Judul : Hujan dan Sebuah Ujian
Penulis :
Dandelion dan Achmad Aditya Avery
Kesal, kiriman luka dari awan penuh asa
Paket sampai tak punya rasa
Aku gagal paham atas apa yang terjadi
Atas terlihatnya reruntuhan hati
Kita tidak akan bicara banyak
Tentang mengapa rasa ini terkoyak
Dan ketika aku harus memutuskan bersama
Seolah menyatukan bumi dan matahari, habis tak
tersisa
Rindu, rasa yang patut aku sesali
Terus berbekas dalam memori
Aku mengutuk rasa bernama rindu
Tertelan pahit namun semanis madu
Dan kutahu sekali lagi
Atas manisnya kutukan yang bernama rindu
Ingin rasa memotong pun memasak, mati
Agar tiada mengganggu
Tapi apa?
Nyatanya aku bersikap seolah biasa
Menahan sakit goresan pisau menusuk tak kasat mata
Bedebah itu rasa
Yang katanya menguatkan
Bedebah itu rasa
Yang nyatanya menghancurkan
Beragam umpatan aku lontarkan setiap detik yang kian
menyiksa
Teriakan sudah tak terasa
Rindu tetaplah rindu
Hanya bertambah sakit yang kian pilu
Aku percaya, sebelum ini kita menyimpan banyak nama
Setelah ini kita sedang memilih atau baiknya
membuang mereka
Cinta-cinta yang menyebalkan
Yang pernah mampir demi sebuah alasan
Atau hanya aku yang menyimpannya?
Sedang kau hanya sekilas menyapaku
Atau hanya aku yang tengah kepayahan memilih atau
meninggalkan?
Sedang kau tak peduli dengan berbagai alasan
Tentang meninggalkan
Seperti video call yang dibatalkan
Awan hitam yang diabaikan
Oleh pemuda rusak yang menangis di tengah hujan
Aku bermimpi menjadi penari
Menceritakan berbagai kisah lewat bahasa tubuh
dengan alunan musik
Menari menceritakan dongeng lawas sarat makna
Pun tentang kejamnya hidup yang tak kunjung berhenti
Menari... meski ribuan kali kenyataan menampar
Menari... meski cibiran menjadi bayaran
Menari... meski aku akan berakhir terkapar
Menari.
Aku ingin menari.
Lagi... seperti dulu.
Aku ingin melukis
Meski dengan tinta dari ampas kopi yang terkikis
Selama yang kutahu itu tidak najis
Kugunakan untuk melukis, tangis
Melukis, meski mereka menolak mimpi ini sehalus
kapas
Melukis, meski depresi menjadi teman yang culas
Melukis, meski aku akan berakhir nahas
Melukis
Aku ingin melukis
Seperti janji tanpa manis
Roti canai dengan telur serta aroma saus kari di
suatu sore
Sebagai pembuka percakapan mimpiku setelah semuanya
berakhir
Aku mengabaikan akan sakit perut karena diare
Hanya fokus bagaimana aku melihatmu berpikir
"Dik, sepulang nanti kita masih berteman
kan?"
Kita mengadu tentang apa yang terjadi
Peduli entah hari lalu pun hari ini
Aku menghadap perpisahan
Memalingkan wajah, mengeluhkan
Si posesif malam yang usil membaca petang
Menceritakan tentangnya kepada pagi
Lalu kembali muak di siang hari
Hingga kabar kembali pada petang, lalu dibaca malam
lagi
Pertanyaan yang menggantung
Tak pernah tersentuh jawaban meski telah menahun
Yang aku tahu mimpiku masih sama
Singa udara siap membawaku menjauh darimu
Pun dari tempat kita berpijak
Aku tahu, diam adalah hal tabu bagimu
Tapi kini kau kehilangan beragam kalimat bijak
Hanya karena menunggu jawabanku
Hujan dan sebuah ujian
Dinginnya sebuah kehangatan
Yang pergi begitu saja bersama gemuruh malam
Demi sebuah harap yang nyaris terpejam
(Ruang Chat Whatsapp, 28 Oktober 2018)