Rabu, 06 September 2017

Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Impian dan Google Map

Kamis, 7 September 2017
Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Impian dan Google Maps


Tentang Sebuah Batang yang Bercabang, foto oleh Achmad Aditya Avery


Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

 

Itu apa Dit, kok ada Google Maps segala?

Iya Google Maps, aplikasi yang sangat membantu seorang fakir arah termasuk diri ini. Seriusan, aku mungkin tidak akan pergi sendirian naik motor jika tidak ada aplikasi ini. Banyak jenisnya, ada juga yang lebih nyaman menggunakan Waze, dan aplikasi penunjuk arah lainnya. Tidak apa-apa, tidak usah dijadikan Civil War lagi, setelah peperangan antara pendukung Chitoge dan Onodera, atau soal bubur ayam diaduk atau tidak, golongan maniak sambal dan yang tidak, golongan karyawan dan pengusaha, dan lain sebagainya. Sudahlah, akhiri saja. Berdamailah, kita adalah satu spesies, yaitu manusia.

 

Kembali lagi pada topik, kali ini aku ingin membahas tentang impian dan si aplikasi penunjuk arah ini, apa pun yang kalian gunakan terserah. Aku menggunakan Google Maps dalam hal ini, karena RAM tidak kuat menginstal lebih dari satu aplikasi penunjuk arah, smartphone-ku ini tipe yang setia, tidak ingin mendua, apalagi mentiga. Abaikan.

 

Lalu, apa kaitannya si Google Maps ini dengan impian?

Aku mendapatkan ide menulis ini di tengah perjalanan menuju resepsi pernikahan salah satu junior pun teman seperjuangan di organisasi mahasiswa, hari Minggu, tanggal 3 September 2017. Selamat menempuh hidup baru untuk kedua mempelai, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Aamiin.

 

Jadi, aku memutuskan untuk mengendarai motor, karena mantap sekali jika harus ke kampus di Jakarta, sementara acaranya di Tangerang, dan kebetulan rumahku juga di daerah Tangerang. Seingatku estimasi perjalanan sekitar satu jam kurang sekian menit, tapi tetap saja estimasi hanyalah estimasi, belum ditambah macet dan lambatnya diri ketika mengendarai motor.

 

Pikiran ini memang kadang suka nakal entah kenapa, setiap ingin menulis selalu saja ide pergi entah ke mana, Hawai mungkin, atau Meikarta, atau survei reklamasi di planet Saturnus. Entahlah. Namun, giliran waktu tidur, badan drop, saat di toilet, atau ketika di perjalanan, si pikiran ini kembali lagi ke kediamannya. Memasak ide-ide aneh yang membuat mata terpejam tapi nyawa bergentayangan di atas kasur, pun ketika mata fokus pada jalanan, si pikiran ini seolah menari di hadapan. Beruntung tidak ikut menari di jalan, motornya.

 

Google Maps, saat kudengar suara wanita imut tanpa bentuk, yang bawel luar biasa, yang di setiap putaran selalu saja menyuruhku memutar balik, lalu aku mengabaikannya dan si doi ini menyuruhku kembali berbelok entah ke mana, tapi aku tetap memilih lurus. Kepala batu.

 

Itulah poin tidak pentingnya. Aku berpikir, lalu mengaitkannya dengan proses dalam mencapai cita-cita, impian, keinginan, apa pun namanya dengan saran arah yang diberikan si wanita tak berbentuk dari Google Maps ini. Ya, entahlah kalau di aplikasi lain, mungkin suara bapak-bapak atau anak kecil, asal bukan suara kucing, bebas saja.

 

Menurutku, ada beberapa jenis manusia dalam menyikapi perjalanan meraih impiannya. Pertama-tama mari kita anggap tujuan atau impian kita adalah titik lokasi yang kita ingin tuju di peta Google Maps. Lalu saran dari si imut tak berwujud adalah saran, rujukan, pendapat, ajakan, bahkan paksaan dari orang-orang terdekat maupun yang ada di sekitar kita, yang memengaruhi keputusan kita dalam mencapai impian. Sederhana bukan?

 

Tipe Pertama: Orang yang Mengikuti Sepenuhnya Arahan Miss Google Maps

Dia adalah yang penuh pertimbangan dalam menjalankan hidupnya. Bisa saja dia memiliki impian yang ingin dicapai, tapi dia percaya kepada orang yang lebih dahulu berkecimpung di dalamnya, atau mungkin keluarga pun teman dekatnya. Ketika dia memulai melangkah, dia akan mendengarkan pun mengikuti beragam saran yang diberikan.

 

Dia yang sepertinya tidak selamanya salah, dalam arah yang ditunjukkan si Miss Google Maps, bisa saja itu adalah jalan tercepat menuju tujuan, tapi terkadang juga si Miss Google Maps ini hanya membawa kita berputar-putar apalagi jika kita tidak tahu medannya. Jadi kesimpulannya, saran yang diberikan orang-orang sekitar bisa jadi itu adalah jalan terbaik dan tercepat, tapi bisa juga jalan tersebut hanya membuat kita semakin bingung dalam menentukan keputusan ke depannya. Pengalaman demi pengalaman akan membuatmu terbiasa memilih mana saran yang baik buat hidupmu, mana saran yang sebaiknya cukup untuk didengar saja.

 

Tipe Kedua: Orang yang Tidak Mengikuti Saran Arahan dari Miss Google Maps

Dia adalah si petualang liar, penguasa medan. Dia mungkin sudah mengalami beragam pengalaman, uji coba, pun berulang kali tersesat tak tahu jalan pulang. Dia bisa saja yang dari awal sudah menentukan pilihan hidupnya ingin ke mana, untuk itu dia selalu mencoba cara apa pun yang berhubungan dengan impiannya. Tanpa peduli orang di sekitar ingin berkata apa. Kemungkinan sukses pun gagal selalu saja ada, tapi kegigihannya untuk mencapai impian, membuatnya kebal akan gagal. Seiring banyaknya perjalanan dan pengalaman, dia tidak ragu lagi untuk melangkah. Tanpa melihat peta, dia tahu ke mana membawa diri untuk menggapai impiannya. Kepercayaan dari orang sekitar, apalagi keluarga, bisa saja berperan penting di dalamnya.

 

Tipe Ketiga: Orang yang Mengikuti Sebagian Arahan dari Miss Google Maps

Dia yang tidak menguasai medan meski tujuannya berada dekat di sekitarnya. Dia yang memiliki impian tapi tidak tahu apa yang terjadi ke depannya. Dia mengabaikan saran dari orang-orang sekitar selama dia yakin akan jalannya. Seperti yang kubilang sebelumnya, Miss Google Maps yang kadang menyuruh memutar balik. Dia yakin jalan lurus pun akan sampai ke tujuan, tanpa peduli putar balik adalah jalan yang tercepat.

 

Dia tidak begitu percaya apa yang dikatakan orang lain, mungkin karena pengalaman pahit, setelah memercayai pendapat orang pun membuatnya tersesat lebih jauh, alhasil dia harus mengulang kembali dari awal. Salah jurusan, atau sebagainya.

 

Dia hanya ingin mendengar pendapat dari seorang yang mereka percaya. Memberi tahu jalan hidupnya kepada orang yang bertentangan jalan adalah sesuatu yang menyiksa, yang tidak paham akan dirinya, apalagi menghina keputusan yang diambilnya. Dia hanya membutuhkan arahan ketika memang tidak tahu lagi harus melakukan apa, tidak tahu lagi langkah selanjutnya, untuk itu mereka membutuhkan seorang pendukung yang percaya akan dirinya. Pemilik impian yang sama akan membantunya untuk memilih maju dan percaya, untuk melanjutkan perjalanan dibanding memutar balik. Miss Google Maps pun tak selamanya menyuruh untuk memutar balik ketika dirasa rute lurus sudah lebih dekat dengan tujuan, dia akan berbalik mendukung pun mengikuti rute yang dipilih tipe ketiga ini.

 

Akhir kata, apa pun jalan yang kita pilih, kita tetap membutuhkan dukungan, apa pun sifatnya, baik itu mendukung dengan memberi saran terbaik, pun dengan membiarkan kita menikmati perjalanan, tentang kepercayaan, dan mengantarkan dengan manis tepat di belakang, apa pun yang terjadi. Perjuangan tentu tidak pernah lepas dari terwujudnya impian kita, bahkan untuk sampai ke lokasi, aku pun harus berjuang paling tidak percaya pada si Miss Google Maps ini, berjuang melihat peta sepanjang perjalanan, memilih dan percaya pada jalan yang diambil, dan yang lebih penting berjuang untuk memulai mengaktifkan Miss Google Maps, lalu berangkat tak peduli ke depannya akan sampai tujuan dengan lancar atau tersesat, pun kita masing-masing punya pilihan jika tersesat. Menelepon rekan atau kembali ke rumah dan meminta maaf tidak bisa hadir.

 

Jika ada kata yang kurang berkenan, aku mohon maaf sebesar-besarnya. Sekian tulisan hari ini, semoga bermanfaat. Terima kasih.

 

Salam,

Achmad Aditya Avery

 

Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Sebuah Kebetulan

Rabu, 6 September 2017
Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Sebuah Kebetulan

Sepasang Tiang, foto oleh Achmad Aditya Avery

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Seperti yang kukatakan pada tulisan sebelumnya di blog ini yaitu menceritakan keseharian dari kehidupan seorang Achmad Aditya Avery, yang tidak penting ini. Oh ya, sebelum berlanjut, aku ingin memberitahu juga, bahwa labels Diary Pemimpi Tanpa Peri, aku ganti menjadi Catatan Pemimpi Tanpa Peri, mohon maaf sekali atas kelabilan ini.

Aku baru saja memikirkannya tadi, sekitar lima menit yang lalu. Tulisanku ke depannya mungkin tidak akan seperti Diary pada umumnya, seperti:

Dear Diary,

Hari ini aku makan bakso sambil lari maraton. Aku senang sekali ketika seorang yang kusuka meminta beberapa sendok bihun, lalu kami pun makan semangkuk berdua sambil berlari. Ah, romantisnya hari ini. Sesampainya di garis finish, kami serempak mulas bersama-sama. Ini pertama kalinya kulihat perempuan yang kusuka, sebegitu berkeringatnya, dengan garang meminta izin pada ketua regu untuk izin ke toilet. Aku menemaninya, tapi tenang kami berada di toilet yang berbeda sesuai jenis kelamin yang ada.

Terima kasih untuk hari ini.
Love you, My Sweety
Achmad Aditya Avery

Tidak, sekali lagi tidak, aku juga tidak berharap makan bakso sembari lari. Berbagi bihun sambil lari, susah. Jangankan semangkuk bakso panas, kopi saja kubawa jalan ke kamar sudah tumpah menghiasi lantai-lantai rumah. Bisa cuci muka dengan kuah bakso jika hal itu sungguh terjadi.

Nah, pikirku aku tidak akan menuliskan seperti itu setiap harinya, pun jika setiap hari, mungkin aku tidak akan bercerita apa yang terjadi di hari tersebut, bisa saja aku menuliskan apa yang terjadi di hari lain yang kebetulan aku mengingatnya di hari ini, lalu menuliskannya. Dan, aku juga tidak akan fokus pada momen pun perasaan di hari bersangkutan. Aku adalah tipe yang memiliki perasaan bak lonjakan saham, atau mungkin seperti cuaca siang tadi, yang lima menit hujan, lalu panas, lalu hujan, lalu panas, lalu hujan sambil panas, lalu panas, lalu hujan. Aku ingat bagaimana rasanya mengangkat jemuran, menjemurnya lagi, mengangkatnya lagi berkali-kali. Itulah perasaanku, tidak jelas, dan cepat berganti.

Jadi, dengan pertimbangan yang aneh di atas, aku memutuskan untuk mengganti diary dengan catatan. Ya, hanya catatan, tapi di sana aku bebas menuliskan apapun yang kurasa, yang terpikirkan, yang ada di kepalaku hari itu, meskipun yang tertulis bukan tentangku.

Langsung saja, untuk hari ini aku ingin membicarakan tentang sebuah kebetulan. Bukan sesuatu yang penting memang. Hanya saja, hari ini puisi yang sebenarnya sudah cukup lama kubuat kembali kuterbitkan di situs wattpad (ID: adityaavery). Sekalian promosi ya.

Aku memasukannya di sana, dalam Kumpulan Puisi yang diberi nama Anggap Saja Kucing Liar.

Mengapa sih di Kumpulan Puisi – Anggap Saja Kucing Liar banyak puisi yang lama? Bahkan puisi dari SMA pun dimasukkan.

Sering sih pertanyaan seperti itu menyerang kepala secara pribadi, jawabannya juga sederhana. Kumpulan Puisi tersebut adalah sebuah perjalanan, aku berulang kali meyakini diri akan hal tersebut. Awalnya aku berencana menciptakan puisi yang baru untuk dimasukkan, tapi hati kecil ini bertanya cukup keras.

Ke mana teriakan puisi-puisi lamamu? Dikubur dalam masa lalu, dibiarkan mati, sendiri, kedinginan, bersama kehampaan. Berakhir tanpa pelajaran.
Itulah alasannya.

Berikut puisi yang kumaksud hari ini, berjudul Tak Ada Puisi Hari ini, puisi yang dibuat tertanggal 6 September 2016, dan sekarang tanpa sadar di-posting ulang di tanggal yang sama.

Tahun lalu di tanggal yang sama. Sumber: Facebook (Achmad Aditya Avery)


Tak Ada Puisi Hari Ini

Suasana hati mendung
Udara sedang berkabung
Sesak dada mengingat dan merenung
Kawan, mari tinggalkan dinding ini tanpa bersenandung

Bukan, ini bukanlah isyarat untuk berhenti
Kalian tahu, tak ada alasan untuk lari
Catatan digital ini untuk menghormati
Merenungi bahwa di dunia ini tak ada yang abadi

Maaf kawan, tak ada puisi hari ini
Tidak ada kata yang melayang berlari
Kita duduk, merenungi
Setiap detik yang terlewati

(Tangerang, 6 September 2016)

Tentang sebuah kebetulan kecil, sedikit tentang puisi tersebut. Tahun lalu, puisi itu dibuat setelah mendengar berita duka, dari seorang teman satu organisasi. Aku tidak menyebut nama, maaf. Saat itu yang bisa kulakukan hanya berpuisi, maka kutulislah puisi tersebut. Meski sedikit aneh akan judulnya Tak Ada Puisi Hari Ini, tapi yang kubuat saat itu tidak lain adalah puisi. Saat itu yang kumaksud adalah sebuah ajakan untuk merenung, mengingat kembali bahwa kita ini adalah manusia yang tidak akan lepas dari kematian.

“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami, kamu dikembalikan.” (QS al-‘Ankabut Ayat 57)

Tak ada puisi hari ini, ya tidak ada puisi yang bersifat mesra, cinta-cintaan, galau, apalagi guyon. Tidak ada. Tahun lalu di tanggal yang sama aku bergumam dengan empati tanpa tahu kepada siapa. Alhamdulillah, kudoakan kesedihannya telah berlalu dan berganti bahagia penuh berkah. Insya Allah.

Itulah nikmatnya menulis, pekerjaan penuh rahasia, tanpa perlu memberikan kode. Biarkan orang menghasilkan persepsinya, ataupun bermain dengan pelajaran yang ada di dalamnya. Untuk setiap tulisanku, ambilah yang baik darinya, jika kamu temukan sesuatu yang di luar norma pun tidak sesuai, pun menemukan keburukan, buang saja jauh-jauh yang buruknya.

Tentang sebuah kebetulan, aku yakin banyak kebetulan-kebetulan yang terjadi di sekitar kita. Juga mungkin kebetulan akan dipertemukannya dua insan yang secara kebetulan pun menjadikan kita mengenal dua kubu yang seharusnya saling mengenal.

Tentang sebuah kebetulan. Kita manusia, dengan pikiran yang terbatas selalu menganggapnya sebuah kebetulan, padahal mungkin jauh sebelum kita dilahirkan, Allah sudah menuliskannya, semua hal yang kita anggap kebetulan tersebut.

Tentang sebuah kebetulan, jangan lagi risau engkau wahai insan muda. Soal jodoh pun rezeki. Kebanyakan kita risau akan dua hal tersebut. Namun, jarang sekali risau akan mati. Persiapkan, sebagaimana mati yang perlu disiapkan. Rezeki pun jodoh yang kita patut lakukan adalah mempersiapkan pun berdoa, insya Allah yang terbaik akan engkau dapatkan. Aku pun masih mencoba membuktikannya.

Tentang sebuah kebetulan yang ternyata bukanlah kebetulan.

Sekian, terima kasih.

Salam

Achmad Aditya Avery

Senin, 04 September 2017

Catatan Pemimpi Tanpa Peri - Tentang Sebuah Nama

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Mari biasakan memulai sesuatu dengan salam mulai saat ini. Aku ingin memberitahukan sesuatu yang tidak begitu penting, yaitu baru saja aku merombak kembali seluruh nama media sosial, dari dityavery menjadi adityaavery, tidak penting bukan?

Alasannya sederhana, ini sudah mengganggu pikiranku lebih dari seminggu atau dua minggu mungkin lamanya. Maaf, lupa.

Tidak hanya itu, alasan utamanya adalah, aku ingin menggunakan nama indah yang diberikan Papa, selain di batu nisanku kelak, aku ingin menyematkannya di buku-buku yang kutuliskan (insya Allah). Nama pemberian Papa, Achmad Aditya Avery, ingin sekali kugunakan seutuhnya tanpa dipotong sana sini, meskipun alasan memberi nama 'Avery' adalah sebuah kekeliruan kecil, ucap Papa. Beliau mengira Avery adalah nama kearab-araban, tapi ternyata nama kebarat-baratan, tidak masalah juga menurutku.

Aku sempat mempertimbangkan pun sempat juga bersikeras mengenakan nama tersebut. Pertama Dityavery adalah pemberian sederhana seorang teman, pun Helmi (salah satu sahabat terbaik) ini menyarankan untuk tetap mempertahankan nama ini, tapi tetap saja ada yang mengganjal di pikiran ini. Seperti bocah sekali pengepul kata satu ini (tunjuk diri sendiri), untuk itulah permintaan maaf teramat besar dariku untuk kalian, dan juga permintaan maaf untuk diriku sendiri, yang telah labil dalam membuat keputusan sederhana ini.

Baiklah sekaligus mungkin kubahas arti dari nama-nama yang diberikan, sejujurnya aku pun tidak tahu arti yang pasti. Namun, beberapa situs dan referensi berikut mungkin membantu.

Achmad, memiliki arti sama seperti nama Ahmad, yang berarti terpuji, diharapkan orang yang diberi nama ini akan memilki perilaku yang terpuji. (Sumber: http://kbbi.hostnic.id/arti-nama/b.php?mod=view&achmad-Islami%20Muslim-Laki-laki&id=55.html). Alhamdulillah, doa yang terbaik di potongan nama yang pertama, Achmad, yang juga membuatku harus diabsen paling pertama, mengumpulkan tugas paling pertama, dan pulang paling pertama di waktu SD dulu ketika masih mengenakan sistem absen.

Berikutnya, Aditya.
Banyak sekali artinya, aku mengambil salah satunya yaitu nama laki laki sansekerta yang berarti orang yang pandai dan bijaksana (http://kbbi.hostnic.id/arti-nama/b.php?mod=view&Aditya-Sansekerta-Laki-laki&id=71.html). Potongan nama yang kedua pun alhamdulillah, doa yang baik, insya Allah.

Selanjutnya yang terakhir, Avery.
Nah, nama ketiga ini diambil dari bahasa Amerika Inggris, definisinya pemimpin para peri (http://kbbi.hostnic.id/arti-nama/b.php?mod=view&Avery-Amerika%20Inggris-Laki-laki&id=10100.html), agak sedikit melenceng sebenarnya, dan aku pun tidak paham bagaimana menyambungkannya ke dunia nyata. Bisa dibilang arti dari potongan nama yang ketiga ini memiliki genre fantasy, yang melibatkan para peri dan negerinya. Dan lagi, nama ini bersifat unisex, bisa digunakan oleh laki-laki dan perempuan, tapi sepertinya banyak digunakan oleh perempuan. Namun, anggap saja nama itu adalah doa, pemimpin, ya pemimpin insya Allah. Setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin dari dirinya sendiri, lalu keluarga, kota, pun bangsanya.

Baiklah sekian topik yang tidak jelas ini, anggap saja pengenalan sekilas dari labels terbaru yang insya Allah akan menghiasi blog ini, aku memberi labels tersebut, Catatan Pemimpi Tanpa Peri.

Filosofinya sederhana, pertama aku manusia, bukan peri. Mungkin nanti dunia peri itu ditemukan, aku pun akan tetap menganggap diri manusia, karena dilahirkan sebagai manusia. Bicara apa aku ini. Kedua, aku adalah pemimpi amatir yang tidak tahu medan. Makanya aku bermimpi, mimpi, dan mimpi, untuk mengejar sedikit demi sedikit harapan serta doa yang tersemat dalam ketiga potongan nama pemberian Papa.

Pada akhirnya, aku ucapkan terima kasih, semoga labels ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terkhusus para pembaca. Insya Allah, seperti namanya, Catatan, yang akan berisi tentang keseharian kehidupan dari seorang bernama Achmad Aditya Avery ini, tentang perasaan pun pikiran yang sangat tidak pentingnya. Namun, jika kau dapatkan hikmah di dalamnya, ambilah. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Salam hormat,

Achmad Aditya Avery