Minggu, 14 Agustus 2016

Salahkah Hujan?


Assalamu'alaikum, teman-teman, selamat pagi.

Semoga kita selalu bersyukur atas pemberian Allah, di antaranya pagi yang mendung mesra ini. Hujan mengguyur sebagian wilayah bumi, dengan lembut, menemani dinginnya malam. Mereka bersanding, irama rintik pengantar ridur.

Bicara tentang hujan, pernah kutuang dalam puisi.

Hilangnya Hujan

Kutanya dan kutanya kemana irama rintikmu,
tak lagi menghiasi telingaku,
air mata yang indah ini memelukmu,
menyempurnakan sejuknya dirimu.

Berdiri dan berdiri menunggumu lagi,
teriknya matahari tak kunjung berganti,
kutanya sang waktu tuk memanggilmu kemari,
di tempat gersang ini.

Impian yang bermekaran,
ketika dahulu kau bertebaran,
di sawah yang menjulang nyaman,
di saat bunga-bunga memanggilmu teman.

Kau hadir untuk menghidupi mereka,
si hijau, yang hampir hancur terhina,
terik yang menjadi replika neraka,
mematikan si hijau yang perkasa.

Kau anugerah, tetapi kenapa banyak yang memakimu,
hanya untuk mendapatkan malam cerah di malam minggu,
si remaja egois yang tidak tahu arti keberadaanmu,
hanya menggerutu seakan masa depannya menjadi kelabu.

Kau penyejuk, kau sumber kehidupan,
bahkan doa-doa dikabulkan,
kembalilah ke tanah yang kau tinggalkan,
cukuplah manusia belajar betapa bermanfaatnya engkau, hujan.

Pernah kita mengutuk hujan untuk pergi. Sontak kita berpikir mengapa kita bisa melakukan yang demikian?

Pernah kita mengeluh, "Ah, apa-apaan ini hujan, ga bisa pergi dah gue!"

Apa salah hujan?
Mengapa kita begitu egois untuk memberi kesempatan pada ciptaan Allah, untuk turun menari bersama dedaunan hijau, dan memeluk mesra tanah yang merindukan kedatangannya?

Adakah kita akan mendapat kemalangan apabila hujan mengacau acara di hari-hari kita? Atau malam minggu para remaja labil di pinggiran jalan?

Tidakkah kita mencoba untuk berprasangka baik pada kehendak Allah? Hujan, bisa saja diturunkan untuk membatalkan rencana manusia, yang mungkin saja akan berdampak buruk bagi diri jika kita mengikuti acara tersebut. Bisa saja kan?

Apalagi yang bermesraan di malam minggu, di pinggir jalan, dengan pasangan yang tidak halal, itu adalah cara Allah melindungi kalian para generasi muda. Melindungi malam yang indah dari perilaku busuk dan rayuan semu yang kalian lontarkan. Melindungi sepinya jalan, dari cumbuan dua remaja yang tidak tahu malu. Melindungi tenangnya malam dari para remaja yang tidak bisa mendengar hancurnya suara knalpot dari motor mereka, yang digunakan untuk balapan di waktu istirahat manusia lainnya.

Mengapa kita tidak berdoa ketika hujan datang?

Allahumma shoyyiban nafi'an...

Kita lanjutkan dengan doa yang kita inginkan, dengan begitu kita pun akan ikut merindukan hujan.

Selasa, 02 Agustus 2016

Terjemahan Lirik Man with a Mission - Colour

Halo, semuanya!
Kali ini mau coba terjemahkan lirik yang bisa dibilang mengandung filosofi dari setiap warna, ini baru pertama kalinya ane coba terjemahkan lirik, jadi jika ada koreksi, sangat diharapkan. Terima kasih sebelumnya.

(Man with A Mission - Colour)

Dark Red, the colour of your blood drawing the wrist
Cobalt Blue, the colour of the sky holding it all
Pale Purple, umbrella, you keep from me trembling
True Orange, everything coloured by the setting sun
Chrome Yellow, you said to me it calls us happiness
Moss green, the hills of our town which kept us there
Scarlet, the colour of the children's cheek you loved
Snow White, it covered every sorrows among us

Colourful world we had been everywhere we're standing
Coloruful world we had lost everything
But you were standing, you were breathing just there
Under that each colours

Every light on the street had meaning of each story
Everyone believed in life day by day
But we would start it, we must start again ourselves
Put on the new colours again

Light Blond, you showed me your calm hair proudly
Bright Gold, the picture frame you always smile at me.
Silver, the carved spoon we bought to start our life
Dull Grey, I dyed all in all after you have gone
Transparent, the heart of the baby born today
Flesh Colour, seeing my hand grasped tightly
All Black, the colour of beginning of new days
Deep Brown, walking this land we have to go forward

Colourful world we had been everywhere we're standing
Colourful world we had lost everything
But you were standing, you were breathing just there
Under that each colours

Every light on the street had meaning of each story
Everyone believed in life day by day
But we would start it, we must start again ourselves

Go on the road
Good Bye~

Terjemahan:
Merah gelap, warna darahmu tergambar pada pergelangan tangan
biru kobalt, warna langit yang menahan semuanya
ungu pucat, payung, kamu ambil dariku ketakutan,
jingga, segalanya diwarnai oleh matahari yang terbenam,
Kuning krom, kamu bilang padaku itu disebut kebahagiaan,
hijau lumut, bukit di kota kita, di sanalah kita berada
merah tua, warna dari pipi anak-anak yang kamu cintai,
putih salju, menutupi setiap kesedihan di antara kita.

Dunia yang penuh warna, kita telah berada dimana pun kita berdiri,
dunia yang penuh warna, kita telah kehilangan segalanya,
tapi kamu telah berdiri, kamu bernafas di sana,
di bawah masing-masing warna.

Setiap cahaya di jalanan memiliki arti dari setiap cerita,
setiap orang percaya kehidupan, hari demi hari,
tapi kita harus memulainya, kita harus memulai dari diri kita,
letakkan lagi pada warna yang baru.

Blonde muda, kamu tunjukkan padaku dengan bangga tenangnya rambutmu,
emas yang bercahaya, gambaran darimu yang selalu tersenyum padaku,
perak, sendok berukir yang kita beli untuk memulai hari,
abu-abu yang kusam, aku celupkan semuanya tepat setelah kamu pergi,
transparan, hati dari bayi yang baru dilahirkan,
warna kulit, melihat tanganku yang kugenggam erat,
hitam, warna dimulainya hari yang baru,
cokelat tua, berjalan di tanah ini, kita harus terus berjalan

Dunia yang penuh warna, kita telah berada dimana pun kita berdiri,
dunia yang penuh warna, kita telah kehilangan segalanya,
tapi kamu telah berdiri, kamu bernafas di sana,
di bawah masing-masing warna.

Setiap cahaya di jalanan memiliki arti dari setiap cerita,
setiap orang percaya kehidupan, hari demi hari,
tapi kita harus memulainya, kita harus memulai dari diri kita,

Pergilah pada jalanmu,
selamat tinggal~

Minggu, 24 Juli 2016

Bertahan dalam SkenarioNya

Bertahan dalam SkenarioNya

Kupetik setiap hikmah di balik patah hati yang dulu berapa kali kusinggahi. Terjebak di setiap langkah yang akhirnya membuatku menetap cukup lama pada kisah yang salah. Kisah di mana waktu dan perasaan yang kutanam itu justru membusuk, tak mekar. Masa lalu memang indah lagi menyakitkan.

Pernah kumengalaminya, tak kuasa kutahan sebuah penantian, membuatku mengungkapkan perasaan pada seorang yang kusuka, dia menerimanya, dan lahirlah hubungan paling lama kala itu. Namun, sadar berbalut sesal, kisah yang salah akan mengikis lenyap atas kehendakNya.

Kini, sebuah kota yang bernama masa lalu itu runtuh, bersama robeknya lembaran-lembaran buku harian yang kini enggan kulihat. Namun, kota yang telah hancur sekali pun, tetap saja memiliki peninggalan yang berharga. Itulah kenangan, yang akan berubah menjadi pisau jika terlalu dalam dipikirkan, tapi akan menjadi lampu pijar ketika menjadikannya pelajaran.

Kini, kuakui seorang yang baru telah menjajah gua hati yang dipenuhi kelelawar yang haus akan ketenangan. Kelelawar yang menghisap habis setiap ketenangan dari setiap rasa percaya bahwa kelak seseorang akan datang atas skenario terbaikNya. Kini kelelawar-kelelawar ganas itu pergi ketika cahaya matahari menembus gelapnya gua. Seorang yang amat indah nan baik, dia menghancurkan dinding gua dan merobek kegelapan yang ada di dalamnya. Seakan dia berteriak di luar sana, “Aku akan memancingmu keluar dari sana, temani aku menari dalam hangatnya cahaya matahari ini!”

Aku akan mendaki, memanjat, menggapai cahaya di atas sana. Memantaskan diri dengan cara yang baik, memperkuat diri, belajar dan terus belajar, hingga sampai ketika aku keluar dari gua ini, setidaknya aku bisa melindunginya, merangkulnya, menemaninya menari bersama hangatnya mentari, menggenggam erat tangannya, bersama dalam ridaNya, yang dibungkus indah dalam sebuah ikatan yang dinamakan pernikahan.

Ya Allah, jika memang dia yang Kau pilihkan untukku, untuk melengkapi skenario indahMu. Berikan padanya kekuatan dalam menggeggam kesabaran atas penantian. Lindungi dia selalu, karena saat ini aku tidak memiliki daya untuk melihatnya, apalagi melindunginya. Jaga dia selalu dengan syariatMu, dengan jilbab yang dia kenakan. Lindungi dia, dari pandangan serta perilaku yang Kau haramkan. Demikian doa yang sama, untukku.

Ya Allah, aku ingin menjemputnya dengan cara yang indah. Mengarungi ganasnya samudra yang kuyakin tidaklah mudah, untuk itulah tanpa petunjukMu, tanpa kehendakMu, tanpa perlindunganMu, mustahil aku mampu menjalaninya. Akhir kata, surat untuk seseorang di sana kuterbangkan bersama usaha dan doa. Kuharapkan kisah yang indah menanti di atas sana, setelah penantian yang tidak mudah.


-       Dityavery

Senin, 18 Juli 2016

Telaga Kata

Simpan kata-kata indahmu untuknya, sampai Allah menakdirkan kalian untuk bersama. Jika kamu umbar sekarang apalagi di media, di depan banyak orang dengan niat ingin menyampaikan perasaanmu padanya, sementara dia tidak pernah tahu perasaanmu padanya. Itu hanya akan membuatnya mengerucut dalam gelap, menyalakan lilin-lilin asumsi bahwa sudah ada yang mengisi hatimu, sudah ada yang spesial untukmu, dan parahnya mungkin itu akan menyakiti perasaannya. Begitu pula sebaliknya, tidak enak kan melihat orang yang kamu suka, merangkai kata "sandi" untuk seseorang yang tidak jelas, yang membuat batinmu bertanya, "Siapa gerangan yang dimaksud?" "Mungkinkah itu aku?" "Kurasa tidak!" "Baiklah, mungkin dia memang bukan untukku!"

Jangan ciptakan asumsi negatif untuk menyiksa dirimu, lindungi waktumu, persiapkan diri, pantaskan diri untuk skenario terbaik-Nya. Kelak, telaga kata yang kamu simpan selama mengaguminya akan kamu berikan padanya, hanya untuknya, tanpa perlu membuatnya bertanya 'untuk siapa kata-kata itu?', dan dia pun tak perlu sungkan untuk menikmatinya.

-Dityavery (18 Juli 2016)



Kamis, 14 Juli 2016

Keluarga

Sungguh, anak mana yang ingin dibandingkan dengan anak yang lainnya, oleh orang tua mereka.
"Ah, bilang saja karena kalian tidak sanggup bersaing dengan anak lainnya?"
Atau, "Cih, tidak kompetitif banget sih!"

Ini bukan tentang seberapa seorang anak kompetitif dengan orang lain, tidak pula enggan untuk bersaing, apalagi kita tahu zaman sekarang dengan jumlah penduduk, serta lancarnya jalur antar negara untuk saling berinteraksi menuntut kita memang wajib untuk bersaing.

Namun, sekali lagi terlepas dari itu. Seorang anak ingin sekali dianggap ada oleh orang tua mereka, dianggap berbeda, ingin diterima apa adanya sebagaimana orang tua ingin diterima apa adanya oleh sang anak, menerima apa pun pekerjaan mereka selama masih halal, menerima penampilan mereka, menerima kekurangan, kelebihan mereka, serta menerima apapun cara mereka mendidik anak-anaknya.

Bicara tentang keadilan, rasanya itu cukup adil. Beberapa pertemuan orang tua dengan orang tua lainnya, yang membahas tentang anak mereka, tentang pekerjaannya yang hebat, prestasinya yang hebat, pergaulannya yang luar biasa, pasangannya yang rupawan, hartanya, hingga ketenaran anak mereka.

Pahamilah, sang buah hati bersembunyi di balik tembok, mendengar semuanya, berharap orang tuanya tidak berpengaruh.

"Ma, Pa... Aku berbeda."

Namun, orang tua pun justru bertanya, "Mengapa kamu tidak seperti dia?"
Ada apa denganku, aku pun tidak tahu Ma, Pa...
Apakah aku harus menanyakan hal yang sama?
Mengapa aku tidak dididik oleh orang tuanya saja?

Namun, tidak pernah akan terucap hal itu, karena selama ini seorang anak bertahan bersama orang tuanya, karena mereka telah nyaman, mereka tidak ingin berpindah, karena mereka percaya orang tuanya adalah orang tua terbaik yang dikirim Allah kepadanya.

"Aku pun ingin membahagiakan kalian, berdiri di atas dunia, memberikan buket bunga yang besar, lalu mengalungkan sebuah medali sederhana, meski bukan dari kejuaraan matematika, fisika, murid teladan, mahasiswa terbaik, meski yang kuberikan hanya secarik kertas berisi puisi."

Pernah terucap, keluarga adalah tim, di mana kita harus bekerjasama, saling percaya, dan saling mendukung. Ingin sekali, sampai terakhir napas berembus, kita masih mengemban arti dari keluarga.
Maaf jika ada yang tidak berkenan, maaf jika ada kata yang tidak sesuai. Terima kasih.

-Dityavery (15 Juli 2016)

Minggu, 10 Juli 2016

Kematian

Kematian, susah sekali ya untuk sekadar membayangkannya.
Mengambil pelajaran berharga darinya.
Saat-saat kita memasuki liang lahat.
Saat-saat napas kita mulai sesak, tidak terbayangkan?
Aku pun belum merasakannya, tapi pasti kita merasakannya kelak.

Bukti apa lagi yang dapat menyadarkan kita?
Orang-orang terdekat kita, orang tua kita, saudara-saudara kita, sahabat kita, belum pernahkah kita melihat beberapa dari mereka meninggalkan kita?

Baiklah, mungkin membayangkannya sulit bagi yang masih dikelilingi oleh orang tercinta, tidak akan pernah kita melihat atau mendengar langsung testimoni dari orang-orang yang telah lebih dahulu menghadap penciptanya. Mereka tidak sempat bercerita.

Kematian itu mengerikan, ya mungkin kita berpikiran sama.
Kadang berpikir sampai kapan aku bisa bernapas seperti ini?
Saat semua organ tubuh masih sehat.

Pernahkah kita melihat?
Guru-guru, sahabat-sahabat yang baru saja memperbarui statusnya sekian menit yang lalu, setelah kita lihat kembali, dikabarkan mereka telah tiada.
Tidak ada dari jari-jari mereka yang dapat mengetik status ketika sudah terbungkus kaku dengan kain kafan.
Bagaimana jika itu terjadi pada kita?

Teman-temannya berbondong-bondong berkomentar menunjukkan rasa simpatinya.
Tidak ada yang dibalas oleh sang pemilik akun, kecuali keterangan dari keluarganya, untuk berhenti mengirimkan sesuatu ke akun tersebut karena orangnya sudah tiada.

Apa kabar kita ketika tidur di kamar yang baru kelak, di dalam tanah?
Bisakah kita membayangkan?
Tak perlu jauh-jauh berpikir, bagaimana rasanya jika kita yang masih hidup, cukup tidur saja di atas tanah di kuburan, sehari semalam tanpa selimut, tanpa AC, tanpa ponsel, tanpa TV, hanya kamu dan tanah?
Bisa membayangkannya?
Bagaimana semut-semut atau cacing mulai memanjat di tubuhmu?
Sudah terbayang?

Terdengar menyeramkan, tapi itulah yang akan terjadi pada kita, entah kapan, besok atau mungkin hari ini.
Siapa yang tahu, ini adalah tulisanku yang terakhir.
Tidak ada yang tahu.

Untuk itulah, saat ini juga, berubahlah.
Mengingat kematian merupakan pendidikan yang luar biasa, pendidikan yang tidak memengaruhi IPK, tidak pula muncul di ijazah, bahkan lowongan pekerjaan pun tak mensyaratkan.

Para pemuda, berpikirlah lebih jauh, tidak sebatas pada impian, impian, dan impian tapi pikirkan bagaimana kamu mempersiapkan kematian.
Tentu bukan menyiapkan baju besi, tentara, atau tank untuk melindungi, karena semua itu tak berguna jika memang waktunya telah tiba.

Para pemuda, jangan menganggap kita akan sampai pada umur 60, 40 pun belum tentu, 30 pun belum tentu, banyak yang meninggal sebelum umur 20, 10, bahkan ada yang baru saja menghirup udara dunia, tapi sudah dipanggil untuk pulang.

Semoga Allah memberikan hidayah pada kita semua.
-Dityavery (11 Juli 2016)

Jumat, 10 Juni 2016

Diary Air Mengalir - Men to Ring!

Mentoring - Men to Ring

Tulisan ini adalah lanjutan dari Diary Air Mengalir - Kebimbangan Langkah. Jadi, pada tulisan ini akan kembali mengenang saat pertama Allah mengenalkanku dengan mentoring.

Mentoring Islam yang dikutip dari wikipedia adalah kegiatan pendidikan dan pembinaan agama Islam dalam bentuk pengajian kelompok kecil yang diselenggarakan rutin tiap pekan dan berkelanjutan. Tiap kelompok pengajian terdiri atas 3-10 orang, dengan dibimbing oleh seorang pembina.

Men to Ring, adalah tema yang kuangkat untuk menggambarkan sekelompok orang dengan beberapa masa lalu yang berbeda, yang memutuskan untuk bergabung dalam sebuah lingkaran kecil yang bernama mentoring. Mengapa lingkaran?

Dikutip dari salah seorang yang memberikan jawaban ringan tapi mengena, intinya kenapa mentoring itu melingkar atau membentuk lingkaran, terlepas dari sempurna atau tidaknya lingkaran yang dibuat, "karena persaudaraan ga pernah putus seperti lingkaran".

Terlepas dari opini orang yang tidak bertanggungjawab, yang menganggap rohis adalah organisasi pencetak teroris. Aku selalu berteriak dalam hati, "apaa?"

Oke sip, abaikan mereka, rohis bukanlah pencetak teroris, rohis adalah pencetak gol! Gol dalam cita-cita, gol dalam tujuannya untuk sukses dunia dan akhirat, gol untuk menjaga moral bangsa, gol dalam prestasi menjaga keseimbangan antara akal dan iman!


Ada pun isu yang menyayat hati, mungkin senior-senior kami berjuang keras untuk menetralisir isu-isu yang ada, agar para mahasiswa apalagi yang baru tidak lagi alergi dengan yang namanya Islam. Bagaimana mereka bisa maksimal dalam mengenal agamanya, sementara label-label mengerikan telah membuat mereka lari sebelum berkenalan?

Awal-awal masa bergabung dalam organisasi mahasiswa yang berwangikan Islam, bagi kebanyakan orang mungkin menjadi momok yang melelahkan, badai pertanyaan dan pernyataan bermunculan, seakan organisasi yang kuikuti adalah organisasi ekslusif beraliran keras yang hanya boleh dimasuki oleh oleh orang-orang suci.

"Wah, masuk rohis! Hati-hati Dit, jangan buat bom ya."
"Itu alirannya apa?! Sesat ga?"
"Lah, lu masih doyan maksiat aja, ngapain masuk rohis? Mau bikin ajaran baru, Dit?
"Hahaha, ada pak Ustad!"

Masih banyak lagi...


Mengenang dan mengenang, untungnya aku tidak terlalu peduli atas semuanya, biasanya hanya kubalas dengan tawa, "slow, slow, sejauh ini belum pernah diajarin bikin bom kok!" dan jawaban-jawaban lainnya.


Mentoring yang dilakukan setiap minggunya, seusai kuliah, kadang jika ada halangan di jadwal biasa maka akan diganti di hari Sabtu. Mentor pertama yang super baik dan hebat, Bang Yoga, senior angkatan 2008, yang saat itu masih kuliah, aktif berorganisasi, kudengar juga dia punya usaha, jadi mentor pula, benar-benar luar biasa. Tak jarang Bang Yoga izin telat, karena saking sibuknya.

Saat itu di Masjid As-Syuhada Universitas Trisakti, seusai mengikuti kelas di kampus tercinta, kami membentuk lingkaran, sekumpulan mahasiswa awam, pendaki kehidupan perkuliahan yang masih sangat pemula, junior-junior yang berusaha berlayar sekuat tenaga.

Mentoring yang menyenangkan. Diawali dengan lafadz bismillah, membaca Al-Qur'an, dilanjutkan dengan materi islami, lalu sharing, dan ditutup dengan doa dan salam.

Lihat dimana letak keganjalan yang ditakuti orang-orang atas organisasi-organisasi Islam apalagi yang khusus pelajar dan mahasiswa? Dimana letak keganjalannya?


Sharing adalah dimana setiap dari kami kebanyakan malu-malu kucing untuk bertanya, biasanya aku menunggu teman-teman yang lain bertanya lebih dahulu. Kemudian jika tidak ada, maka Bang Yoga membuka percakapan dengan menanyakan kabar masing-masing, bagaimana kuliahnya lancar atau tidak, apakah ibadah selama seminggu terakhir ini ada hambatan, bagaimana kondisi fisik bahkan hati. Remaja labil sepertiku dan mungkin teman-teman yang lainnya, membutuhkan seorang teladan sesama mahasiswa yang dapat membagi pengalamannya dalam mengarungi bahtera pendidikan di kampus ini.

Tak jarang dalam setiap pertemuan, Bang Yoga mengajak kami untuk makan bersama, gratis! Waktu itu kebetulan yang kuingat yang datang hanya aku dan Rizky, hari Sabtu, kami diajak makan di salah satu bagian kampus yang saat itu tidak pernah kukunjungi. Ayam goreng, ditemani sejuknya sore hari, selepas mentoring, mengobrol santai, suasana itulah yang tidak pernah ingin kulepaskan.

Beberapa bulan berlalu, sudah beberapa minggu ini tidak mentoring. Memang tidak ada air mata yang jatuh, tapi rasanya ada sesuatu yang hilang. Apakah mentoring ini sudah selesai sampai di sini?

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bang Yusuf, ketua SKI Ibnu Taimiyyah BEM FE saat itu, menanyakan apakah aku masih mentoring? Kujawab dengan ragu, "sebenarnya masih, tapi sudah lebih dari beberapa bulan ini tidak ada mentoring, Bang,"

Peristiwa itulah yang kemudian mengantarkanku pada sosok mentor berikutnya, kali ini kami bergabung bersama Bang Yusuf, Bang Ryan, dan senior-senior angkatan 2009, meskipun jeda tiga angkatan, abang-abang 2009 ini seolah tidak menganggap kami sebagai junior mereka, melainkan sahabat. Kami saat itu di gedung S lantai 3, menunggu sang mentor. Kami dipertemukan, Bang Reza. Saat inilah, aku ditunjuk menjadi ketua kelompok mentoring. Saat bersama Bang Reza, kami dikenalkan dengan seorang junior yang amat bersemangat, bayangkan saat screening khusus angkatan 2012, junior hebat yang masih angkatan 2013 ini datang untuk mengikuti screening, kami tak dapat mewujudkan keinginannya, karena peraturan kampus mengatakan angkatan 2013 yang masih baru masuk, belum diperbolehkan untuk menjadi anggota organisasi mahasiswa terlebih dahulu. Akhirnya, kami mengobrol sambil menonton dia yang sedang makan siang dari bekal yang dibawanya. Dia adalah Muhammad Farhan, yang kini kami berada di kelompok mentoring yang sama.

Tidak sampai satu setahun, bang Reza menemani kami setiap minggunya, kadang-kadang rujak buah menemani setiap pertemuan mentoring kami. Bang Reza, sosok luar biasa yang namanya cukup terkenal di Fakultas Ekonomi. Kami diberikan materi tentang sejarah perjalanan Rasulullah, menekankan pada perjuangan agar kami tidak patah semangat dalam bertahan di samudera kehidupan kampus yang sedang kami arungi.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengenang dan mengenang, saat ini kami ditakdirkan untuk mengenal mentor yang berikutnya. Aku sedikit gugup, ketika Bang Yusuf bilang bahwa mentor berikutnya lebih jauh angkatannya. Masih di gedung S lantai 3, sekretariat SKI-IT dahulu kala, kami berkenalan. Bang Yogi, angkatan 1994, Fakultas Teknologi Industri Universitas Trisakti. Aku masih mendapat amanah menjadi ketua kelompok dan Farhan menjadi bendahara, kini dan berikutnya perjalanan panjang akan dimulai kembali, kurasa lembaran baru akan kembali ditulis, ada banyak kisah yang menunggu di depan, insya Allah.

Masa inilah, tanpa sadar kami sudah tidak mengenakan kata mentoring lagi, istilah baru bagiku, muncul di kala itu, Liqo. Namun, tenang saja, tidak ada yang berubah, susunannya tetap sama seperti mentoring, menyenangkannya pun sama bahkan mungkin lebih menyenangkan.

Diary Air Mengalir - Depresi Tak Beralasan

Dear Diary,
Tulis mereka di setiap buku catatan yang mereka miliki. Sarana melemparkan setiap perasaan yang dialami di setiap harinya. Berapa kali buku harian itu mampir, si biru, si merah muda, kutulis setiap yang kurasakan di sana. Beberapa hari tak sampai seminggu, aku berhenti. Selalu begitu.

Beberapa lama kemudian, entah beberapa minggu atau bulan kemudian, kutemukan buka harianku terhimpit bersama buku-buku raksasa lain. Kuberpikir untuk menyelamatkan buku harian kecil yang mungil itu. Kubuka lembaran demi lembaran, tak sampai habis, aku pun berbicara pada diriku sendiri, "Mengapa aku menulis semua ini?"

Kuberikan nama pada buku harian tersebut, berharap aku dapat berbicara padanya, berbicara padanya, ya berbicara padanya.

Oh, separah itukah sepi yang ada? Sampai-sampai harus berbicara pada buku harian kecil yang dalam khayalku buku itu berdiri, terbang ke arah wajahku, mengelus pipi ini dengan lembaran-lembaran layaknya tangan.

Sampai detik meraih detik lainnya, cerita cinta yang ada tak kunjung berjalan. Seperti drama file dengan internet, kisah tragis file yang mati di tengah jalan bersama matinya jaringan internet. Itulah kisah yang kebanyakan kutulis di sana.

Lembaran-lembaran putih bergaris hitam layaknya baju tahanan di beberapa film. Ya, lembaran-lembaran itu telah memenjarakan semuanya, kisah-kisah menyedihkan, kasih yang tak pernah sampai karena anggapan bahwa kemungkinan yang ada bagaikan langit dan bumi.

Tentu saja tidak akan pernah sampai jika kita berpikir demikian. Untuk itu belajarlah, buat pesawat dan jemput dia yang berada di langit. Jangan diam saja, meringkuk di kamar, mendengar lagu sampai depresi. Ya tentu sekali pun kisah cintamu berada di depan matamu, tak akan pernah tergapai.

Diary, aku mungkin sedikit merindukanmu, mengelitik lembaran-lembaran halus dengan pena, sambil tersenyum sendiri di heningnya malam. Menjelang tidur, untuk merayakan setidaknya 1% keberhasilan yang kubuat hari ini.

Diary, menulis di tubuhmu laksana setiap perasaan menyaksikan apa yang kutulis. Mereka menyuruhku menulis sebebas-bebasnya. Jika aku malu untuk membacanya, aku tinggal menutup atau melipat lembaran tersebut, dan menulis di lembaran lainnya. Jika aku benci akan kenangan yang kubuat sendiri, kutinggal merobeknya.

Diary, aku bukan teman yang baik untukmu.

Rabu, 08 Juni 2016

Diary Air Mengalir - Kebimbangan Langkah

Dahulu kala, aku tak pernah paham apa yang membuatku berada di tempat ini. Tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan setiap masa lalu yang pernah dilewati.

Rohis, atau apa pun itu namanya. Tidak pernah terlintas sedikit pun di awal kuliah, bahwa diri ini akan menjadi bagian di dalamnya.

Mulai mengenang, semester 3, ketika setiap mahasiswa baru mulai diberikan kebebasan untuk ikut serta dalam organisasi mahasiswa, sesuai dengan apa yang diinginkannya. Namun, sampai detik ini pun aku tidak punya pendirian yang kuat akan ikut apa. Jangankan itu, untuk ikut organisasi saja rasanya masih terbayang-bayang, biar pun sewaktu latihan kepemimpinan, saat ditanya senior mau ikut organisasi atau tidak, jawabku dengan polosnya, "Iya". Aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya, mungkin saja itu bagian dari doa.

Ditambah selama di SMA, tidak ada organisasi formal yang kuikuti, buta akan pengalaman. Seakan seperti tanaman kecil yang terlantar di pinggir jalan, beruntung tak jauh dari sana terdapat rumah dari seseorang yang rela menyirami dan memberikan pupuk terbaik, hingga pada akhirnya aku dapat tumbuh dengan baik.

Kembali pada semester 3, semester bersejarah dalam kehidupanku, kehidupan dari seorang yang biasa dan sederhana, tapi kucoba tetap menganggap berharga setiap peristiwa yang terjadi, keluarga, serta sahabat. Mereka tidak akan bisa dibayarkan meski pun dengan planet yang penuh berisikan ruby, diamond, sapphire, atau apa pun itu.

Singkat cerita, saat itu ditemukanlah seseorang yang membawa sebuah berita, berita tentang adanya open recruitment dari organisasi mahasiswa yang bernama Sie Kerohanian Islam Ibnu Taimiyyah (SKI-IT) aku lupa berapa lama menghafal nama organisasi tersebut, seringkali di awal lidah ini terpeleset ketika mengatakannya. Dia, orang yang membawakan berita, sebut saja Rizky, memberikan format pendaftaran yang harus kukirim melalui SMS ke nomor yang sudah ditentukan. Saat itulah keraguan dipenuhi rasa takut, atau lebih tepatnya perasaan tidak layak akan diri ini untuk mengikuti organisasi tersebut.

Kuucapkan lafadz bismillah, kukirim SMS itu dan kujauhkan handphone beberapa menit untuk menenangkan diri, kuberdoa, semoga ini adalah pilihan yang tepat. Tujuanku hanyalah untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Hingga beberapa hari kemudian, seseorang mengundangku untuk mengikuti screening. Apa aku akan dimasukkan ke dalam alat semacam scanner seperti yang ada di rumah sakit? Pikirku waktu itu dengan polosnya.

Akhirnya dengan jantung berdegup amat cepat, aku pun datang ke sebuah ruangan di gedung S, lantai 3. Aku menunggu di luar dengan bingung, hingga seseorang senior menyuruhku masuk dengan ramahnya. Ah, aku tidak menyangka, mereka menyuruhku untuk tenang. Tidak seperti yang kubayangkan di setiap mimpi malam hariku. Memang beberapa pertanyaan ada yang menusuk tajam, tapi keramahan mereka membuatku tidak memperdulikan pertanyaan-pertanyaan yang ada. Kesan pertama yang luar biasa, luar biasa gerogi, sampai beberapa senior di dalam ruangan itu membujukku untuk tenang dan santai. Aku mencobanya, ya sungguh aku mencobanya, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, tapi sampai akhir proses screening, kakiku tidak berhenti bergetar.

Berikutnya, selepas screening, aku masih terus memperhatikan secarik kertas bertuliskan barang-barang apa saja yang perlu dibawa untuk acara LDKI (Latihan Dasar Kepemimpinan Islam), semacam proses berikutnya setelah screening. Rasanya seperti, "Woi, baru kenalan, sudah ospek aja?"

Kembali kepala ini dipenuhi pertanyaan, apa benar diri ini layak? Maksiat pun masih sering kulakukan. Namun kepala batu ini tetap memutuskan hadir dalam acara tersebut. Sampailah pada sebuah acara yang tidak terbayangkan, sebuah pemandangan indah, hijau, dan dihiasi ketegangan. Abang senior memberi nasihat sambil menunggu hujan reda di sebuah mushola nan sederhana, "Jangan bertindak konyol. Ini bukan tempat kita, banyaklah berdoa."

Tibalah malam, kami ditempatkan di sebuah rumah kecil, bentuknya mungkin seperti rumah kurcaci atau peri yang ada di film-film fiksi, rumah kecil tersebut masing-masing memiliki dua lantai, satu lantai dihuni oleh satu kelompok yang terdiri sekitar lima orang. Aku ditunjuk menjadi ketua kelompok 1, aku tidak paham pertimbangan mereka.


Inilah kelompok pertama, yang berisi rekan-rekan penerus bangsa. Oh ya, mengapa di gambar ada 6 orang, karena yang satu lagi adalah mentor sementara, ketua SKI-IT kala itu, Bang Randika.

Sebelum pagi cerah seperti yang digambar tersebut muncul, peristiwa malam harinya sebenarnya lebih seru dan mengena di hati. Mari mengenang kembali, materi malam hari yang berakhir pada jam 11, jika tidak salah. Saat itu kami benar-benar dalam keadaan melayang-layang alias mengantuk, mata kami layu seperti tanaman putri malu yang disentuh dengan lembutnya.

Dilanjutkan dengan tidur yang cukup, cukup sebentar. Sekitar jam 2 pagi kami dibangunkan, agenda menegangkan lainnya, memang tak luput untuk acara latihan kepemimpinan seperti ini, ya benar, Jurit Malam!

Teriakan abang-abang senior mengacaukan mimpi kami, kami bangun, berjalan dari rumah kurcaci menuju lapangan, seperti zombie yang baru saja bangkit. Belum saja sempat menyegarkan mata, kami disuruh baris, dan memberikan yel-yel yang seharusnya telah dibuat.

Lalu, apa yang paling membuatku tersentak adalah ketika ketua kelompok disuruh memimpin anggotanya menyiarkan yel-yel kelompok. Sungguh luar biasa, tidak ada secercah konsep untuk yel-yel kelompok ini, kami pernah membahasnya, tapi belum sampai konsep kita melupakannya.

Akhirnya, bak pendekar mabok di malam hari, dengan penuh percaya diri, aku maju ke depan dan berkata pada kelompokku, "Yuk, ikutin gue yak!"

Mereka terlihat bingung, beberapa ada yang ketawa kecil, seakan menantikan hiburan malam yang akan terjadi.

Entah apa yang membuatku joget tidak jelas di depan mereka, urat malu seakan telah lari menggigil, bukan karena dingin tapi karena apa yang kulakukan. Kelompokku tertawa, tak sempat membesar tawanya, senior pun menyuruh kami diam, aku pun dengan setengah sadar masih melihat beberapa anggota tetap nyengir.

Sampailah pada ujian mental, bumbu penyedap yang indah, bagian mengharukan adalah ketika para anggota kelompokku ditanya, "Mengapa mereka memilihku untuk menjadi ketua?" Pertanyaan sebaliknya pun dilontarkan padaku, "Kenapa aku yang menjadi ketua?"

Bumbu hanyalah bumbu, kita nikmati rasanya, lezat dan menyehatkan. Ya pasti ada pelajaran yang diambil dari setiap yang dilakukan senior saat itu. Cuma aku terlalu ngantuk untuk belajar.

Kembalilah kita pada pagi yang cerah, seperti yang ada pada foto di sebelumnya, kami dikenalkan dengan apa yang disebut mentoring, meskipun saat itu kurasa aku belum sadar bahwa saat itu sedang mentoring. Kita hanya diberikan materi ringan, diajak bertafakur alam, mengamati alam sekitar dalam sebuah lingkaran, membaca Al-Qur'an bergantian, sharing, yang kadang diselingi dengan canda, entah mengapa saat-saat ini begitu menyenangkan.

Acara dilanjutkan dengan tracking, mendaki gunung melewati lembah. Eh itu lirik lagu ninja Hatori. Tracking kali ini begitu spesial dengan rompi karet, karena selain kita akan melewati hutan, lumpur, dan segala medan menantang lainnya, kita pun akan melompat ke dalam air dengan ketinggian serta kedalalaman yang beragam.

Aku tidak mengerti, mengapa setiap orang di sini, bukan hanya kelompokku, semua membicarakan tentang, "Apa yang sebenarnya kulakukan semalam? Kerasukan apa ketika membawakan yel-yel sambil bergoyang dengan anehnya!" Hal yang lebih aneh adalah ketika pagi aku benar-benar lupa akan apa yang aku katakan ketika membawakan yel-yel tersebut. Beberapa tertawa bercampur bingung ketika itu.

Berakhirlah tracking yang cukup mendebarkan, diakhiri dengan foto bersama di depan air terjun.


Penutupan acara, diakhiri dengan pensil (pentas seni islam), di bagian ini juga aku kembali mengalami stres berat ketika kelompok kami bahkan belum menentukan akan menampilkan apa selain menampilkan sebuah nasyid dari Hijjaz yang berjudul Rasulullah yang diwajibkan panitia, itu pun dengan jujur aku katakan, sama sekali belum hafal liriknya.

Si kreatif Rizky Ramdhona, akhirnya memutuskan untuk menampilkan musikalisasi puisi, dengan membawakan puisi di pertengahan nasyid tersebut, untuk mengakali keculunanku yang tak hafal liriknya, sebuah nada "Huu hu huu hu" kulantunkan. Tidak ada yang paham kurasa, jika hanya membacanya. Penampilan yang tak kalah kacau dan berantakan dari yel-yel semalam, meledakan tawa di setiap penjuru lapangan. "Agnes Monika! Mirip Agnes Monika nih anak, cuma versi kesurupannya." Puisi yang dibawakan Rizky pun tenggelam karena latar belakang suaranya mencuri tawa dari setiap penonton.

Kurasa sampai inilah yang bisa kukenang dari peristiwa ini, LDKI pun selesai, pertemanan mulai terjalin sejak itu, sampai akhirnya aku pun resmi menjadi anggota SKI-IT, lalu dikenalkanlah dengan mentor pertama bang Yoga. Formasi kelompok lingkaran yang sedikit berbeda dari kelompok di LDKI.

Sekian untuk saat ini, terima kasih.



Selasa, 07 Juni 2016

Ukhuwah

Ukhuwah

Aku berhenti sejenak,
meratapi bunga-bunga yang tergeletak,
bunga matahari yang retak,
tangisan sang mawar layaknya air yang bergejolak.

Sungai di malam itu begitu indah,
barisan pohon di gunung saat itu begitu megah,
berlari di atas lumpur membuatmu lelah,
kemenangan bahagia ketika menginjak tanah yang memerah

Terlelap dalam lelah,
hati pun menggenggam amanah,
detik malam berdetak lambat,
pintu mimpi tak kunjung tiba.

Engkau yang sedang berjuang di sana,
terjebak kesibukan untuk cita-cita,
bersandarlah, tenanglah,
kita masih di langit yang sama.

Dakwah bukanlah tugasku, kamu, atau dia,
dakwah adalah tugas bersama,
engkau lelah, katakanlah,
tidakkah kita adalah satu tubuh dalam sebuah kata terindah.

Kata yang bermakna,
sewangi taman bunga,
seindah matahari senja,
ukhuwah namanya.

-Dityavery-

Prolog - #Mari Menulis!

Kopi dan susu pernah bersanding begitu mesra, menguasai hati kecil ini. Filosofi dari hitamnya si kopi dan putihnya susu, mereka berkolaborasi menciptakan sebuah rasa yang begitu luar biasa. Jatuh cinta, perasaan itulah yang membuat pria dan wanita kehilangan akal sehatnya, mereka bahkan berucap mampu menyebrangi lautan, bahkan rela menyelami lava hanya untuk yang dicintainya, ya sejauh yang kuketahui drama itu hanya berakhir di lidah saja. Akhirnya, aku belum pernah menemukan seorang pasangan muda yang bahkan belum diridhoi Allah dalam sebuah pernikahan, yang rela menyelami panasnya lava hanya untuk pasangannya yang belum sah.

Aku tidak mengatakan masa lalu itu adalah sebuah kesalahan, sebagaimana aku berpikir dahulu aku begitu giat untuk mengejarnya, menebarkan kalimat cinta yang bahkan aku sendiri tidak paham artinya, mendengarkan lagu-lagu melow lalu membiarkan diri ini tenggelam dalam lautan yang di sana terdapat banyak sekali perasaan yang berenang-renang mengelilingi pikiran. Perasaan yang seringkali mencuri jam tidur, jam belajar, bahkan jam bermain.

Jatuh cinta adalah hal yang wajar, mungkin saja ada ribuan hati yang sebenarnya ingin sekali mengungkapkan perasaan kepada orang yang dicintainya.

Hanya saja...
Beberapa hati ada yang lebih memilih diam, menahan gejolak tersebut, berharap degupan kencang itu mereda, sehingga ia bisa hidup kembali dengan tenang. Beberapa orang ada yang dengan bangganya mengungkapkan semua yang dirasakannya. Kita semua memiliki pribadi yang berbeda tentunya.

Saat hal indah yang dinamakan cinta itu mengetukmu, mengetuk kita. Hidup kita bisa saja ditawan oleh perasaan itu, atau bahkan kehidupan kita akan berkembang, merangkak maju, termotivasi. Kebetulan-kebetulan yang ada mengantarkan kita kepada asumsi seperti 'takdir telah mengantarkan aku padanya atau mungkin takdir telah merestui hubunganku dengannya', jika kamu pernah berpikir demikian berarti "kebetulan" yang sama baru saja terjadi, aku pun pernah merasa demikian, itu berarti kita jodoh, bukankah demikian?

Ada seseorang yang dikirimkan untuk mengenalkan cinta pertama, lalu hilang begitu saja ketika aku memutuskan untuk mengungkapkannya. Bagaimana tidak? Orang awam yang buta akan perasaan itu, tentu dihantui dengan berbagai rasa penasaran yang bergejolak. Namun, kurasa Allah telah menyelamatkanku dari keliaran perasaan yang mungkin saja bukan hanya akan menodai masa mudaku melainkan juga masa depannya.

Senin, 06 Juni 2016

Selamat Datang Kembali!

Assalamu'alaikum~
Hei, apa kabar?

Ini postingan pertama saat blog ini mulai diganti bajunya, kenapa sih harus ganti baju?
Apa karena memasuki bulan Ramadhan jadi mendadak mau membuat suasana islami?

Secara tidak langsung, iya.
Memasuki bulan Ramadhan, sudah semestinya kita membutuhkan persiapan dari A sampai Z. Persiapannya apa aja sih?

Nah, pertama adalah niat tentunya, karena setiap amal selalu diawali dengan niat, dan pada akhirnya akan dinilai dari niatnya. Niat dari awal jika kita ingin memaksimalkan ibadah kita di bulan Ramadhan, bukan berarti jika di bulan-bulan lain kita tidak boleh maksimal ya. Namun di Ramadhan ini kita harus lebih maksimal, karena Ramadhan hanya datang sekali setahunnya, karena di dalam bulan Ramadhan terdapat banyaaak sekali ibadah-ibadah yang dapat kita maksimalkan.

Persiapan lainnya yang tidak kalah penting adalah fisik kita, tentu untuk tampil maksimal setiap harinya selama bulan Ramadhan, kita membutuhkan nutrisi dan pola hidup yang baik untuk menunjang aktivitas kita selama berpuasa, untuk itulah Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk sahur. Kegiatan ini kadang kala dianggap remeh, membuang waktu tidur (tapi giliran nonton bola kuat banget). Nah, sahur adalah sarana kita untuk menyiapkan bekal nutrisi dalam tubuh untuk beraktivitas dari Subuh hingga Maghrib dalam kondisi berpuasa.

Bagaimana jika lagi tidak ada makanan atau makanannya kurang banyak atau mungkin kita menganggap kurang nutrisinya?

Tetap saja, rezeki kita berbeda-beda, ada halnya masa-masa sulit sedang menimpa, maka apa pun yang tersedia dan halal tentunya, maka sebaiknya tetap kita makan. Ada pun ketika kita sedang lapang, bolehlah kita membagi sebagian rezeki kita kepada teman atau tetangga kita yang sekiranya kurang dalam hal tersebut.

Persiapan berikutnya adalah semaksimal mungkin menutup akses terhadap pintu-pintu maksiat, tutup hal-hal yang dapat membuat kita melakukan maksiat, hal ini memang sudah seharusnya dilakukan bukan hanya di bulan Ramadhan saja, tapi tentu untuk beberapa orang termasuk diri sendiri ini pun masih belum maksimal dalam menutup semuanya.

Salah satu hal yang memiliki peluang besar membuka pintu kemaksiatan tersebut adalah internet. Tenang saja, bukan berarti harus boikot internet juga kan?

Perkembangan teknologi informasi menuntut kita untuk mengikuti setiap perkembangan yang ada termasuk internet. Internet sangat berguna, kita semua tahu itu, kita dapat mengakses informasi penting dengan cepat, kita dapat bertemu teman-teman lama dengan mudah, mengatur jadwal acara, menyebarkan undangan reunian atau pesta dengan biaya yang minim, mengirim email, termasuk aktivitas menulis di blog ini, berbagi informasi yang bermanfaat yang insya Allah akan memberikan kebaikan bagi diri kita sendiri maupun orang lain.

Namun, tentu saja di balik memudahkan kita untuk hal-hal yang positif, hal-hal negatif pun semakin mudah juga untuk dilakukan, menipu kini jauh lebih mudah dan efektif, pornografi pun sangat mudah diakses tanpa kita berniat untuk mengakses, kadang iklan-iklan berbau porno, judi, kekerasan bisa kita temukan di situs yang bahkan tidak ada kaitannya dengan hal tersebut, serta kejahatan-kejahatan lain yang kini menjadi lebih dinamis, canggih, dan modern.

Apa saja memangnya yang harus disiapkan?
Apa hubungannya dengan persiapan Ramadhan?

Tentu kebanyakan dari kita termasuk aku sendiri, setiap harinya sangat sering berhubungan dengan gadget, internet, media sosial, itulah dimana persiapan perlu dilakukan setidaknya agar tidak "terlalu" menggoda kita saat sedang khusyuk melatih diri di bulan Ramadhan.

Kita bisa memulai dari media sosial kita yang biasanya terhubung dengan media sosial yang lain, mulailah membersihkan beranda dari postingan yang sekiranya dapat menggoyangkan keimanan kita, selanjutnya kita pun tak ingin orang lain terganggu dengan postingan kita, kita pun harus menghapus postingan-postingan yang sekiranya mengganggu tersebut, serta berusaha semaksimal mungkin ke depannya untuk memposting hal-hal yang baik.

Hal inilah yang menjadi latar belakang kenapa blog ini bisa "ganti baju", di samping itu entah apa yang membuatku berpikir tentang kematian, hari dimana tidak ada lagi yang bisa diandalkan kecuali amal, saat itulah seorang "yang menulis" tidak harus menjadi penulis pun punya tanggung jawab atas apa yang ditulisnya. Sadar atau tidak, di balik semua itu, hidayah Allah mungkin telah mengetuk hati, dan harapan ke depannya hidayah itu akan menetap bahkan sampai ajal tiba.

Sekian tulisan hari ini, semoga bermanfaat. Jika ada yang perlu diperbaiki, silahkan dengan senang hati ditunggu kritik dan sarannya.

Wassalamu'alaikum~

-Dityavery-

Sabtu, 09 Januari 2016

Ikan

Ikan

Perkenalkan, aku adalah sang ikan
Berenang-renang di dekat tepian
Kulihat sebuah perkemahan
Perkemahan indah di daratan

Dia si pemancing yang dipanggil Syiar
Melempar umpan yang berlayar
Menarik hati sahabatku, ikan yang lapar
Melahap umpan, tertarik keluar

Kulihat seorang di samping pemancing ikan
Kastrad, pengamat gerak-gerik ikan
Dia penasihat, pencari dimana tempat yang paling banyak ikan
Si mata jeli yang terpaku pada gelembung air yang dibuat sang ikan.

Kulihat di dekat kemah, si koki hebat dengan alat masaknya
Dia dipanggil Kaderisasi, merubah ikan menjadi makanan lezat dengan keahliannya
Menabur bumbu, menyebarkan aroma ikan bakar yang menggoda
Bersamanya ikan itu memberikan manfaat kepada manusia di sekitarnya

Jauh kulihat di balik tenda, sang pemimpin perkemahan
Pusat dari segala kegiatan
Tanpanya, si pemancing, pengamat, koki, dan peserta perkemahan
Mati kelaparan.


~Dityavery~

Bocah Berkaki Satu

Bocah Berkaki Satu
Penulis             : Achmad Aditya Avery (Dityavery)

Namaku adalah Ava Mesani, panggil saja aku Ava. Aku bersekolah di sebuah SMA di Tangerang, SMA Renagi. Hari ini adalah hari spesial, karena aku akan tampil sebagai guest star di acara peresmian ekstrakulikuler band, Magenta Canon adalah nama band kami, beranggotan empat orang personil yang super kocak diantaranya Jerry Merilyn, nama aslinya Handika Saputra, pemain gitar kami, rambutnya diwarnai ala bule, tapi tetap saja ia selalu ingin menampilkan lagu dangdut. Fanny Jakaria, si jawa metal yang jago sekali main bass, dia selalu berteriak ala anak metal walaupun kami sedang membawakan lagu akustik yang melow nan damai. Terakhir ada Sandy si penabuh drum, si pendiam, galau mania, imut dan rese, satu-satunya perempuan di band kami. Dia tidak segan-segan melemparkan stik drumnya ke wajah kita saat kita mengingatkan dia tentang mantannya. Kami menyatu dalam satu aliran pop alternatif.

Kejadian yang unik terjadi hari ini, sepulang pertunjukan, kami pergi makan di sebuah pedagang kaki lima, karena si Jakaria fobia dengan restoran, dia selalu bergetar apabila masuk ke sebuah restoran. Aneh bin ajaib. Padahal dari segi biaya dia tidak terlalu masalah mau mahal ataupun murah.

Sekitar jam 18.45 perutku tiba-tiba mules, akibat dari sambel terasi super yang lahap aku santap. Sayangnya tidak ada toilet di pinggir jalan, aku harus mencari masjid yang terdekat. Mengingat si mules yang hampir mencapai puncaknya. Aku pun berlari mencari masjid tersebut. Aku tertolong oleh adzan Isya yang akhirnya mengantarkanku ke sebuah Masjid bernama Al-Malik. Aku numpang mengeluarkan isi perut di sana, cukup lama juga tempur di toiletnya, aku kena diare, setengah jam lebih baru selesai. Aku melihat di masjid sudah sepi menandakan solat Isya berjamaah sudah selesai. Setelah dipikir-pikir sudah berapa lama aku tidak solat di masjid, ada apa ini? Tumben sekali. Aku ambil air wudhu, setelah selesai aku melihat seorang anak berumur sekitar 13 tahun masuk ke masjid, berkaki satu. Dia melompat-lompat dan ekspresi yang pucat.

“Hei bro, ada apa? Mukanya pucat sekali.” Tanyaku, aku memiliki kebiasaan memanggil orang dengan sebutan ‘bro’ apabila tidak tahu namanya.
“Ya, Kak. Aku tidak menyangka masjidnya lumayan jauh, aku lari karena takut ketinggalan solat berjamaah.”

Aku tersentak kaget, sampai segitunya kah dia ingin solat berjamaah? Akhirnya kami berdua solat berjamaah. Nama anak itu adalah Raihan, dia mengalami kejadian yang mengerikan sewaktu dia berumur tiga tahun. Saat itu dia mengalami kecelakaan saat hendak berlibur, kedua orang tuanya meninggal dan dia terpaksa harus kehilangan kakinya. Dia hidup bersama kakek dan neneknya, dia mengalami terauma hebat, cobaan tidak selesai di sana, setelah dua tahun berikutnya neneknya menderita sakit parah dan dia harus kehilangan neneknya. Terakhir seminggu yang lalu dia baru saja kehilangan kakeknya, dan kabarnya dia baru pindah ke rumah saudaranya sore tadi. Kebetulan rumah kami searah, aku memutuskan untuk mengenalkan Raihan dengan teman-teman band. Setibanya di tempat makan pinggir jalan, aku mengajaknya untuk duduk dan ngobrol sejenak dan mengenalkan diri.

“Kakak Sandy, sudah lamakah kakak bermain drum? Apa kakak selalu memakai baju seperti itu?” Tanyanya sambil menunjuk baju Sandy yang memang bisa dibilang agak ketat.

“Eh, hmm, kira-kira sudah dua tahun aku bergabung dengan band ini, untuk drumnya kakak sudah belajar dari umur 10 tahun. Untuk baju kakak. Ehmm, sepertinya model bajuku seperti ini semua.” Jawab Sandy dengan sedikit gugup.
“Kakak masih punya ayah?”
“Masih, Raihan.”
“Taukah Kak, selangkah anak perempuan keluar rumah tanpa menutup aurat, selangkah pula ayahnya menuju ke neraka.” Mendengarnya kami semua terdiam.
“Kakak-kakak semua, apakah kakak suka musik?”
“Tentu saja, De Raihan... Kami menyukainya, musik itu menyatu dengan hati dan pikiran kami seakan masuk ke dalam dimensi lain, bisa membuat kita menjadi bersemangat.” Jawab Jakaria dengan santainya sambil menikmati kopi hitam ala pinggir jalan.
“Dapatkah kakak membayangkan ketika mungkin orang tua kakak sudah tidak ada, apakah musik tetap dapat menenangkan kakak?”
“Soal itu, belum terpikirkan De.” Jawabnya sambil tertawa nyengir.
“Kak, Jerry, rambutnya dari lahir sudah bule?”
“Eh, uhmm, baru lima minggu kira-kira saat menjelang festival.”
“Apa warna rambut Kakak kurang bagus? Padahal cat warna setauku bisa merusak rambut yang sudah bagus-bagus diberikan sang pencipta.”
“Eh iya juga sih, tapi gimana ya..”
“Raihan mau pamit ya Kak, maaf jadi bawel begini jadinya, karena kakek Raihan selalu mengajarkan untuk saling mengingatkan sesama muslim. Wassalamu ‘alaikum Kak.”
“Wa’alaikumussalam, hati-hati Raihan...” Jawab kami serentak. Lalu kami saling berpandangan.
“Hei, kita solat Isya dulu yuk.” Ajak Jakaria, sambil meletakan gelas bekas kopi. Jerry dan Sandy pun menganggukan kepalanya.