Senin, 14 Agustus 2017

Diary Aku dari Aku - Senin, 14 Agustus 2017



Tidak terasa sudah sekitar 3 tahun yang lalu. Tahun 2014, pertama kalinya merasakan bagaimana sebuah puisi yang dibuat dengan harap-harap cemas pun masuk dibukukan bersama dengan ratusan puisi dari penulis hebat lainnya.

Mengherankan juga, ketika mengirimkan dua puisi, satu berbahasa Indonesia dan satu berbahasa Inggris, yang jujur saja modal nekat. Bagaimana tidak, dari SD, SMP, SMA rasanya sulit berdamai pun mendapat nilai memuaskan di pelajaran bahasa Inggris ini. Mendapatkan nilai 65 pun bersyukur sekali. Setidaknya tidak perlu repot remedial.


Kembali lagi, awalnya aku begitu yakin dengan puisi berbahasa Indonesia, waktu itu kuberi judul 'Dandelion', aku pikir puisi tersebut yang masuk ke 150 besar itu. Namun, ternyata puisi yang justru menjadi sarana latihan itulah yang masuk, puisi teraebut berjudul 'Shadow Flower'.

Aku bersyukur, meskipun jauh dari peserta lain yang ada di peringkat atas, puisi mereka sungguh hebat. Aku sungguh berada jauh, jauh, jauh di bawah. Bersyukur pun masih bisa masuk. Alhamdulillah, meskipun dengan catatan ada beberapa grammar yang harus diedit tanpa mengubah makna puisinya, begitu kata salah seorang penyelenggara. Tentu saja, tidak masalah.

Saat buku antologi sampai di tangan, papa dengan polosnya menyambungkan puisi tersebut dengan kegalauan karena seseorang wanita, dia bilang kurang lebih, "Kamu jangan terlalu dalam memikirkan seseorang yang kamu suka, belum tentu dia memikirkan hal yang sama denganmu. Santai saja."

Tidak kusangka, meskipun saat itu aku mengelak. Namun, memang aku memasukan terlalu banyak kegalauan di puisi tersebut dan ternyata pemenang juara bahasa Inggris di masa SMA-nya itu paham apa yang anaknya tulis di sana. Perasaan tidak bisa mengelak bukan? Aku hanya mengangguk malu sembari menikmati deru angin dan danau dengan sandaran pohon kelapa, saat itu di sebuah kolam renang.

Yah, penting tidaknya, puisi tersebut ditulis tak lama setelah sebuah hubungan berakhir. Benar mungkin perkataan beberapa orang, menulis lebih kena kalau sedang galau.

Aku mengerti, tahun 2014, dengan peristiwa itu adalah awal di mana aku mengerti, kemenangan bukanlah sebuah tujuan melainkan sebuah perjalanan.

Tahun berlalu, pijakan pertama itu adalah semangat sekaligus pengingat, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, ketika aku futur menulis, aku tatap lagi puisi tersebut dan aku yakinkan diri, bahwa setidaknya aku pernah menikmati dua tempaan sekaligus: kemenangan pun kekalahan. Jadi aku tegaskan ketika menghadapi kompetisi berikutnya, kekalahan bukanlah suatu yang menakutkan,pun itu evaluasi yang menjanjikan. Kemenangan pun bukan suatu yang patut dibanggakan berlebihan, karena itu hanyalah tiket untuk kita melihat ke atas, memusatkan impian, juga tiket untuk mensyukuri nikmatnya perjalanan.

Sekian.
Terima kasih.

Achmad Aditya Avery

Tidak ada komentar:

Posting Komentar