Rabu, 06 September 2017

Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Sebuah Kebetulan

Rabu, 6 September 2017
Catatan Pemimpi Tanpa Peri – Tentang Sebuah Kebetulan

Sepasang Tiang, foto oleh Achmad Aditya Avery

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Seperti yang kukatakan pada tulisan sebelumnya di blog ini yaitu menceritakan keseharian dari kehidupan seorang Achmad Aditya Avery, yang tidak penting ini. Oh ya, sebelum berlanjut, aku ingin memberitahu juga, bahwa labels Diary Pemimpi Tanpa Peri, aku ganti menjadi Catatan Pemimpi Tanpa Peri, mohon maaf sekali atas kelabilan ini.

Aku baru saja memikirkannya tadi, sekitar lima menit yang lalu. Tulisanku ke depannya mungkin tidak akan seperti Diary pada umumnya, seperti:

Dear Diary,

Hari ini aku makan bakso sambil lari maraton. Aku senang sekali ketika seorang yang kusuka meminta beberapa sendok bihun, lalu kami pun makan semangkuk berdua sambil berlari. Ah, romantisnya hari ini. Sesampainya di garis finish, kami serempak mulas bersama-sama. Ini pertama kalinya kulihat perempuan yang kusuka, sebegitu berkeringatnya, dengan garang meminta izin pada ketua regu untuk izin ke toilet. Aku menemaninya, tapi tenang kami berada di toilet yang berbeda sesuai jenis kelamin yang ada.

Terima kasih untuk hari ini.
Love you, My Sweety
Achmad Aditya Avery

Tidak, sekali lagi tidak, aku juga tidak berharap makan bakso sembari lari. Berbagi bihun sambil lari, susah. Jangankan semangkuk bakso panas, kopi saja kubawa jalan ke kamar sudah tumpah menghiasi lantai-lantai rumah. Bisa cuci muka dengan kuah bakso jika hal itu sungguh terjadi.

Nah, pikirku aku tidak akan menuliskan seperti itu setiap harinya, pun jika setiap hari, mungkin aku tidak akan bercerita apa yang terjadi di hari tersebut, bisa saja aku menuliskan apa yang terjadi di hari lain yang kebetulan aku mengingatnya di hari ini, lalu menuliskannya. Dan, aku juga tidak akan fokus pada momen pun perasaan di hari bersangkutan. Aku adalah tipe yang memiliki perasaan bak lonjakan saham, atau mungkin seperti cuaca siang tadi, yang lima menit hujan, lalu panas, lalu hujan, lalu panas, lalu hujan sambil panas, lalu panas, lalu hujan. Aku ingat bagaimana rasanya mengangkat jemuran, menjemurnya lagi, mengangkatnya lagi berkali-kali. Itulah perasaanku, tidak jelas, dan cepat berganti.

Jadi, dengan pertimbangan yang aneh di atas, aku memutuskan untuk mengganti diary dengan catatan. Ya, hanya catatan, tapi di sana aku bebas menuliskan apapun yang kurasa, yang terpikirkan, yang ada di kepalaku hari itu, meskipun yang tertulis bukan tentangku.

Langsung saja, untuk hari ini aku ingin membicarakan tentang sebuah kebetulan. Bukan sesuatu yang penting memang. Hanya saja, hari ini puisi yang sebenarnya sudah cukup lama kubuat kembali kuterbitkan di situs wattpad (ID: adityaavery). Sekalian promosi ya.

Aku memasukannya di sana, dalam Kumpulan Puisi yang diberi nama Anggap Saja Kucing Liar.

Mengapa sih di Kumpulan Puisi – Anggap Saja Kucing Liar banyak puisi yang lama? Bahkan puisi dari SMA pun dimasukkan.

Sering sih pertanyaan seperti itu menyerang kepala secara pribadi, jawabannya juga sederhana. Kumpulan Puisi tersebut adalah sebuah perjalanan, aku berulang kali meyakini diri akan hal tersebut. Awalnya aku berencana menciptakan puisi yang baru untuk dimasukkan, tapi hati kecil ini bertanya cukup keras.

Ke mana teriakan puisi-puisi lamamu? Dikubur dalam masa lalu, dibiarkan mati, sendiri, kedinginan, bersama kehampaan. Berakhir tanpa pelajaran.
Itulah alasannya.

Berikut puisi yang kumaksud hari ini, berjudul Tak Ada Puisi Hari ini, puisi yang dibuat tertanggal 6 September 2016, dan sekarang tanpa sadar di-posting ulang di tanggal yang sama.

Tahun lalu di tanggal yang sama. Sumber: Facebook (Achmad Aditya Avery)


Tak Ada Puisi Hari Ini

Suasana hati mendung
Udara sedang berkabung
Sesak dada mengingat dan merenung
Kawan, mari tinggalkan dinding ini tanpa bersenandung

Bukan, ini bukanlah isyarat untuk berhenti
Kalian tahu, tak ada alasan untuk lari
Catatan digital ini untuk menghormati
Merenungi bahwa di dunia ini tak ada yang abadi

Maaf kawan, tak ada puisi hari ini
Tidak ada kata yang melayang berlari
Kita duduk, merenungi
Setiap detik yang terlewati

(Tangerang, 6 September 2016)

Tentang sebuah kebetulan kecil, sedikit tentang puisi tersebut. Tahun lalu, puisi itu dibuat setelah mendengar berita duka, dari seorang teman satu organisasi. Aku tidak menyebut nama, maaf. Saat itu yang bisa kulakukan hanya berpuisi, maka kutulislah puisi tersebut. Meski sedikit aneh akan judulnya Tak Ada Puisi Hari Ini, tapi yang kubuat saat itu tidak lain adalah puisi. Saat itu yang kumaksud adalah sebuah ajakan untuk merenung, mengingat kembali bahwa kita ini adalah manusia yang tidak akan lepas dari kematian.

“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami, kamu dikembalikan.” (QS al-‘Ankabut Ayat 57)

Tak ada puisi hari ini, ya tidak ada puisi yang bersifat mesra, cinta-cintaan, galau, apalagi guyon. Tidak ada. Tahun lalu di tanggal yang sama aku bergumam dengan empati tanpa tahu kepada siapa. Alhamdulillah, kudoakan kesedihannya telah berlalu dan berganti bahagia penuh berkah. Insya Allah.

Itulah nikmatnya menulis, pekerjaan penuh rahasia, tanpa perlu memberikan kode. Biarkan orang menghasilkan persepsinya, ataupun bermain dengan pelajaran yang ada di dalamnya. Untuk setiap tulisanku, ambilah yang baik darinya, jika kamu temukan sesuatu yang di luar norma pun tidak sesuai, pun menemukan keburukan, buang saja jauh-jauh yang buruknya.

Tentang sebuah kebetulan, aku yakin banyak kebetulan-kebetulan yang terjadi di sekitar kita. Juga mungkin kebetulan akan dipertemukannya dua insan yang secara kebetulan pun menjadikan kita mengenal dua kubu yang seharusnya saling mengenal.

Tentang sebuah kebetulan. Kita manusia, dengan pikiran yang terbatas selalu menganggapnya sebuah kebetulan, padahal mungkin jauh sebelum kita dilahirkan, Allah sudah menuliskannya, semua hal yang kita anggap kebetulan tersebut.

Tentang sebuah kebetulan, jangan lagi risau engkau wahai insan muda. Soal jodoh pun rezeki. Kebanyakan kita risau akan dua hal tersebut. Namun, jarang sekali risau akan mati. Persiapkan, sebagaimana mati yang perlu disiapkan. Rezeki pun jodoh yang kita patut lakukan adalah mempersiapkan pun berdoa, insya Allah yang terbaik akan engkau dapatkan. Aku pun masih mencoba membuktikannya.

Tentang sebuah kebetulan yang ternyata bukanlah kebetulan.

Sekian, terima kasih.

Salam

Achmad Aditya Avery

Tidak ada komentar:

Posting Komentar