Sabtu, 10 Juni 2017

Dityavery - Harum Haru Puisi Sore (Cerpen)

Harum Haru Puisi Sore   
Achmad Aditya Avery (Dityavery)

Duka memancar di wajah manisnya, Nayla, perempuan desa yang baru saja lulus SMA dengan nilai Ujian Nasional tertinggi di kampungnya, desa Rina Sari. Dia baru saja kehilangan dua orang hebat, ridho Allah yang paling mudah dia jangkau hanya dengan berbakti pada keduanya, yang telah membesarkan dirinya, merawatnya, mengajarkan banyak hal sejak kecil hingga kemarin siang, sebelum mobil angkutan umum yang mengantarkan Nayla, ibu, ayah, serta adiknya yang paling kecil, terguling menghindari amukan truk pasir yang datang dari arah berlawanan.

Mereka yang semula berangkat dengan penuh kebahagiaan, pasalnya Nayla mendapat kesempatan untuk kuliah di Universitas Indonesia, salah satu kampus terbaik impian teman-temannya di SMA. Nayla satu-satunya yang lolos mewakili sekolahnya melalui SNMPTN undangan. Rencana awal manusia tak berdaya, yang hanya bisa merencanakan tanpa bisa memastikan, ingin mencari tempat kost sekaligus melihat-lihat calon kampus Nayla, yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu, sampai sekitar empat tahun ke depan harus kandas di perbatasan wilayahnya.

Nayla yang baru saja bangun di unit gawat darurat, salah satu rumah sakit kecil di daerahnya, langsung merasa ada kejanggalan pada kaki kanannya. Selimut yang dikenakan hanya menonjolkan kaki kirinya, dia memastikan kembali dengan menggerakan keduanya, tapi hanya satu saja yang terlihat bergerak. Rasa hanya sampai pada lutut kanan, selebihnya tak dapat ia raba lembutnya kasur yang sedang ditidurinya. Dokter berbadan kurus, berjenggot panjang, bersama dua orang yang dikenal Nayla, tak lain adalah kedua adiknya, Layla yang masih duduk di bangku SMP kelas dua, serta Dala yang masih berumur tiga tahun. Dokter itu berusaha tersenyum menanyakan keadaan Nayla, meski begitu kedua adiknya tak dapat menahan tangis.

Nayla tak bisa berkata apa pun, dia masih fokus pada kakinya. Dokter itu masih terpaku, senyumnya memudar. Seolah memahami apa yang dirasakan Nayla dan kedua adiknya. Nayla menerjemah raut wajah dokter yang berubah drastis itu, dia langsung mengingat semuanya. Nayla menggenggam erat kepala, lalu menutupi wajahnya, seolah menahan bendungan air mata yang mulai retak. Dia memanggil kedua adiknya.

“Sudah, sudah...” Nayla menatap keduanya dengan senyum, lalu memeluknya, tak kuasa menahan, dia pun ikut menangis.

Kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan tersebut, saat kejadian terjadi, Dala berada di pelukan Nayla. Beruntung Dala masih bisa selamat, meski Nayla harus merelakan kaki kanannya patah tertindih badan mobil saat mencoba menyelamatkan diri. Sore itu Nayla dan kedua adiknya menatap kosong ke arah kuburan kedua orang tuanya. Nayla berdiri dengan dibantu sebuah tongkat, memandang langit tanpa awan di atasnya, polos, kosong, dan hampa. Dia masih mereka-reka kehidupannya ke depan akan seperti apa.

Hari berganti, pagi yang kelam, adik-adiknya masih mematung di tempat duduk, ruang makan. Nayla berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi. Dia menyuapi Dala, dengan sedikit candaan pesawat terbangnya.

“Mimi!” Ucap si kecil Dala, isyarat bahwa dirinya menginginkan susu.

Nayla melihat ke lemari dapur tempat kedua orang tuanya biasa menyimpan susu untuk Dala. Namun, tidak dia temukan satu pun. Layla spontan mengingatkan bahwa persediaan susu bulan ini sudah habis, ucap Layla sambil menatap hampa telor mata sapi yang ada di depannya.

“Nanti sore sepulang mengajar ngaji, insya Allah Kakak beli susunya. Oh ya, nanti pulang sekolah jam berapa Layla?” Nayla duduk sambil mengelap bibir Dala, yang dipenuhi bubur.

“Biar Layla saja yang beli, Kak. Kakak langsung pulang saja. Hari ini pulang cepat kok, insya Allah.” Layla berdiri mengambil tas, lalu mencium tangan Kakaknya, mencubit lembut pipi adiknya, “Kakak pergi dulu ya, Dala.” Sambil terenyum lebar.

Nayla mengajar Iqro dan Alquran untuk anak-anak SD, khusus perempuannya, di masjid kampung sebelah, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya. Nayla sudah mengajar sekitar setahun lamanya. Ustazah begitu baik selama ini, memberikan upah yang cukup untuk membantu membiayai sekolahnya. Selama mengajar, Nayla begitu dekat dengan anak-anak di sana. Tidak hanya mengajari mereka membaca Iqro dan Alquran, dia ibarat seorang mentor berhati lembut, yang siap mendengar keluhan murid-muridnya, berkaitan dengan sekolah juga minat mereka. Dia berusaha mendukung semaksimal mungkin juga mengarahkannya ke arah yang baik.

Senin Sore, sekitar jam 16.00, biasanya Nayla sudah duduk menanti di masjid, area khusus akhwat, tepatnya di pojok dekat jendela putih, bersebelahan dengan taman masjid. Begitu jendela dibuka, semerbak harum bunga melati memanjakan indra penciumannya. Namun kini sebaliknya, gerombolan calon bidadari dunia mungil yang justru datang lebih dulu, mereka serentak mengulang apa yang Nayla berikan pada pertemuan sebelumnya. Nayla sudah tidak hadir selama tiga pertemuan, Senin, Rabu, Jumat, bisa dibilang dia tidak hadir selama seminggu.

Nayla datang dengan wajah lelah, dia berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, sambil tangan satunya lagi menggandeng adik kecilnya, yang tak mungkin ia tinggalkan sendirian di rumah. Murid-murid kecilnya sontak berdatangan, mencium tangan Nayla, beberapa dengan polos menanyakan keadaan Nayla. Wajah mereka terlihat sedih, mereka menuntun Nayla untuk dapat duduk di tempat biasa. Nayla mencoba tersenyum dan menahan air mata haru yang mulai nakal.

Emi, muridnya yang paling pendiam, kelas 5 SD, yang suka sekali menulis puisi. Dia mengambil tongkat Nayla, lalu menyimpannya di pojokan. Tanpa basa-basi dia kembali duduk. Nayla pun tersenyum, Emi menunduk tersipu, terlihat garis bibirnya menampakkan senyum balasan. Nayla paham betul, jika dia bilang terima kasih, akan membuat Emi tidak nyaman, apalagi ketika teman-temannya memandangi Emi.

Satu per satu murid-murid mengantri untuk mengaji, tiba giliran Emi, seperti biasa dia selalu saja memilih maju terakhir. Nayla menanyakan kabarnya, dia juga menanyakan persiapannya dalam lomba puisi yang akan dia ikuti. Emi mengangguk sekali, lalu menatap tenang ke arah wajah Nayla.

“Insya Allah, Kak! Agak gugup, harus membaca puisi ini di panggung sekolah.” Ucapnya dengan amat lembut.
“Kamu sudah hafal puisinya? Mau coba membacakannya ke teman-temanmu sebagai latihan?” Nayla mulai mengambil tongkat di sebelah kirinya, lalu menepak lembut pundak Emi dengan tangan kanannya.
“Tapi, Kak? Aku malu.” Emi menarik gamis Nayla, Emi bergetar hebat.
“Sudah tenang saja, kita akan mendengarkannya sampai selesai, insya Allah.” Nayla mencoba meyakinkan.

Nayla menuntun Emi perlahan. Emi berdiri tepat di sebelah kiri Nayla. Dala terlihat senang, dia menggoyangkan tangan ke atas dan ke bawah dengan lincahnya. Emi pada dasarnya cerdas dan rajin, dia yang lebih dahulu menyelesaikan Iqro dibanding teman-temannya yang lain. Hanya saja orang tuanya terlalu sibuk.

Pertama kali Nayla bertemu Emi, Emi diantarkan oleh ibunya. Tak sampai menit berlalu, ibunya pergi tanpa meninggalkan sepatah kata untuk sekadar menenangkan anaknya yang terlihat masih kebingungan. Emi duduk dengan tatapan hampa mengarah ke lantai-lantai masjid, seolah-olah sembilan belas anak perempuan seusianya ibarat pohon yang menjulang tinggi dengan keceriaan mereka, hingga sulit bagi Emi untuk melihatnya. Saat itulah, Nayla merasakan bagaimana pentingnya peran seorang ibu, seraya Nayla menghampiri murid barunya yang tampak cantik dengan gamis magenta.

Emi mulai membacakan puisinya yang berjudul, ‘Letih tak Berujung’ baru mendengar judulnya saja sudah membuat Nayla merinding. Nayla dan murid-murid yang lain mendengarnya dengan saksama, suara mungil nan halus, semerbak harumnya bunga melati pun menambah suasana menjadi lebih khusyuk. Larik demi larik menancap begitu dalam, menggambarkan betapa dia ingin diperhatikan, di sana pun terselip doa berharap keluarganya dapat menatap lembut dirinya seperti saat dia dilahirkan, setetes keringat lelah sang mata mengalir, dia menghayati setiap kata yang tercermin dalam gerak tubuhnya. Usai penampilannya yang memukau, teman-temannya mendekati Emi dan memujinya. Mereka meyakinkan Emi, pasti bisa menghadapi demam panggungnya lalu membawa piala kemenangan.

Baru saja Emi mulai merasa percaya diri, tiba-tiba ibunya datang menghampiri Nayla. Ibunya kesal karena Nayla tidak masuk selama seminggu dan dinilai menelantarkan murid-muridnya.

“Bagaimana bisa anak saya pintar mengaji jika gurunya saja sering tidak hadir, sudah begitu, tadi datang telat pula!” Seolah dia tidak melihat kondisi yang dialami Nayla.
“Maafkan saya, Bu.” Nayla tidak melawan sedikit pun, dia tahu dalam kondisi seperti itu, dia harus tetap menjadi contoh untuk murid-muridnya. Dia harus bersikap tenang, meminta maaf terlebih dahulu, dan bersabar.
“Sudah! Saya mau cari guru yang lain saja, yang lebih hebat, yang lebih disiplin!” Emi dan ibunya bergegas pulang, Nayla duduk seraya menghela napas panjang. Rasanya air mata ingin sekali mewakili senyumnya.

Banyak hal yang mengganggu pikiran Nayla, bayaran sekolah, serta biaya hidup yang semakin mencekik, juga tentang Emi. Dala dan Layla menatap heran dengan penuh kekhawatiran, terutama Layla yang mencoba bertahan dari teguran bagian administrasi berkaitan dengan SPP yang sudah menunggak tiga bulan. Nayla selalu saja menepis tatapan mereka dengan senyuman, lalu segera mengalihkan pikiran mereka. Nayla masih berharap ada satu saja lamaran kerjanya yang diterima.

Jumat sore, sesosok wanita, dia mengenakan kerudung yang cukup panjang, menggandeng tangan seorang anak, yang kini nampak berbinar. Senyuman polos tampak dari wajah keduanya. Anak itu berlari ke arah Nayla. Kerudung magenta masih memeluk kepala dan sebagian tubuh mungilnya. Emi, si gadis pendiam itu datang dengan riang.

“Kakak! Aku menang! Aku menang!” Teriak Emi, sambil memeluk erat Nayla.
 “Selamat ya, Emi! Kamu hebat!” Bisik Nayla, seraya membalas pelukan Emi.

Ibunya Emi, dengan sigap ikut memeluk Nayla. Air matanya mengalir membasahi kerudung Nayla. Isak menghiasi telinga, kata maaf berulang kali menguap ke udara.

“Terima kasih, Nayla! Telah mengenalkan Emi, yang saya sendiri sebagai ibu tidak dapat mengenalinya lebih dalam.” Nayla masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu tahu, sejak kecil, saya melihat Emi adalah anak yang cerdas, dia bisa berhitung dengan cepat. Saya hanya melihat itu, sehingga Emi dijauhkan dari masa bermainnya, dan menyuruhnya untuk belajar, belajar, dan belajar! Saya ingin dia menjadi seperti saya. Namun, saya tidak menyadari, jika dia mengalami tekanan sedalam itu. Saya tidak mengerti mengapa Emi bisa melewatinya, dan mengungkapkannya dengan puisi.” Emi menghampiri ibunya dan memeluknya.

“Senyumannya di panggung itu, hampir saja saya tidak melihatnya karena kesibukan yang saya buat sendiri. Satu hal yang selalu saya hindari ketika dia berulang kali meminta untuk menemaninya membaca puisi, saya tidak meladeninya, karena saya yakin dia begitu lamban dan pemalu, saya tidak pernah berpikir dia akan mengikuti lomba ini, apalagi berpikir untuk memenangkannya.” Ibunya Emi lantas menundukkan kepala, hampir mengenai pangkuan Nayla. Nayla sontak menahannya.

“Ibuku selalu mengajarkan bahwa menjadi pendengar yang baik bukanlah pekerjaan yang sia-sia.” Nayla mulai mengenang kedua orang tuanya, terutama ibunya, air mata dan senyum menghiasi wajah, bak hujan yang turun ketika langit cerah.
“Sekiranya Nayla berkenan untuk mengajar Emi lagi, sepertinya dia menyukai tempat ini.” Ibunya Emi tersenyum, dia mantap menatap Emi yang tampak bahagia. Nayla mengangguk dengan senyum, “Tentu saja!” jawabnya.
“Oh iya, satu lagi! Kamu mau kerja di tempat kami, sebagai penjaga toko?” Nayla tertegun, ibu Emi menepuk pundaknya, “Jangan khawatir, kamu tetap bisa mengajar ngaji dan tetap jadi gurunya Emi. Hanya sampai jam 3 saja.” Lanjutnya.
“Eh, bu...bukan begitu, Bu. I...ini se...seriusan, Bu?” Nayla gagap bukan kepalang. Ibunya Emi mengangguk riang.
“Kamu tahu, saya ingin sesekali memasak makan siang untuk Emi dan keluarga, kemampuan koki saya bisa hilang jika tidak dilatih loh.” Lanjut ibunya Emi. Sontak Nayla pun mencoba berdiri, untuk memeluk ibu Emi. Ibu Emi sontak menahannya, dia justru yang duduk dan memeluk Nayla. Nayla menangis sejadi-jadinya.

Tangerang, 6 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar