Senin, 31 Juli 2017

Diary Aku dari Aku - Senin, 31 Juli 2017

Dear Diary

Tentang apa kabar diriku, ini aku, dirimu. 

Wah, kamu sengaja memulainya di hari Senin, tempat pertama kita bertemu. Ah, dahulu mungkin kita tak saling mengenal, bisikan kecil itu tidak kamu dengar meskipun mungkin sesekali ada. Hari Senin, hari di mana aku dilahirkan, tentu bersamamu.

Aku rasa sudah saatnya kita untuk saling mengenal, abaikan mereka yang menganggapmu gila, aku bicara padamu, yang kesal mengeluh terjerembap dalam sepi. Banyak yang kamu punya, meski aku tahu uangmu menipis, tapi kamu masih punya mereka, sahabatmu, mungkin "kekasihmu", orang tuamu, adik-adikmu, mentormu, junior dan seniormu, yang paling penting kamu punya Allah yang selalu ada untukmu. Itu kan yang biasanya kamu 'share' di teman-teman media sosialmu?

Halo, diriku.
Aku adalah satu sisi, yang selalu tertawa, aku adalah si bahagia. Sanguin, kebanyakan mereka menyebutnya, tapi aku tidak peduli. Aku selalu ingin bercanda, bercanda, sampai-sampai mengambil alih mulutmu, melepas kontrol, dan kamu juga yang menanggung sesal atas ulahku. Maafkan ya.

Kamu, adalah bagian dariku. Bicaralah!

Apa yang kamu katakan barusan?
Diriku?
Baiklah, aku tidak peduli sepi. Biarkan aku bicara, jika kamu adalah bagian bahagiaku, kalau begitu aku adalah tempat depresi, frustrasi, cemburu, khawatir, semuanya bersarang. Mengapa aku harus menanggung semuanya sendiri?

Kamu itu, sudah kubilang kita ini satu. Lagipula, aku juga merasakan apa yang kamu rasa, makanya aku ingin berbicara padamu. Bagaimana caranya kita mengatasi masalah ini bersama? Kamu selalu muncul dan mengambil alih tubuh, kamu adalah bagian diri yang cinta ketenangan, Plegmatis, itulah sebutanmu, menurut teori mereka. Aku mengerti, kamu membutuhkan ketenangan, dan akan bekerja dengan baik tanpa pengganggu. Bukan meriam, alarm, apalagi sekadar anjing menggonggong, kamu tidak akan mengindahkan hal tersebut, demi pekerjaam yang kamu suka. Namun hati dan pikiranmu itu, benar-benar deh.

Apa kamu ingin membuatku seolah bicara sendiri di sini?

Ya, mau bagaimana lagi?
Kita sudah bicara sebelumnya, sering sekali bukan. Saat di perjalanan, apalagi di motor, di tempat sepi, terhalang kaca helm, mulut kita tidak berhenti bicara, bersahut-sahutan, pikiranmu tetap berjalan fokus ke depan. Saat aku muncul mengambil alih hari, mulut kita tidak berhenti tersenyum bahkan tertawa kecil, untung tidak ada yang melihatnya. Sebaliknya...

Ketika aku yang mengambil alih hari, aku menghancurkannya.

Santai, diriku. Kamu adalah bagian paling kalem, jika saja tidak ada beban yang mengganggu pikiran sensitif kita, kamu benar-benar pengendara yang bijak, peduli setan truk, motor lain, atau angkutan umum yang memberikan klakson ketika lampu merah. Kamu tetap tenang di sana, melepaskan tangan dari setang motor, menunggu detik lampu merah berubah menjadi hijau, sembari memandang langit, kadang aku tersenyum di sana, bahagia.

Namun ketika kamu terhalang oleh pikiran-pikiran mematikan itu, seperti pekerjaan, khawatir kita memilih jalan yang salah, tentang impian kita yang ditentang habis-habisan, bahkan penyesalan kita karena menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk salah jurusan, tentang ketidakberanian kita memberontak lebih awal. Santai-santai, aku tahu kamu bahkan ingin menghantam kepalamu ke pintu kamar hingga hancur bukan?

Kamu mendengar sendiri kan aku di motor tadi?: Tidak perlu kujelaskan.

Iya, itu bahayanya, aku menyarankan kamu untuk menulisnya. Kita sudah terlalu sering berbicara berdua, kadang bersuara, kadang dalam senyap. Aku tahu itu menderita, ketika kita bicara tak ada yang memahaminya, aku tidak paham seolah bahasa yang kita gunakan itu bahasa alien, atau bahasa kucing liar. Tidak apa, dengan menulis pun mungkin tak banyak yang paham tentang masalah kita, tapi setidaknya kamu tahu, kita telah melemparkan percakapan kita untuk dunia. Biarkan semesta yang mendengarkan, ya meskipun hanya melesat di telinga para penduduk bilangan biner, tidak apa 0 dan 1 cukup banyak kan yang tahu, dibanding kita hanya bicara berdua, lalu lenyap terhempas angin malam.

Aku tidak bisa bicara apa pun hari ini, diriku. Seperti ada yang mengganjal di hati dan pikiran.

Ya sudah, meski begitu ada sedikit lega bukan?

Iya sih.

Kita akan melanjutkan percakapan ini, perasaanmu itu pasti akan datang kapan saja, sekarang sudah malam, kalau kita mau melanjutkan novel 'Maukah Kamu Menulis Denganku?' mari kita lakukan sebelum larut, aku ingin kamu solat Subuh besok di masjid. Jangan tidur lagi setelahnya, aku tahu ini sulit, tapi mari kita lakukan bersama.

Baiklah, diriku. Terima kasih.

Yosh, sampai jumpa lagi!

- Dityavery

Tidak ada komentar:

Posting Komentar