Minggu, 04 Juni 2017

Dityavery - Rahasia Berbalut Cinta Kala Senja

Rahasia Berbalut Cinta Kala Senja
(Dityavery)

Jika saja manusia bisa memilih, aku tetap tidak ingin melakukannya.

Senja, aku bicara sendiri pada suatu yang tidak dapat berbicara. Inikah kebodohan?

Cerita pendek yang kubuat tidak lagi terbang menuju kepala mereka, aku lelah, aku terpuruk. Mungkin ini titik terlemah dari kehidupanku, setelah sekian lama lupa akan kesukaran hidup sebelum aku bertemu dengannya, Khanza. Dia istriku, dia amat mencintaiku, meski secara sederhana, meski hanya sebatas kopi di hari lelah, meski hanya sebatas senyum pelipur lara, dia memberikan jiwa raganya untukku, menghapus setiap sedih akan sulitnya kehidupan. Aku bahagia bersamanya.

Senja ini, aku menatap bisu sepucuk surat dari rumah sakit, sembari mengulang rekaman di kepala, suara dokter yang menjelaskan tentang penyakit istriku. Langit jingga seolah diam menanti teriakan hati. Tentang kanker otak stadium akhir, tentang usianya yang hanya menghitung hari, tentang senyumnya yang masih saja terbentang, bak dia akan hidup selamanya. Aku menginginkan senyumnya, semerbak selalu menerangi hari, mengingat senyumnya akan pudar bersama tanah. Aku ingin percaya keajaiban, seandainya saja penyakitnya bisa menghilang, tapi berandai bukanlah suatu yang baik.

Dua puluh tahun sudah kami bersama. Begitu polosnya dia, meminta untuk mengunjung kota kelahirannya, Pandeglang, Banten. Tidak pernah kuberitahu akan asumsi sisa umurnya, aku ingin menjaga senyumnya hingga detik terakhir. Jika dikenang kembali, sudah hampir lima tahun kami tidak pernah berwisata di sana, paling hanya sekadar mengunjungi rumah orang tuanya ketika lebaran.

“Sayang, bagaimana jika kita mengunjungi tempat pertama kita bertemu?” tanyanya dengan lembut.
“Tanjung Lesung?” jawabku.
“Bukan, Paris! Iya lah, Sayang.” Khanza tersenyum sembari menyiapkan bekal untuk anak kedua yang sudah di bangku kelas 2 SMP.
“Bagaimana kamu mengingatnya?”
“Bagaimana aku bisa lupa?”

Aku menyiapkan liburan untuk berdua, sementara sang adik biar kakak yang menjaganya. Mereka belum mengetahuinya, tentu aku pun tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka. Saat ini, senyuman mereka pun masih semerbak menghiasi rumah, mungkin saja musim hujan akan datang dengan perkasa.

Sehari berlalu, aku tak ingin lama menunda. Tiga jam sudah perjalanan, senja menyapa kami berdua. Pantai anggun penuh pesona, dengan deru angin sebagai latarnya. Kami membuka lembaran usang, yang mungkin beberapa hari lagi hanya aku yang dapat membukanya. Kenangan, tentang awal pertemuan. Saat aku melambaikan tangan dengan kikuknya, menyambut seorang wanita cantik, di balik kerudung manisnya. Dia bersama orang tuanya, saat itu hampir dua jam, aku berjuang, mengulur waktu makan, lalu melamarnya di depan kedua orang tuanya.

Saat itu senja, dia menerimaku.

Dia tertawa geli mendengar ocehanku, dengan air mata serta senyum, dia memelukku. Hangatnya mengantar matahari pada peristirahatan sementara. Malam pun datang, kami mencari hidangan di pinggiran jalan, sederhana, seperti kala dulu. Pecel lele yang menemani proses lamaran. Kesekian kalinya aku mengambil nasi yang tersesat pada pipi lembutnya, begitu pun sebaliknya, dia mengusap keringat di keningku, tanpa pernah puas menikmati pedasnya sambal yang saat ini kulahap.

Keesokan harinya, kami berdua beranjak menuju tempat yang sangat bersejarah, mata air Citaman, Pandeglang, Banten. Tempat berendam, yang katanya teramat tua, entah betapa banyak kisah di dalamnya. Salah satunya, sejarah tentang perjalanan cinta kami berdua. Kenangan ketika anak pertama beranjak memasuki tahun pertamanya di dunia. Khanza dengan girang menyambut ajakanku untuk berlibur, merayakan perjuangan tahun pertama menjadi seorang ibu. Aku tahu itu adalah masa sulit baginya, dia akan menghadapi tahun-tahun berikutnya, menjadi ibu yang baik.

Dia mengingatnya, saat menaburkan percikan air dingin alami, pada anak pertama kami, Qariru Annisa. Qariru berarti yang sangat sejuk atau menyenangkan, Annisa berarti gadis, tentu harapan kami adalah dia akan menjadi gadis yang sejuk lagi menyenangkan. Untuk itulah, Khanza dengan polosnya, ingin agar dengan kesejukan air ini dapat menambah sejuk anak kami, dan lagi hari itu Qariru menangis karena teriknya matahari sepanjang perjalanan. Sejuknya air, membuatnya kembali tersenyum sambil memeluk erat ibunya. Kini Qariru telah menjadi gadis remaja yang manis dan ceria, menyejukan bukan karena parasnya, tapi sifatnya. Baik dan ramah.

Kembali pada senja, di penginapan sederhana Pantai Anyer. Khanza menghampiriku yang sedang menatap datar langit jingga. Harum kopi hitum yang bersandar pada telapak tangan putih nan halusnya, semerbak menyadarkan mimpi sore hariku. Dia bersandar di bahuku, kerudung jingga, warna yang sama dengan langit sore ini. Untaian kata yang keluar dari bibirnya dengan tenang, begitu membuatku retak tanpa asa.

“Sayang, terima kasih atas waktunya. Seharusnya, kamu tidak perlu menyembunyikan semuanya. Insya Allah, aku akan tetap bahagia, meski kutahu umurku mungkin hanya tinggal menghitung detik.” Terdengar isak kecil, di balik indah senyumannya. Tak ada yang dapat aku katakan saat itu, aku meminta maaf karena keputusanku untuk merahasiakan semuanya.
“Seharusnya aku yang minta maaf, Sayang. Aku pun merahasiakannya, karena tidak mau merusak niatmu untuk melupakan penyakitku,” ucapnya sembari air mata membasahi pipinya.
“Tapi, Sayang...”
“Sudah, sudah, duh air mata ini nakal, keluar seenaknya.” Khanza tertawa kecil, “Sayang, meskipun ini adalah senja terakhir bagiku, kopi ini adalah kopi yang terakhir kusajikan untukmu, senyuman ini adalah senyuman terakhir yang kuharap dapat menyejukanmu, air mata ini adalah air mata terakhir yang kuhadirkan sebagai bentuk ketulusanku mencintaimu. Aku titipkan anak-anak kita, untuk kamu jaga, dan didik menjadi anak yang baik, taat beribadah, dan selalu berdoa kepada Allah,” lanjutnya.

Sembari mata ini terpejam tak sanggup melihat wajahnya, “Insya Allah aku akan mendidik mereka, Khanza.”
“Alhamdulillah, bila itu yang kudengar.” Lantunan kalimat tahlil, La Ilaha Illallah, terdengar. Dekapan yang semula kuat, semakin lemah, dan ketika kuberanikan melihatnya, Khanza tak lagi dapat berkata, senyuman yang tersisa, seolah menjadi salam perpisahan ketika diri memberanikan diri melihatnya untuk terakhir kali. Tangisan tak terbendung, menghiasi senja yang dengan seketika beranjak menjadi malam.

Aku pulang, bersama mobil jenazah, keesokan harinya. Semakin buram, membayangkan wajah anak-anak kelak ketika melihat ibunya telah tak bernyawa. Tak lagi kupikirkan mobil yang masih terparkir di sekitar rumah sakit. Kulihat wajah bingung masyarakat ketika mobil jenazah ini memasuki pekarangan rumah.

Betapa terkejutnya diri, Qariru Annisa serta sang adik, Leila, menyapa kami dengan riang, “Bagaimana liburannya, Ayah? Apakah Ibu menikmatinya?” ucap Qariru.

“Ibumu... sudah...” Aku tak dapat menahan air mata, tak dapat terucap. Qariru menepuk pundakku, Leila pun memelukku.
“Kami sudah tahu, semuanya. Kami sudah lebih dahulu menangis, ibu telah memberitahu semuanya, sebelum ayah berencana merahasiakannya.” Qariru menangis, dia tak dapat menahannya, aku paham.
“Maafkan, Ayah...”
“Kami tahu, hal ini pasti sulit untuk Ayah, yang selalu bersama Ibu, sebelum kami dilahirkan. Kami saja tak kuasa menahan tangis, apalagi Ayah,” Leila, si kecil berhati baja, mencoba berteriak lembut berbalut tangis.

Pemakaman, kami bertemu senja untuk ke sekian kali. Tidurlah dengan tenang di sana, perjuanganmu tak pernah berakhir begitu saja. Aku akan berusaha melanjutkannya, kisah kita, Khanza.

(Tangerang, 5 Desember 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar