Postingan

Wahai Penulis Kafe

Gambar
Wahai Penulis Kafe Wahai penulis kafe, Aku yakin kau banyak duit, untuk duduk berjam-jam di sana Membeli minuman seharga dua puluh ribuan ke atas Atau semiskinnya engkau, lima belas ribu cukup rasanya Segelas espreso, kau dapat ruangan sejuk, meja kecil, dan bangku empuk   Wahai penulis kafe, Rendahkanlah dirimu, jangan pula menganggap penulis lain tidak ada Sejak kapan menulis harus dilakukan di kafe? Jangan membuat penulis toilet marah Atau kau hanya cari sensasi, mungkin kau sedang membuat humor? Sudahlah, sudahi lawakanmu itu   Wahai penulis kafe, Berapa banyak tulisan yang kau hasilkan di kafe? Kasian sekali pelayan di sana, bingung bagaimana cara mengusirmu Apalagi kau hampir menginap di sana sendiri   Mata penulis adalah kamera jeli Sering-seringlah melihat ke luar Catatlah apa yang kau lihat di sana Mungkin kau dapat sesuatu selain kemewahan semu Sesuatu yang ‘tak perlu kau beli Wajah nyata dari negerimu tercinta ...

Penulis Bukan Tukang Ketik

Gambar
Penulis Bukan Tukang Ketik Bung, kalau kau pikir penulis itu tukang ketik Kau akan terus menganggap kami murah Kau pikir ide itu murah? Kau pikir merangkai kata itu mudah? Kau pikir membayangkan alur cerita itu sederhana? Kau pikir memanggil imajinasi itu ‘tak perlu pening? Kau pikir riset itu sama dengan copy paste ?   Mengetik saja sudah sulit, itu saja kau anggap murah Kalau ‘tak bisa menghargai kami, hargai saja karya-karya kami Mereka bebas kau baca, ‘tak perlu kau bayar Jangan menganggap semua yang kami lakukan ini murahan   Jangan pula anggap profesi kami ini tidak ada Kau akan kesulitan membeli buku cerita jika kami tidak ada Kau akan kesulitan mencari buku jika kami tidak ada Toko buku itu hanya menjual pulpen dan alat tulis Sementara yang ditulisnya tidak ada   Mari saling menghargai, Bung Kita sama-sama bekerja Biar gaji kami bercanda, tapi usaha kami nyata Ayo bersulang dengan teh bersama, karena anggur itu haram...

Puisi Tidak Selalu Romantis

Gambar
Puisi Tidak Selalu Romantis Jika kau pikir puisi sebatas romansa murahan, kau salah Jika kau pikir puisi hanya untuk merayu lawan jenis, kau salah Jika kau pikir puisi hanya untuk membuatmu terlihat romantis, kau salah Jika kau pikir pujangga adalah budak-budak cinta, kau salah   Puisi bisa bicara perubahan, yang mungkin akan terjadi puluhan tahun kemudian Puisi bisa menjadi awal pergerakan, di mana korban-korban berserakan Puisi bisa menjadi alasan kau menangis sepanjang malam, sepanjang minggu Puisi bisa menjadi inspirasi bagi para genius, untuk menciptakan sesuatu   Puisi adalah jiwa dari buah pikir Puisi adalah matematika yang sulit dimengerti bagi sebagian manusia Puisi membuatmu berpikir di luar batas yang kau tentukan sendiri Puisi mengajakmu beranjak ketika kau terjebak dalam kubangan kehidupan   Puisi bisa membicarakan cinta, bukan cinta sepasang manusia Puisi bisa mewakili suaramu, mengirimkan rindu Dari orang tua kepada ana...

Aku Hanya Ingin Menyapa

Gambar
Aku Hanya Ingin Menyapa Jika aku menghubungimu di suatu waktu tanpa babibu Itu bukan karena aku ingin pinjam uangmu Aku hanya ingin menyapa, asal tahu kabarmu Itu saja, jangan alergi denganku, aku ‘tak seperti itu   Jika aku menyapamu di suatu hari di mana kau sibuk Itu bukan karena aku ingin mengganggu Aku hanya ingin menyapa, tidak perlu kau balas saat itu Sebisamu saja, kapan kau ada waktu   Jika aku membalas cerita yang kau bagikan Itu bukan karena aku ingin mencari perhatian Aku hanya ingin menyapa, sudah lama kita tidak bersua Barang satu dua lawakan pelipur lara, kembali menyatukan kita   Jika aku cepat membalas pesanmu Itu bukan karena aku menganggur Aku hanya tidak ingin membuatmu menunggu Aku tidak sepenting itu untuk kau tunggu   Jika aku ingin bertemu denganmu Itu bukan berarti aku akan memanfaatkanmu Aku hanya ingin menyapa, memastikan bahagia ada di wajahmu Jika kau sedang lara, biar segera aku menghibur...

Kau Pria, Berdirilah

Gambar
Kau Pria, Berdirilah Kering sudah dompetmu, ‘tak perlu kau pikirkan Berdirilah, seolah tiada masalah yang menimpamu Peganglah kepala, satu-satunya sinyal kau sedang pening habis-habisan Lalu berdirilah lagi, memandang langit, sinyal kalau mimpi itu masih ada   Bolong sudah bajumu di beberapa bagian, ‘tak perlu kau beli lagi Berdirilah, pakailah baju yang diberikan angin sepoi ini Biar tidak lagi tikus itu menggerogoti pakaian sembarangan Biarkan mereka makan angin, sampai giginya kebingungan   Pusing sudah kepalamu di beberapa bagian, ‘tak perlu kau risaukan Paksa dia berpuisi, membuat cerita, atau membuat humor Meskipun jelas tidak ada yang lucu sama sekali Buatlah kepalamu sibuk, sampai layak kau untuk berbaring   Hancur sudah tombol kibormu, ‘tak perlu kau khawatir Jari-jarimu sudah paham arah, tanpa huruf pun mereka tahu Di mana huruf A, di mana huruf Z Sampaikan saja apa yang mau kau tulis, paling kepalamu yang pusing (Jakart...

Bolehkah Aku Menahan Tanganku yang Gemetar?

Gambar
Bolehkah Aku Menahan Tanganku yang Gemetar? Bolehkah aku menahan tanganku yang gemetar? Untuk menunjukkan bahwa aku tidak sedang ketakutan Menahan segala tekanan yang menimpa, begitu berat, begitu tajam Aku memang hanya menulis, tapi kenapa begitu perih?   Bolehkah aku menahan tanganku yang gemetar? Mungkin jari-jemariku kebingungan terlalu lama mengetik Mungkin juga mereka terlalu banyak salah dalam memilih huruf Huruf-huruf yang telah sobek, bahkan tidak ada hurufnya   Bolehkah aku menahan tanganku yang gemetar? Mengatur ulang napasku yang terburu-buru Mengatur ulang napasku untuk selaras dengan jemariku Untuk mencapai tenang yang kuinginkan   Bolehkah aku menahan tanganku yang gemetar? Kurasa mereka lelah, seharian ini bekerja begitu keras Apakah tidak ada libur untuk kami? Apakah kami boleh menciptakan libur sendiri?   Bolehkah aku menahan tanganku yang gemetar? Untuk sekali saja biarkan mereka beristirahat Azan Zuh...

Meraih Kewarasan

Gambar
Meraih Kewarasan Pikiran yang mengendap dalam kepala Tidak berkurang, kadar imajinasinya Mereka terus berbicara, saling berbicara Aku dituntut untuk mengeluarkan isi pikiran dari kepala   Setengah gila, kugapai kewarasan Jadi waras atau gila, aku saat ini? Kuingat baris, kuingat bait, kuingat rima Namun, aku ‘tak tahu menulis dari mana?   Kuacungkan jari tengah pada sajak yang berkhianat Apa sungguh sajak bisa berkhianat? Apa jari tengah ini simbol kebebasan? Sajak-sajak itu menari dan menabuh gendang   Aroma kebebasan tercium dari jauh Bagai aroma makanan berat juga nikmat Aku mengikuti jari tengah membawaku Kutemukan mereka sajak-sajak yang sudah tertidur   Aku pun tidur dengan mereka Sajak-sajak itu saling berpelukan Kini kita bersama mengacungkan jari tengah Aku bebas, kamu bebas, kita bebas Namun, jika seperti ini, puisi tidak lagi pada tempatnya (Jakarta, 13 April 2024) #achmadadityaavery