Rabu, 08 Juni 2016

Diary Air Mengalir - Kebimbangan Langkah

Dahulu kala, aku tak pernah paham apa yang membuatku berada di tempat ini. Tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan setiap masa lalu yang pernah dilewati.

Rohis, atau apa pun itu namanya. Tidak pernah terlintas sedikit pun di awal kuliah, bahwa diri ini akan menjadi bagian di dalamnya.

Mulai mengenang, semester 3, ketika setiap mahasiswa baru mulai diberikan kebebasan untuk ikut serta dalam organisasi mahasiswa, sesuai dengan apa yang diinginkannya. Namun, sampai detik ini pun aku tidak punya pendirian yang kuat akan ikut apa. Jangankan itu, untuk ikut organisasi saja rasanya masih terbayang-bayang, biar pun sewaktu latihan kepemimpinan, saat ditanya senior mau ikut organisasi atau tidak, jawabku dengan polosnya, "Iya". Aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya, mungkin saja itu bagian dari doa.

Ditambah selama di SMA, tidak ada organisasi formal yang kuikuti, buta akan pengalaman. Seakan seperti tanaman kecil yang terlantar di pinggir jalan, beruntung tak jauh dari sana terdapat rumah dari seseorang yang rela menyirami dan memberikan pupuk terbaik, hingga pada akhirnya aku dapat tumbuh dengan baik.

Kembali pada semester 3, semester bersejarah dalam kehidupanku, kehidupan dari seorang yang biasa dan sederhana, tapi kucoba tetap menganggap berharga setiap peristiwa yang terjadi, keluarga, serta sahabat. Mereka tidak akan bisa dibayarkan meski pun dengan planet yang penuh berisikan ruby, diamond, sapphire, atau apa pun itu.

Singkat cerita, saat itu ditemukanlah seseorang yang membawa sebuah berita, berita tentang adanya open recruitment dari organisasi mahasiswa yang bernama Sie Kerohanian Islam Ibnu Taimiyyah (SKI-IT) aku lupa berapa lama menghafal nama organisasi tersebut, seringkali di awal lidah ini terpeleset ketika mengatakannya. Dia, orang yang membawakan berita, sebut saja Rizky, memberikan format pendaftaran yang harus kukirim melalui SMS ke nomor yang sudah ditentukan. Saat itulah keraguan dipenuhi rasa takut, atau lebih tepatnya perasaan tidak layak akan diri ini untuk mengikuti organisasi tersebut.

Kuucapkan lafadz bismillah, kukirim SMS itu dan kujauhkan handphone beberapa menit untuk menenangkan diri, kuberdoa, semoga ini adalah pilihan yang tepat. Tujuanku hanyalah untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Hingga beberapa hari kemudian, seseorang mengundangku untuk mengikuti screening. Apa aku akan dimasukkan ke dalam alat semacam scanner seperti yang ada di rumah sakit? Pikirku waktu itu dengan polosnya.

Akhirnya dengan jantung berdegup amat cepat, aku pun datang ke sebuah ruangan di gedung S, lantai 3. Aku menunggu di luar dengan bingung, hingga seseorang senior menyuruhku masuk dengan ramahnya. Ah, aku tidak menyangka, mereka menyuruhku untuk tenang. Tidak seperti yang kubayangkan di setiap mimpi malam hariku. Memang beberapa pertanyaan ada yang menusuk tajam, tapi keramahan mereka membuatku tidak memperdulikan pertanyaan-pertanyaan yang ada. Kesan pertama yang luar biasa, luar biasa gerogi, sampai beberapa senior di dalam ruangan itu membujukku untuk tenang dan santai. Aku mencobanya, ya sungguh aku mencobanya, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, tapi sampai akhir proses screening, kakiku tidak berhenti bergetar.

Berikutnya, selepas screening, aku masih terus memperhatikan secarik kertas bertuliskan barang-barang apa saja yang perlu dibawa untuk acara LDKI (Latihan Dasar Kepemimpinan Islam), semacam proses berikutnya setelah screening. Rasanya seperti, "Woi, baru kenalan, sudah ospek aja?"

Kembali kepala ini dipenuhi pertanyaan, apa benar diri ini layak? Maksiat pun masih sering kulakukan. Namun kepala batu ini tetap memutuskan hadir dalam acara tersebut. Sampailah pada sebuah acara yang tidak terbayangkan, sebuah pemandangan indah, hijau, dan dihiasi ketegangan. Abang senior memberi nasihat sambil menunggu hujan reda di sebuah mushola nan sederhana, "Jangan bertindak konyol. Ini bukan tempat kita, banyaklah berdoa."

Tibalah malam, kami ditempatkan di sebuah rumah kecil, bentuknya mungkin seperti rumah kurcaci atau peri yang ada di film-film fiksi, rumah kecil tersebut masing-masing memiliki dua lantai, satu lantai dihuni oleh satu kelompok yang terdiri sekitar lima orang. Aku ditunjuk menjadi ketua kelompok 1, aku tidak paham pertimbangan mereka.


Inilah kelompok pertama, yang berisi rekan-rekan penerus bangsa. Oh ya, mengapa di gambar ada 6 orang, karena yang satu lagi adalah mentor sementara, ketua SKI-IT kala itu, Bang Randika.

Sebelum pagi cerah seperti yang digambar tersebut muncul, peristiwa malam harinya sebenarnya lebih seru dan mengena di hati. Mari mengenang kembali, materi malam hari yang berakhir pada jam 11, jika tidak salah. Saat itu kami benar-benar dalam keadaan melayang-layang alias mengantuk, mata kami layu seperti tanaman putri malu yang disentuh dengan lembutnya.

Dilanjutkan dengan tidur yang cukup, cukup sebentar. Sekitar jam 2 pagi kami dibangunkan, agenda menegangkan lainnya, memang tak luput untuk acara latihan kepemimpinan seperti ini, ya benar, Jurit Malam!

Teriakan abang-abang senior mengacaukan mimpi kami, kami bangun, berjalan dari rumah kurcaci menuju lapangan, seperti zombie yang baru saja bangkit. Belum saja sempat menyegarkan mata, kami disuruh baris, dan memberikan yel-yel yang seharusnya telah dibuat.

Lalu, apa yang paling membuatku tersentak adalah ketika ketua kelompok disuruh memimpin anggotanya menyiarkan yel-yel kelompok. Sungguh luar biasa, tidak ada secercah konsep untuk yel-yel kelompok ini, kami pernah membahasnya, tapi belum sampai konsep kita melupakannya.

Akhirnya, bak pendekar mabok di malam hari, dengan penuh percaya diri, aku maju ke depan dan berkata pada kelompokku, "Yuk, ikutin gue yak!"

Mereka terlihat bingung, beberapa ada yang ketawa kecil, seakan menantikan hiburan malam yang akan terjadi.

Entah apa yang membuatku joget tidak jelas di depan mereka, urat malu seakan telah lari menggigil, bukan karena dingin tapi karena apa yang kulakukan. Kelompokku tertawa, tak sempat membesar tawanya, senior pun menyuruh kami diam, aku pun dengan setengah sadar masih melihat beberapa anggota tetap nyengir.

Sampailah pada ujian mental, bumbu penyedap yang indah, bagian mengharukan adalah ketika para anggota kelompokku ditanya, "Mengapa mereka memilihku untuk menjadi ketua?" Pertanyaan sebaliknya pun dilontarkan padaku, "Kenapa aku yang menjadi ketua?"

Bumbu hanyalah bumbu, kita nikmati rasanya, lezat dan menyehatkan. Ya pasti ada pelajaran yang diambil dari setiap yang dilakukan senior saat itu. Cuma aku terlalu ngantuk untuk belajar.

Kembalilah kita pada pagi yang cerah, seperti yang ada pada foto di sebelumnya, kami dikenalkan dengan apa yang disebut mentoring, meskipun saat itu kurasa aku belum sadar bahwa saat itu sedang mentoring. Kita hanya diberikan materi ringan, diajak bertafakur alam, mengamati alam sekitar dalam sebuah lingkaran, membaca Al-Qur'an bergantian, sharing, yang kadang diselingi dengan canda, entah mengapa saat-saat ini begitu menyenangkan.

Acara dilanjutkan dengan tracking, mendaki gunung melewati lembah. Eh itu lirik lagu ninja Hatori. Tracking kali ini begitu spesial dengan rompi karet, karena selain kita akan melewati hutan, lumpur, dan segala medan menantang lainnya, kita pun akan melompat ke dalam air dengan ketinggian serta kedalalaman yang beragam.

Aku tidak mengerti, mengapa setiap orang di sini, bukan hanya kelompokku, semua membicarakan tentang, "Apa yang sebenarnya kulakukan semalam? Kerasukan apa ketika membawakan yel-yel sambil bergoyang dengan anehnya!" Hal yang lebih aneh adalah ketika pagi aku benar-benar lupa akan apa yang aku katakan ketika membawakan yel-yel tersebut. Beberapa tertawa bercampur bingung ketika itu.

Berakhirlah tracking yang cukup mendebarkan, diakhiri dengan foto bersama di depan air terjun.


Penutupan acara, diakhiri dengan pensil (pentas seni islam), di bagian ini juga aku kembali mengalami stres berat ketika kelompok kami bahkan belum menentukan akan menampilkan apa selain menampilkan sebuah nasyid dari Hijjaz yang berjudul Rasulullah yang diwajibkan panitia, itu pun dengan jujur aku katakan, sama sekali belum hafal liriknya.

Si kreatif Rizky Ramdhona, akhirnya memutuskan untuk menampilkan musikalisasi puisi, dengan membawakan puisi di pertengahan nasyid tersebut, untuk mengakali keculunanku yang tak hafal liriknya, sebuah nada "Huu hu huu hu" kulantunkan. Tidak ada yang paham kurasa, jika hanya membacanya. Penampilan yang tak kalah kacau dan berantakan dari yel-yel semalam, meledakan tawa di setiap penjuru lapangan. "Agnes Monika! Mirip Agnes Monika nih anak, cuma versi kesurupannya." Puisi yang dibawakan Rizky pun tenggelam karena latar belakang suaranya mencuri tawa dari setiap penonton.

Kurasa sampai inilah yang bisa kukenang dari peristiwa ini, LDKI pun selesai, pertemanan mulai terjalin sejak itu, sampai akhirnya aku pun resmi menjadi anggota SKI-IT, lalu dikenalkanlah dengan mentor pertama bang Yoga. Formasi kelompok lingkaran yang sedikit berbeda dari kelompok di LDKI.

Sekian untuk saat ini, terima kasih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar