengis

Begitu kembali pada layar, semua melayang menjadi angan

 

Kita saling membawa pesan

Menyajikan cerita dari tangkai demi tangkai kata

Aku merangkainya, meski kadang kau abaikan

Ia tiada pernah semenarik tarif pajak UMKM yang turun setengah persennya

 

Begitu cepat sampai waktu liburku yang panjang

Lenyap seketika tanpa lenyapkan asam lambung nan ganas

Sampai muak sepi tiada habis kubuang

Tertidur pulas dengan mata terbuka, ampas

 

Dari kau yang terkenang

Untuk aku yang terkekang kenang

Tulisan ini datang dari olahan sekumpulan sepi yang terbuang

Belum juga buatku kenyang, apalagi tenang


Achmad Aditya Avery

D’makan Sutra, 2 Juli 2018

Episode 3 – Dilahap Lautan

 

Episode 3 – Dilahap Lautan

 

Di sini, tempatku membawamu

Tempat asing bernama ruang imaji

Tempat maya yang bertubruk menjadi satu

Dalam hati

 

Sekarang kutanya pada buntalan batu kenyal di hadapan Shaneila

Bagaimana derita menyepi di tengah ramai

Seperti itulah jawabannya, tidak ada

Seperti bicara pada batu, dengan seorang wanita, manusia loh, di tempat sepi

 

Bodoh mengabaikannya

Bodoh tak bicara

Sekadar bertanya,

“Apa kau ingin buang air kecil setelah lepas tertawa, Shaneila?”

 

Dia perempuan yang sukar bicara, meski ramah adanya

Dia beranjak dari batu kenyal menuju suara gemuruh di sana

Kulihat ombak bermain saling menggulung, bahagia

Dan kulihat kembali rona Shaneila, mengingatkanku padanya

 

Tiada karang yang menghalangi ombak

Merajam, menarik, memelukku

Shaneila terlihat tersenyum sembari terisak

Dengan tenang duduk terpaku

 

Menyaksikanku tenggelam, tertelan

Tiada yang lebih romantis daripada itu

Karena Shaneila tahu, aku ditelan lautan

Yang dulu menenggelamkan akal sehatku

 

Namun nyatanya

Aku selalu suka atas caramu menelanku

Meski akhirnya

Aku benci atas sesak yang hadir setelah menyukaimu


Achmad Aditya Avery

Lautan di Ruang Imaji, 2 Juli 2018

Episode 2 – Ruang Imaji (Lagi)

 

Episode 2 – Ruang Imaji (Lagi)

 

Shaneila, dia tersenyum, bicara

“Maukah kau kembali ke sana, sekadar berkencan?”

Tanyaku, “Di mana?”

Dia menjawab, “Tempat kau menghibur wanita yang kau sebut, Lautan.”

 

Aku mengangguk, setuju setengah enggan

Sekejap dinding memutih, Shaneila mengulurkan tangan

Kita pergi ke salah satu sisi, jumpai hutan

Sebuah boneka beruang kembali datang, menyapa bak kawan

 

“Apa kabar? Kau jadi penyuka sepi sekarang?”

“Dan lihat, siapa gadis yang kau bawa hari ini, dasar kadal menyebalkan!”

“Aku, Shaneila, yang membawanya, Tuan Beruang.”

“Kau dengar sendiri kan?”

 

Dunia imaji, kini begitu sepi

Semenjak dia pergi dan selesaikan skripsi

Buaya bergigi bantal itu tak lagi mendatangi

Katak pun tiada lagi bermain drama, apalagi bernyanyi

 

“Bagaimana kau bisa kembali ke sini?”

Masih dengan puisi

“Sudah berapa lama kau bertemu gadis itu, Wahai ‘Seruput Sepi’?”

Baru kemarin, lalu dia datang lagi hari ini

 

“Shaneila ya, sebenarnya dia sudah lama di hidupmu bukan?

Sekolah Menengah Atas, kau sudah memberikannya nama

Kau ini terkena candu dari kesepian?”

Sepertinya

 

Shaneila memanggil, kami tidak berkencan

“Selamat menikmati perjalanan!”


Achmad Aditya Avery

Ruang Imaji, 24 Juni 2018

Episode 1 - Shaneila

 

Episode 1 - Shaneila

 

Atap tebal nan kuat

Dinding tebal nan kokoh

Melindungi ruang ini

Tempat favorit bagi penyendiri

 

Ruang ini dipenuhi pernik-pernik berbentuk bintang

Menghiasi setiap sisi yang membentang

Tempat tidur mewah, tapi tak lagi membuat senang

Meja belajar dengan buku-buku mahal, tiada membuatku tenang

 

Ruang ini adalah ruang terkutuk bagi mereka

Yang biasa berbicara pada orang-orang, bahagia

Yang biasa memburu mode favorit dengan mudahnya

Tampil dengan cerah, seolah mudah hidupnya

 

Ruang ini adalah ruang terindah untuk menghabiskan waktu

Membunuh umurmu dengan cepat, bertemu matimu

Dan tempat ini adalah selokan depresi

Tempat air matamu mengalir tanpa henti

 

Untuk itulah hujan selalu hadir dengan tenang

Meski badai sekali pun tiada bisa menembus ruang

Pipi ini selalu basah mengenang

Dalam fantasi yang kuhidupkan dalam ruang

 

Di ruang ini, aku bertemu dia

Shaneila, dia gadis berambut merah, dengan tatapan tajam, merona

Dia duduk di kasur, sembari membaca buku

Herannya, dia mengabaikan buku tebal berharga jutaan rupiah, begitu saja

Dia memilih buku seharga puluhan ribu rupiah, puisi tentang pedih singgah di dalamnya

 

Inilah kisah, antara aku dengan Shaneila

Teman imaji, simbol dari rusaknya raga

Pikiran yang merana

Juga impian yang terhina


Achmad Aditya Avery

Ruang Imaji, 23 Juni 2018